Mencetak Ulama Yang Intelektual dan Intelektual Yang Ulama

“Kita perlu memiliki suatu sistem kaderisasi yang mampu melahirkan ulama dan cendekiawan yang mumpuni secara intelektual sekaligus teladan dalam akhlak,” tutur Dr Ahmad Alim Lc, MA yang merupakan pengasuh Pondok Pesantren Mahasiswa dan Sarjana (PPMS) Ulil Albaab. Upaya kaderisasi ini, lanjut Alim, merupakan implementasi salah satu firman Allah dalam al Quran Surat at Taubah ayat 122.

Dalam firman Allah tersebut, Islam mengakui peran strategis kelompok ulama, dan menempatkannya secara istimewa. Harus ada kelompok tafaqquh fii ad diin, sekelompok orang berilmu yang mampu mengingatkan dan menjaga ummat melalui pemahaman agama dan akidah yang benar.

Menurut Alim, menguraikan beberapa penekanan yang perlu dilakukan dalam melahirkan kelompok tafaqquh fii ad diin ini. Pertama, Ilmu. Paradigma ilmu pengetahuan yang berkembang di Barat yang dikotomis. Agama sebagai sistem nilai dicerabut dari ranah pengetahuan. Sementara dalam Islam, agama khususnya wahyu merupakan sumber ilmu yang memiliki derajat lebih tinggi dibanding sumber lain yang diperoleh melalui pengamatan maupun penalaran. Membangun kembali paradigma integratif tentang ilmu pengetahuan merupakan salah satu tugas besar dalam proses kaderisasi ulama.

Kedua, Adab. Selain agama, adab merupakan hal lain juga mulai dipinggirkan dalam tradisi keilmuan. Akhlak dan keteladanan seorang ilmuwan seringkali dilihat sebagai persoalan lain yang terpisah dalam kompetensi keilmuan. Ilmuwan seakan-akan cukup diapresiasi dari aspek intelektualitasnya saja, tidak dari aspek adabnya. Mengintegrasikan kembali aspek adab dengan intelektual sebagai kompetensi seorang ilmuwan jadi hal penting lain yang perlu diwujudkan.

Ketiga, Dakwah. Dakwah merupakan tanggungjawab setiap individu muslim, terlebih lagi seorang ulama. Kemanfaatan ilmu seorang ilmuwan muslim harus diukur sejauh mana ilmu yang dimilikinya dimanfaatkan untuk menyebarkan nilai-nilai Islam menjadi sesuatu yang bersifat rahmatan lil alamiin. Slogan “ilmu untuk ilmu” menjadi hal yang perlu dikikis dalam pemahaman kader ulama.

Keempat, kemandirian. “Mukmin yang kuat lebih dicintai daripada mukmin yang lemah”. Penekankan terhadap aspek kemandirian seorang ulama merupakan penerapan hadits ini. Amanah dakwah tidak hanya meminta kesiapan sumber daya manusia, juga kekuatan sumber daya materi. Membangun kader ulama yang memiliki jiwa mandiri merupakan upaya menjawab kebutuhan dakwah terhadap kesiapan umat dalam bentuk materi.

Keempat hal inilah, menurut Alim, menjadi perhatian khusus dalam kegiatan pembelajaran para mahasiswa penerima beasiswa Program Kaderisasi Ulama dan Cendekiawan Muslim yang diharuskan mondok selama satu tahun di PPMS Ulil Albaab.

Selain mengkaji ilmu sesuai bidang masing-masing, para mahasiswa ini juga mengkaji beberapa materi pondok yang berkenaan dengan empat aspek di atas seperti kajian kitab kuning meliputi tafsir, tahfidz al Quran, ushul dan qawaaid fiqih, Bahasa Arab dan Bahasa Inggris, jurnalistik, dan materi kewirausahaan.

Selain kajian, para santri juga didorong dan diharuskan terlibat dalam kegiatan dakwah di lingkungan kampus dan masyarakat sekitar sebagai mentor kajian Islam kampus, Imam Masjid di masjid-masjid sekitar, pengajar TPA, dan penyelenggara kegiatan seminar keislaman untuk masyarakat umum yang dilaksanaan setiap bulan.

Donasi dapat disampaikan melalui Rekening BRI SYARIAH Jl Jajajaran Bogor atas nama Ibdalsyah QQ Cendekiawan Muslim No Rek. 100 436 8246