Peranan Shalat Dalam Kehidupan Umat (1)

MUKADIMAH

Segala puji milik Allah. Hanya karena-Nya qalbu semua hamba bisa meraih khusyu’, hanya karena cinta kepada-Nya jiwa mereka mencapai kepuasan, hanya karena takut kepada-Nya airmata mereka mengalir deras, hanya dengan taufiq-Nya ilmu mereka bermanfaat, hanya karena rahmat-Nya doa mereka dikabulkan, dan hanya karena ampunan-Nya amal mereka diterima.

Shalawat dan salam semoga tercurah kepada sang teladang, Muhammad pembawa syafa’at, keluarganya, shahabatnya, dan kepada semua yang pengikutnya sampai hari di mana tidak berguna harta dan anak selain bagi orang yang menghadap kepada Allah dengan qalbun salim.

Dengan shalat, dapat diketahui perbedaan antara Muslim dengan non-Muslim dan dengan khusyu’, dapat dibedakan siapa yang mencintai Allah dan siapa yang tidak mencintai-Nya. Jika seseorang sudah mendapat nikmat cinta, komunikasi dengan yang dicintainya senantiasa dijadikan sebagai aktivitas utama. Bahkan, aktivitas lain pun akan
diarahkan untuk meraih kepuasan hati dalam berkomunikasi dengan yang dicintainya.

Orang yang mencintai Allah akan berupaya untuk selalu berkomunikasi dengan-Nya. Jika seseorang sudah mengenal cinta, ia akan selalu berusaha untuk sering bertemu dengan kekasihnya. Jika ia bertemu dengan kekasihnya, ia pun akan berusaha agar hubungannya senantiasa terpelihara. Akan tetapi, hal ini tidak akan terjadi jika sang kekasih sedang jauh darinya.

Jika sang kekasih sedang jauh, ia akan menahan kerinduannya dan kerinduan tersebut dapat terbayar jika ia mendapat surat dari sang kekasih. Ia akan membaca berulang kali surat tersebut tanpa bosan meski isi surat tersebut sudah di luar kepala. Akan tetapi, apa yang harus dilakukan jika surat itu tidak kunjung datang? Ia akan merasa kesepian sekaligus ketakutan kalau kekasihnya tidak lagi mencintainya.

Sungguh beruntung orang yang mendapat karunia cinta Ilahi. Setiap kali ia ingin berkomunikasi dengan-Nya, ia dapat melakukannya di mana saja. Tatkala ia merasakan kerinduan dan ingin mendapat sepucuk surat, ketika itu pula ia akan mendapati surat tersebut di hadapannya, dan tatkala surat tersebut ia baca, kandungannya tidak pernah selesai dibaca karena surat tersebut mengandung makna yang tak pernah selesai
dikaji sehingga ia tidak akan merasa bosan untuk membacanya walaupun sudah hafal kalimat demi kalimat.

Ketika ia ingin membaca surat-Nya, ia dapat melakukannya setiap saat. Ketika ia membaca surat-Nya baik dengan suara atau pun dengan hati, sesungguhnya Pengirim surat melihat dan mendengarnya. Jika ia ingin mendekati-Nya, sesungguhnya Dia senantiasa dekat dan lebih dekat dari urat nadinya sendiri. Oleh karena itu, jika seorang hamba sedang membaca surat-Nya yang berjumlah seratus empat belas surat kemudian
menjawab surat tersebut dengan lisan, sesungguhnya Dia mendengar suara hamba-Nya dan menyaksikan reaksinya terhadap kandungan surat tersebut.

Jika dengan membaca surat itu muncul keinginan, sesungguhnya Dia mengetahui keinginan hamba tersebut meski tidak diungkapakan dan jika ia mengungkapkan, sesungguh-nya Allah Maha Mendengar dan Merespon semua ungkapan hamba-Nya.
Suasana seperti ini dapat diraih ketika seorang hamba menunaikan shalat karena dalam shalat, seorang hamba menemukan saat yang tepat untuk berkomunikasi dengan Allah. Apakah kita meraih nikmat komunikasi dengan Allah dalam shalat kita? Semoga pada shalat berikutnya kita menikmati cinta sejati saat berdialog dengan Yang Mahatinggi.

Hubungan Ibadah dengan Akhlak

Karena Islam adalah ajaran yang pasti benar dan baik, maka semua ibadah yang ditetapkan dalam Islam pasti benar di hadapan Allah dan baik dalam pandangan manusia. Benar adalah ketetapan dari Allah, sementara baik sangat erat hubungannya dengan penilaian manusia yang terkadang budaya pun ikut terlibat dalam menentukan mana yang baik dan mana yang buruk. Oleh karena itu, tidak semua yang baik itu benar,
namun semua yang benar pasti baik kecuali menurut orang yang sudah dikuasai oleh budaya non-Islam.

Demikian pula halnya dengan masalah ibadah, banyak ibadah yang dinilai baik menurut manusia, namun tidak di mata Allah karena tidak sesuai dengan apa yang dicontohkan Rasulullah saw. Dikaitkan dengan konteks akhlak, hanya orang yang berusaha mengikuti contoh Rasulullahlah yang akan memiliki nilai mulia di hadapan Allah dan akan terlihat pula perilaku terpujinya dalam kehidupan sehari-hari. Akhlak mereka akan berguna bagi kaum Muslimin lainnya.

Pengertian tersebut dapat disederhanakan dengan beberapa poin berikut ini:

  1. Semua yang benar pasti baik, namun tidak semua yang baik pasti benar.
  2. Orang yang benar ibadahnya pasti terpuji akhlaknya, namun tidak semua akhlak terpuji dibentuk oleh ibadah yang benar.
  3. Orang yang baik interaksinya dengan Allah pasti baik interaksinya dengan sesama, namun tidak semua orang yang baik interaksinya dengan sesama, baik pula interaksinya dengan Allah.
  4. Orang yang mampu menunaikan shalat dengan benar pasti akan baik interaksinya dengan sesama karena shalat yang benar akan mencegah perbutan keji dan munkar. Akan tetapi, orang yang jauh dari perbuatan keji dan munkar belum tentu mampu malaksakan shalat dengan benar sebab, boleh jadi seseorang jauh dari perbuatan keji dan munkar karena faktor lain.
  5. Orang yang sudah mampu menunaikan shalat dengan benar pasti selamat dan bersih lidahnya dari perkataan yang menyakiti sesama. Orang yang senang menghina dan meremehkan sesama pasti belum benar shalatnya, meski ia rajin menunaikannya. Hal ini tidak berarti bahwa orang yang aman lidahnya dari perkataan kotor merupakan bukti ia sudah benar shalatnya sebab boleh jadi kebersihan lidah dari kotornya perkataan terjadi karena faktor lain.
  6. Jika orang yang baik akhlaknya belum tentu dikatakan shalatnya benar, maka orang yang buruk akhlaknya sangat pasti shalatnya bermasalah. Jika orang yang baik akhlaknya saja tidak patut mengaku sudah benar, apalagi orang yang buruk akhlaknya, sungguh tidak patut mengaku bahwa dirinya sudah menunaikan ibadah dengan benar, kendatipun ia meyakini bahwa ibadahnya telah memenuhi syarat dan rukun sebab benarnya ibadah tidak dapat dicapai hanya berdasar kepada syarat dan rukun, namun juga harus memerhatikan terhadap penjiwaan dan penghayatan akan hakikat ibadah itu sendiri.

Ibadah dan Persoalan Pemahamaan Kita

Kehidupan kaum Muslimin jelas berbeda dengan masyarakat lainnya. Sebagai contoh, ketika terdengar adzan, kaum Muslimin menyadari bahwa mereka dipanggil untuk melaksanakan shalat berjamaah dan harus segera menunda berbagai kesibukannya. Hal ini merupakan satu fenomena yang sangat menggembirakan.

Kemudian juga, semua masjid adalah milik umat Islam. Setiap orang yang telah membangun masjid merasa bahagia jika kaum Muslimin berdatangan untuk memanfaatkannya. Mereka tidak ditanya dari mana asal apalagi sampai bertanya kartu anggota. Sungguh, hal ini tidak pernah terjadi karena dalam Islam tidak mengenal kartu anggota masjid. Inilah tijârah (bisnis) yang murni untuk mencari keuntungan ukhrawi.

Akan tetapi, dibalik itu semua, masih tersimpan pertanyaan, bagaimana caranya menerapkan keharmonisan di masjid dalam segala aspek kehidupan kita? Ternyata, masyarakat Muslim kita masih dihadapkan kepada beberapa masalah sosial keagamaan yang harus segera dicarikan solusinya, antara lain:

a. Sibuk dengan Fiqih dan Melupakan Syariat.

Perbedaan praktik shalat yang terjadi di kita lebih karena pemahaman terhadap nash yang beragam dan perbedaan tersebut kerap membawa umat kepada perselisihan yang berkepanjangan. Ujung-ujungnya, mereka mendirikan organisasi keagamaan untuk dijadikan “dewan fatwa” yang menetapkan salah dan benarnya ibadah seseorang. Mereka mengklaim bahwa pemahamannyalah yang benar dan pendapat yang berbeda dengannya dicap salah, padahal sumber hukum mereka adalah sama, yaitu Al Qur’an dan As Sunnah. Mereka juga mengkalim bahwa merekalah yang tepat dalam memahami Al Qur’an dan As Sunnah.

Fenomena keberagamaan ini umat Islam dewasa ini, khususnya di tanah air, demikian adanya. Mereka sibuk mempertahankan fiqih mereka namun melupakan syariat. Mereka lupa untuk apa disyariatkan shalat kepada semua manusia. Mereka lupa, yang mereka “tuhankan” adalah fiqih dan fiqih adalah produk manusia yang tidak lepas dari kemungkinan benar dan salah.

Oleh karena itu, kepada semua pihak diharapkan, di samping meyakini bahwa yang mereka pahami adalah benar, namun sangat penting juga untuk menyediakan ruang dalam dadanya guna mengakui kelemahan dan adanya kemungkinan yang lebih tepat dari pendapat mereka.

b. Sibuk dengan Perbedaan dan Melupakan Persamaan.

Betapapun banyaknya perbedaan di kalangan umat Islam dalam memahami masalah fiqih, janganlah hal itu menimbulkan kedengkian dan permusuhan. Kaum Muslimin harus sadar bahwa saat ini ada sebuah konspirasi global musuh-musuh Islam untuk menghancurkan Islam dan umatnya. Kalau kondisi umat Islam lemah dan bercerai berai akibat perbedaan pemahaman terhadap masalah-masalah furu’, musuh-musuh Islam
itu akan dengan mudah menghancurkannya.

Umat Islam juga harus mengetahui bahwa selain banyak perbedaan, mereka memiliki persamaan yang jauh lebih banyak dari perbedaan yang ada. Inilah sejatinya yang harus menjadi perekat antarsesama kaum Muslimin. Mereka sepakat shalat harus dilaksanakan di masjid, mereka sepakat mebahwa tiada tuhan selain Allah dan Muhammad adalah rasul-Nya, dan lain sebagainya.

c. Sibuk Memikirkan Cara dan Melupakan Tujuan.

Para ulama fiqih kita telah mencurahkan segala daya demi tersebarnya ajaran Islam ke seluruh dunia. Mereka juga khawatir kalau umat Islam salah paham dalam mengkaji syariat. Oleh karena itu, mereka membuat kaidah-kaidah fiqih yang bisa dijadikan salah satu metode untuk memahami Al Qur’an dan As Sunnah. Akan tetapi, sebagaimana metode lainnya, metode mereka pun tidak memiliki kebenaran mutlak sehingga mungkin bisa dipakai pada satu zaman, namun dianggap usang untuk zaman selanjutnya.
Di antara kaidah fiqih yang mereka buat adalah:

اَلأَصْلُ فِي الْعِبَادَةِ اَلْبُطْلاَنُ حَتىَّ يَدُلُّ عَلَيْهِ الدَّلِيْلُ

Asal ibadah adalah batil (tidak sa) sehingga ada dalil yang memerintahkannya. Kaidah ini dijadikan pegangan oleh kaum Muslimin untuk menegaskan bahwa semua ibadah harus berdasarkan kepada dalil. Tanpa dalil, semua praktik ibadah dinyatakan bid’ah. Muncul pertanyaan, apakah kaidah ini dapat diterapkan setiap zaman dan kondisi atau tidak? Tentu saja jawabannya tidak karena ketika kaidah tersebut diterapkan tanpa
memerhatikan ruang dan waktu, sangat memungkinkan muncul persoalan baru, padahal ibadah yang benar adalah solusi bagi setiap persoalan.

Untuk menghindari kesalahan penerapan kaidah ini, ada baiknya kita perhatikan beberapa pertanyaan di bawah ini:

  • Sejauh mana penafsiran kaidah tersebut dan untuk siapa dibuat?
  • Apakah kaidah tersebut memiliki kebenaran yang berlaku untuk setiap zaman dan generasi, padahal kedudukannya tidak sama dengan Al Qur’an dan As Sunnah?
  • Jika kaidah tersebut bukan diambil dari Al Qur’an dan As Sunnah, lantas siapakah yang menjamin kebenaran kaidah tersebut?
  • Dalam kosa kata hukum, sebelum ada ketetapan maka diperlukan ketentuan umum yang menjelaskan definisi kata tersebut. Apakah kaidah tersebut mempunyai ketentuan umum?
  • Apakah yang dimaksud dengan al ashl dalam kaidah tersebut?
  • Adam adalah golongan manusia yang pertama kali beribadah. Lalu, apakah ibadah Adam itu batil?
  • Apakah kata ibadah dalam kaidah tersebut meliputi semua ibadah atau sebagiannya saja?
  • Bukankah kita diperintah untuk menjadikan segala aspek kehidupan kita itu ibadah?
  • Apakah ibadah kita dalam berpolitik, berekonomi, dan bersosial harus mencontoh Rasul saw. secara harfiyah, sehingga jika tanpa dalil dikalim batil?
  • Kata al ibâdah dalam kaidah tersebut berbentuk ma’rifat. Dengan tanpa didahului kalimat ibadah sebelumnya, maka alif lam dalam kata al ibâdah bermakna للاستغراق yang meliputi semua makna yang terkandung dalam kata ibadah. Jika yang dimaksud dengan kata al ‘ibâdah itu ibadah mahdhah, maka kaidah tersebut tidak lengkap karena tidak memasukkan kata mahdhah. Lantas, perlukah kaidah ini diperbaiki?
  • Jika al ibâdah di sini adalah ibadah mahdhah, dari mana munculnya istilah mahdhah?
  • Jika kaidah tersebut terbukti belum lengkap dan masih perlu penjelasan, apakah sesuatu yang belum jelas dan tidak lengkap dapat dipaksakan untuk dijadikan pegangan bagi semua orang?
  • Jika ada kaidah lain yang tidak sama, manakah yang harus diambil? Kaidah ushul fiqh adalah salah satu metodologi untuk mengambil hukum dari Al Qur’an dan As Sunnah, karya para ulama besar kita. Oleh karena itu, beberapa pertanyaan tersebut tidak dimaksudkan untuk menolak hasil ijtihad mereka, namun dengan pertanyaan-pertanyaan tersebut, kita diharapkan dapat mengasah budaya kritis kita dalam memahami apa pun pernyataan selain Al Qur’an dan As Sunnah. Ini dari satu sisi dan di sisi lain, kita diharapkan tidak terjebak dengan metode yang membuat kita melupakan tujuan karena kita meyakini bahwa pernyataan manusia dapat diterima dan dapat ditolak kecuali sabda Rasulullah Saw.

Allah Swt. berfirman,

وَمَا آتَاكُمُ الرَّسُولُ فَخُذُوهُ وَمَا نَهَاكُمْ عَنْهُ فَانْتَهُوا

Apa yang Rasul bawa untuk kalian maka ambillah dan apa yang beliau larang maka jauhilah (Q.S. Al Hasyr, 59: 7). Ada dua sikap yang tegas yang harus diambil berdasarkan ayat tersebut, yaitu mengikuti apa yang dibawa Rasul dan menjauhi apa yang
dilarangnya. Sementara apa yang tidak dibawa dan tidak pula dilarang, kemungkinan memunculkan perbedaan. Demikian pula menetapkan sesuatu yang tidak ditetapkan Rasul atau melarang sesuatu yang tidak dilarangnya, sangat mungkin menimbulkan pro dan kontra, termasuk memaksakan suatu kaidah tertentu dalam memahami hukum syar’i.

Dewasa ini, karena kaidah-kaidah yang dibuat para ulama, muncul berbagai istilah baik dalam fiqih ataupun aqidah. Istilah-istilah tersebut cukup populer di kalangan kaum Muslimin, seperti: syarat, rukun, wajib, sunnat, makruh dan lain-lain. Masing-masing istilah tersebut telah diberi definisi yang tidak mustahil ditemukan perbedaan
antara satu definisi dengan definisi lainnya. Kita ambil satu contoh, yaitu istilah rukun. Istilah ini memunculkan beberapa pertanyaan:

  1. Apakah dalam Al Qur’an dan As Sunnah terdapat kata rukun dengan konteks kaidah para ulama fikih dan aqidah?
  2. Siapakah yang pertama kali memopulerkan istilah tersebut?
  3. Bolehkah kita menolak istilah tersebut?
  4. Bolehkah kita menambah atau mengurangi jumlah rukun-rukun tersebut dari yang telah ditetapkan oleh para ulama?

d. Antara Kuantitas dan Kualitas Tidak Seimbang.

Ketika umat Islam mempelajari satu hadis tentang shalat tanpa melihat hadits-hadits lain yang menerangkan tema yang sama, dipastikan mereka akan berani mengklaim bahwa cara shalat yang berbeda dengan mereka dinyatakan bid’ah. Sebagai contoh, shalat malam.

Banyak hadits yang menjelaskan kaifiyat Rasulullah saw. melakukan shalat malam. Salah satunya hadits dari Aisyah, seorang sahabat sekaligus istri beliau. Ia menjelaskan bahwa Rasulullah menunaikan shalat malam dengan 11 rakaat dan pada kesempatan lain, Rasulullah melakukannya kurang dari 11 rakaat. Akan tetapi, ia juga melihat Rasulullah melakukan shalat malam 13 rakaat.

Jumlah rakaat shalat malam tersebut telah menjadi bahan perdebatan di kalangan umat Islam dan sampai sekarang belum menemukan titik temu. Ketika sebagian kaum Muslimin ada yang melakukan shalat malam dengan jumlah rakaat yang tidak sama dengan yang lainnya, masing-masing mengklaim bahwa dirinyalah yang benar dan yang lain salah.

Mereka tidak sadar bahwa apa yang mereka persoalkan itu hanya dalam tataran kuantitas dan bukan kualitas. Bukti bahwa mereka hanya memerhatikan kuantitas adalah bahwa mereka melakukan shalat malam –dengan jumlah rakaat yang mereka pegang- dengan sangat singkat jika diukur dengan shalat malam Rasulullah saw. Keduanya -boleh jadi- masih jauh dari contoh Rasulullah karena mereka menghabiskan jumlah
rakaat shalat mereka dengan waktu yang singkat.

Kalaulah mereka memerhatikan kualitasnya juga, mereka pasti akan menunaikannya dengan waktu yang sama yang dihabiskan Rasulullah ketika menunaikan shalat
malam. (bersambung)