Kini, Bukan Zaman Abrahah

 

abrahahOleh Bambang Sukirno

Itu judul tidak asing. Dr. Raghib As-Sirjani pernah menulis dalam artikelnya. Penulis “Misteri Shalat Subuh” ini menyimpulkan bahwa ada sunnatullah yang berbeda antara ummat sebelum dan sesudah Muhammad SAW. Dalam menumpas kedhaliman, Allah lebih sering mengirimkan “mukjizat” dan “keajaiban luar biasa” pada era sebelum Rasulullah SAW.

Semua orang pasti tau kisah Abrahah. Allah mengabadikannya dalam surat Al-Fiil. Tekad Abrahah untuk menghancurkan ka’bah begitu membuncah. Raja asal Yaman ini bahkan membawa serta pasukan gajah; simbol kedigdayaan sebuah kekuatan kala itu. Tak lupa, sebelum operasi penghancuran ka’bah diwujudkan, Abrahah nyambi merampas 200 ekor onta milik Abdul Muthallib, yang juga berstatus sebagai penjaga ka’bah.

Sesepuh Mekah itu begitu kharismatik. Ia datang menghadap Abrahah dan raja itu menyambutnya dengan sangat hangat. Ia didudukkan di sebuah singgasana terhormat. “Apa maksud kedatanganmu Tuan?” tanya Abrahah. “Tolong kembalikan kepadaku 200 ekor onta yang Kau rampas!” jawabnya. Betapa kaget Abrahah. Rasa hormatnya seketika luruh. “Semula aku menghargaimu begitu tinggi, saya datang untuk menghancurkan ka’bah, tapi Anda malah sibuk memikirkan onta. Betapa kecil permintaanmu wahai Abdul Muthallib?” Dan terbitlah kalimat Abdul Muthalib yang begitu terkenal: “Sungguh, aku hanya pemilik onta, sedang Baitullah milik Rabb yang akan menjaganya.”

Kepasifan Abdul Muthallib ternyata tidak sendiri. Penduduk Mekkah juga mengosongkan kota; bersembunyi di lorong, gunung dan goa. Tak ada jejak-jejak ikhtiar untuk sebuah perlawanan. Mereka membiarkan Abrahah dan tentara gajahnya melenggang. Dalam kondisi demikian, turunlah burung Ababil membawa batu dari tanah yang terbakar. Gajah-gajah pun menjadi laksana daun-daun yang dimakan ulat. Begitulah Allah meluluhlantakkan kedhaliman dengan mukjizat. Sebuah kejadian luar biasa yang jauh dari jangkauan akal manusia. Tak ada pedang terhunus. Tak ada bubuk mesiu. Tak ada sorak-sorai pertempuran.

Keajaiban serupa juga berlaku pada ummat sebelumnya. Ketika kaum Nuh mendustakan kenabian, Allah mengirimkan topan dan banjir. Ketika kaum Nabi Luth bertindak melampaui batas, Allah membalik bumi mereka. Ketika Fir’aun mengkufuri Musa, Ia dan tentaranya ditenggelamkan di lautan. Sama sekali tak ada pertempuran. Yang ada hanya topan, badai, dan banjir.

Dan di tahun gajah itulah, Junjungan kita dilahirkan. Babak baru dimulai. Muhammad Sang Rasul, bertugas membawa missi baru. Sebuah risalah tauhid yang menghapus syariat agama samawi sebelumnya. Penolakan dakwah dari kaumnya tak bisa dielakkan karena demikian sunnah dakwah para Nabi. Kedhaliman akan selalu ada demikian pula kebenaran. Dan kedhaliman akan ditumpas sebelum atau sesudah era Nabi Muhammad. Yang berbeda hanya methode dan cara.

Sunnatullah yang berlaku bagi ummat Muhmmad ternyata sebagaimana tertera dalam Surat Muhammad ayat 7: “Jika Kamu menolong agama Allah, niscaya Dia akan menolongmu.” Ya, ada tuntutan untuk lebih dulu powerfull dalam beramal sebelum mengharap pertolongan. “Burung Ababil” agak sulit diharapkan selagi ummat Islam menyaksikan kedhaliman dari kejauhan. Pertolongan tidak diberikan bagi umat Muhammad SAW yang pasif lagi malas. Dan kita menyaksikan babak baru; bahwa Allah menjaga agama-Nya dengan mendatangkan rijal. Ya.., Allah tidak mengirim burung ababil melainkan lebih sering berupa manusia-manusia. Bukankah saat tauhid ditindas, Allah menerbitkan perundangan i’dad dan jihad. Maka lahirlah perang Badar, Uhud, Ahzab, dan perang-perang lain.

Allah yang menurunkan Al-Qur’an dan Allah juga yang berjanji akan menjaganya. Penjagaan yang akan terus dan terus berlangsung hingga hari kiamat. Disini kita mencoba memahami makna di balik hadits-hadits Nabi ihwal Thaifah Manshurah. Bahwa sebagaimana sabda Nabi, eksistensi kelompok yang dicirikan selalu berpegang teguh kepada al-haq (dhahirin); berperang di jalan Allah; dan selalu lestari hingga hari kiamat, adalah deskripsi yang sangat kuat sebagai “penjaga agama Allah”. Merekalah para rijal yang permunculannya mengikuti rencana dan jadwal Allah. Mereka akan selalu ada pada setiap zaman. Itu sebuah janji yang pasti.

Buku “Perjalanan Gerakan Jihad” karya As-Suri memberikan konfirmasi atas hal ini. Bahwa dibalik ragam, dinamika, godaan, kesulitan, dan liku-liku shahwah islamiyah, selalu ada kelompok yang diberi kemudahan konsisten di jalur jihad. Mereka selalu eksis meski permunculannya selalu diiringi dengan operasi pembasmian. “La yadhurruhum man khazalahum” (mereka tidak akan bisa dirusak oleh orang yang menumpas mereka). Maka, segala upaya “pembasmian” atas kelompok ini hanya seumpama hendak menerbitkan matahari dari arah barat. Tulisan As-Suri berhasil membuktikan hal itu. Profile, sejarah, eksperimen yang beliau paparkan, menyuratkan tetap eksisnya kelompok jihadis.

Bukan berarti shahwah islamiyah non-jihadi menjadi tidak penting, atau tidak memiliki peran. Masing-masing memiliki ladang amal karena memang demikian luas cabang-cabang Iman. Juga karena surga bertingkat-tingkat, tiketnya juga bisa dari jalan amal yang berbilang. Hanya, Thaifah Manshurah bisa disebut inti ummat. Sebangsa “cagar alam” yang disiapkan untuk menjaga agama Allah ini dengan resiko yang paling pahit.

Keberadaan Thaifah Manshurah itu pasti. Yang belum pasti, apakah kita merupakan bagian daripadanya; menjadi ababil-ababil penumpas kedhaliman masa kini? Itu yang belum pasti