Serukan Manusia Sesuai Kehendak Pemilik Manusia

allahuOleh Ibnu Umar

Di antara sifat yang dimiliki oleh Allah SWT adalah al-iraadah atau kehendak, dalam artian bahwa Allah SWT pasti memiliki kehendak dalam menciptakan dan mengatur alam semesta ini. Allah SWT berfirman di dalam al-Qur’an yang artinya:

“Dan di antara tanda-tanda (kekuasaan)-Nya ialah penciptaan langit dan bumi dan makhluk-makhluk yang melata yang Dia sebarkan pada keduanya. Dan Dia Maha Kuasa mengumpulkan semuanya apabila Dia menghendakinya.” (Asy-Syuuraa: 29)

Dalam usaha memahami sifat tersebut, agar kita dapat meraih pemahaman yang tepat dan tidak salah, maka mungkin yang pertama kali harus kita lakukan adalah memohon petunjuk kepada Dzat Pemilik Kebenaran, yaitu Allah SWT itu sendiri. Dan insyaa’Allaah, ketika kita telah dianugerahi pemahaman yang sesuai tentang sifat tersebut, niscaya kita akan dapat terbantu dalam memahami hakikat taqdir (qadhaa’ dan qadar), yang berupa kebaikan ataupun keburukan, yang mana dari pemahaman tentang taqdir itulah kita akan dapat senantiasa tertuntun dalam menjalani hidup, merasa lapang dalam segala bentuk keadaan, mendapat kemudahan dalam usaha mentaati Allah SWT dan Rasul-Nya, serta ditunjuki jalan dalam usaha menyeru kepada kebenaran dan mencegah kemungkaran sesuai kemampuan kita.

Menurut para ulama pendahulu kita, berdasarkan as-Sunnah dan kesimpulan yang mereka sepakati bersama, sifat al-iraadah (kehendak) yang dimiliki oleh Allah SWT tersebut dibagi menjadi dua macam, yaitu iraadah kauniyyah (qadariyyah), yang berkaitan dengan masalah taqdir, dan iraadah syar’iyyah, yang berkaitan dengan hukum-hukum syari’at.

Iraadah kauniyyah (qadariyyah) adalah kehendak menciptakan dan menentukan nasib, misalnya ketika Allah berkehendak menciptakan langit dan bumi, surga dan neraka, manusia, jin, hewan, tumbuhan dan seterusnya, ataupun menentukan nasib makhluq-Nya yang berupa rizki, ajal, jodoh, untung atau rugi, mendapat petunjuk atau tersesat, selamat atau celaka, dan seterusnya. Adapun iraadah syar’iyyah, maka ia adalah kehendak menentukan hukum-hukum syari’at, misalnya mana yang halal dan mana yang haram, yang wajib dan yang tidak wajib, yang berpahala dan yang mengakibatkan dosa, yang menyebabkan masuk ke surga dan yang menjerumuskan ke dalam neraka, dan seterusnya.

Iraadah kauniyyah (qadariyyah) berkaitan dengan kepastian taqdir yang telah Allah kehendaki jauh sebelum Dia menciptakan langit dan bumi, yang mana merupakan kehendak yang sifatnya umum (masyii’ah), yang tidak berkaitan langsung dengan kecintaan dan ridha-Nya. Sedangkan iraadah syar’iyyah, maka ia selalu berkaitan dengan kecintaan dan ridha-Nya, atau yang sifatnya khusus tentang apa-apa yang disukai-Nya (mahabbah). Jadi, iraadah kauniyyah (qadariyyah) yang dimiliki oleh Allah tidak selamanya akan sesuai dengan iraadah syar’iyyah-Nya, namun iraadah syar’iyyah-Nya pasti tak akan pernah keluar dari iraadah kauniyyah (qadariyyah)-Nya.

Secara iraadah kauniyyah (qadariyyah), Allah SWT telah berkehendak menciptakan neraka, namun secara iraadah syar’iyyah, Allah tidak mencintai hamba-hamba-Nya yang terjerumus ke dalam neraka tersebut, sebagaimana Allah telah berkehendak menciptakan setan musuh nyata manusia, namun Allah SWT tidak meridhai manusia yang mengikuti langkah-langkah setan yang diciptakannya itu, atau seperti ketika Allah SWT menciptakan hal-hal yang halal dan yang haram, namun Allah SWT hanya mencintai yang halal saja, dan juga seperti fenomena keragaman agama dan kepercayaan manusia yang berbeda, yang mana hanya Islam sajalah yang akan mendapat ridha-Nya. Jadi, segala sesuatu yang terjadi di dunia ini, baik berupa ketaatan ataupun kemaksiatan, keimanan ataupun kekufuran, keselamatan ataupun kecelakaan, dan seterusnya, maka semua itu pastilah terwujud atas kehendak Allah SWT, karena tentunya mustahil jika ada sesuatu di dunia ini yang berkuasa untuk menciptakan dirinya sendiri tanpa kehendak dan izin dari-Nya. Namun dari semua ketentuan itu, Allah SWT hanya akan menyukai ketentuan yang sifatnya kebaikan saja, yaitu kebaikan berupa ketaatan, keimanan, keselamatan, dan seterusnya.

Secara iraadah kauniyyah (qadariyyah) Allah SWT, kita harus meyakini bahwa sesungguhnya tiada kebaikan atau keburukan pun yang menghampiri kita kecuali memang itu telah dikehendaki ketetapannya oleh Allah SWT. Namun secara iraadah syar’iyyah-Nya, kita diharuskan mengalamatkan kebaikan yang ada kepada Allah SWT, dan mengalamatkan keburukan yang ada kepada diri kita sendiri. Jadi bukan justru sebaliknya, yaitu mengalamatkan kebaikan kepada diri sendiri, namun mengalamatkan keburukan kepada Allah SWT, ataupun mengalamatkan kebaikan kepada Allah SWT, namun tidak dengan sepenuh hati, misalnya sebagaimana sikap sebagian kaum yang memprotes Nabi Muhammad SAW, yang mengakui bahwa kebaikan yang mereka terima adalah memang dari Allah SWT, namun mengalamatkan keburukan yang menimpa mereka kepada beliau, padahal tentunya seorang Rasul atau utusan Allah SWT pun pasti hanyalah melaksanakan tugas dari Allah SWT, sehingga menyalahkan beliau pun akan sama saja dengan menyalahkan Allah SWT. Dan al-Qur’an menjelaskan tentang hal tersebut dalam ayat-ayat yang artinya berikut ini:

“Di mana saja kalian berada, kematian akan mendapatkan kalian, kendati pun kalian (berlindung) di dalam benteng yang tinggi lagi kokoh. Dan jika mereka memperoleh kebaikan, mereka mengatakan: “Ini adalah dari sisi Allah”, dan kalau mereka ditimpa suatu bencana, mereka mengatakan: “Ini (datangnya) dari sisi kamu (Muhammad)”. Katakanlah: “Semuanya (datang) dari sisi Allah“. Maka mengapa mereka itu hampir-hampir tidak memahami pembicaraan sedikit pun?” (An-Nisaa’: 78)

Apa saja nikmat yang kamu peroleh, maka itu adalah dari Allah, dan apa saja bencana yang menimpamu, maka (itu adalah) dari (kesalahan) dirimu sendiri. Kami mengutusmu (Muhammad) menjadi Rasul kepada segenap manusia. Dan cukuplah Allah menjadi saksi.” (An-Nisaa’: 79)

Dari kedua ayat tersebut, kita mendapati sebuah penekanan tentang keharusan meyakini adanya iraadah kauniyyah (qadariyyah) Allah SWT dan keharusan mentaati iraadah syar’iyyah-Nya sekaligus. Pada ayat pertama (An-Nisaa’: 78), kita memperoleh penjelasan bahwa sesungguhnya segala sesuatu yang baik maupun yang buruk pastilah terjadi hanya atas kehendak Allah SWT, dan bahkan sebenarnya telah ditetapkan sebelum terjadi, dan telah tertulis di dalam kitab yang terjaga atau Lauh Mahfuudz, yang mana itulah bentuk keyakinan atas iraadah kauniyyah (qadariyyah) Allah SWT. Allah SWT berfirman di dalam al-Qur’an yang artinya:

“Tiada suatu bencanapun yang menimpa di bumi dan (tidak pula) pada diri kalian sendiri melainkan telah tertulis dalam kitab (Lauh Mahfuudz) sebelum Kami menciptakannya. Sesungguhnya yang demikian itu adalah mudah bagi Allah.” (Al-Hadiid: 22)

Dan jika saja segala peristiwa di dunia ini belum ditentukan atau belum tertulis di dalam Lauh Mahfuudz, dan masih bisa dirubah-rubah, maka bisa jadi sujudnya keluarga Nabi Yusuf AS di hadapan beliau pun tidak akan pernah bisa diberitahukan lebih awal ketika beliau masih kecil. Karena sesungguhnya mimpi beliau semasa kecil tersebut pun hanyalah ibarat cermin yang memantulkan atau mengambil gambar masa depan beliau yang telah pasti dan telah ditetapkan. Dan tentunya jika masa depan beliau ketika itu belum ditetapkan, pastinya cermin tersebut pun tidak akan dapat mengambil gambar atau bayangan apapun, karena memang tiada sesuatu yang bisa dipantulkan dari masa depan beliau yang memang masih kosong.

Dan ini menunjukkan bahwa masa depan segala sesuatu pun sesungguhnya telah dipastikan dan ditetapkan di dalam Lauh Mahfuudz, tanpa ada perubahan. Sehingga, semenjak Nabi Yusuf AS bermimpi di waktu kecil sampai mimpi tersebut menjadi tafsir kenyataan di waktu beliau dewasa, sesungguhnya tiada jalan cerita yang pernah berganti, tertukar, berubah atau keluar dari yang telah digariskan oleh Allah SWT. Karena seandainya ada satu saja jalan cerita yang bergeser dari catatan Lauh Mahfuudz, misalnya Nabi Yusuf AS tidak pernah dibuang ke dalam sumur, maka bisa jadi semua cerita pun akan berubah secara keseluruhan, sehingga mimpi di waktu kecil beliau pun tidak akan pernah ada hubungannya dengan masa depan beliau, dan ayat-ayat al-Qur’an tentang kisah beliau pun juga akan turut berubah pula, padahal sesungguhnya tiada istilah perubahan di dalam ayat-ayat al-Qur’an yang merupakan kalimat Allah SWT tersebut.

Adapun riwayat tentang ungkapan sahabat Umar RA yang menyimpulkan bahwa sebenarnya kita bisa berpindah dari satu taqdir kepada taqdir yang lain, maka sebenarnya itu adalah bentuk ikhtiar semata, sebagai wujud ketaatan terhadap iraadah syar’iyyah Allah SWT yang memerintahkan kita untuk tetap berikhtiar, karena memang kita tidak pernah mengetahui taqdir semacam apa yang akan kita alami di masa mendatang. Begitu juga halnya dengan kedudukan doa, yang mana harus kita yakini bahwa berdoa pun sebenarnya adalah bentuk ketaatan terhadap iraadah syar’iyyah Allah SWT. Kita mungkin ingat ketika Nabi Ibrahim AS berdoa memohon keturunan, yang kemudian Allah SWT kabulkan dengan mengaruniai beliau seorang putra, yaitu Nabi Ismail AS, yang mana seandainya beliau ketika itu tidak berdoa memohon keturunan sekalipun, mungkin Allah SWT juga akan tetap mengaruniakan Nabi Ismail AS sebagai putra beliau, karena memang melalui keturunan Nabi Ismail-lah Nabi Muhammad SAW terlahir ke dunia ini. Dan karena jika Nabi Ismail AS tidak pernah terlahir dan dikaruniakan kepada Nabi Ibrahim AS, maka mungkin Nabi Muhammad SAW pun juga tidak akan terlahir. Padahal al-Qur’an pun juga harus tetap diturunkan sebagai kitab langit untuk manusia akhir zaman.

Dan mungkin memang demikianlah Allah SWT telah berkehendak, bahwa melalui cara berdoalah sebagian masa depan orang-orang yang beriman akan dapat terwujud, dengan izin-Nya. Jadi, jika diibaratkan, mungkin kedudukan sebuah doa yang dikabulkan adalah seperti mimpi Nabi Yusuf AS, yang mana menjadi pertanda awal bagi sebuah nasib di masa depan. Dan dengan pemahaman ini, kita pun akan bisa semakin bersemangat dalam berdoa, karena bisa jadi di antara doa yang kita panjatkan tersebut ada yang menjadi isyarat atau pertanda awal bagi nasib masa depan kita. Dan ini juga berarti bahwa berdoa pun sebenarnya merupakan bagian dari jalan cerita hidup yang telah digariskan oleh Allah SWT dan telah tertulis di dalam Lauh Mahfuudz. Dan hanya Allah sajalah yang lebih mengetahui hakikat semua itu. Allah SWT berfirman di dalam al-Qur’an yang artinya:

“Dan pada sisi Allah-lah kunci-kunci semua yang gaib; tiada yang mengetahuinya kecuali Dia sendiri, dan Dia mengetahui apa yang di daratan dan di lautan, dan tiada sehelai daun pun yang gugur melainkan Dia mengetahuinya (pula), dan tidak jatuh sebutir biji pun dalam kegelapan bumi dan tidak sesuatu yang basah ataupun yang kering, melainkan tertulis dalam kitab yang nyata (Lauh Mahfuudz).” (Al-An’aam: 59)

Adapun untuk ayat selanjutnya (An-Nisaa’: 79), maka dari situ kita mendapatkan penjelasan lanjutan bahwa meskipun semua hal yang buruk itu terjadi atas kehendak dan izin-Nya, namun manusia harus mengalamatkan hal buruk tersebut kepada kesalahan dirinya sendiri, yang mana itulah bentuk ketaatan terhadap iraadah syar’iyyah Allah SWT. Jadi, ketika kita mengalamatkan keburukan yang kita alami kepada Allah SWT, dalam artian menyalahkan dan berburuk sangka kepada-Nya, ataupun menyalahkan Rasulullah SAW yang membawa ajaran-Nya, maka ketika itulah kita telah melanggar iraadah syar’iyyah-Nya. Oleh karena itulah, Allah menyampaikan dalam beberapa ayat al-Qur’an bahwa sebenarnya melalui kesalahan manusia sendirilah sebuah musibah atau kerusakan di alam ini dapat terjadi, sebagaimana ayat al-Qur’an yang artinya berikut ini:

“Telah tampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan karena perbuatan tangan manusia, supaya Allah merasakan kepada mereka sebahagian dari (akibat) perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke jalan yang benar).” (Ar-Ruum: 41)

Meskipun secara iraadah kauniyyah (qadariyyah) Allah SWT kerusakan di darat dan laut adalah atas kehendak-Nya, dan telah ditetapkan jauh sebelum itu terjadi, namun secara iraadah syar’iyyah-Nya, kerusakan tersebut haruslah diakui sebagai kesalahan manusia itu sendiri, karena memang kerusakan tersebut juga terjadi melalui perbuatan mereka. Kita boleh dan bahkan harus meyakini bahwa segala musibah yang terjadi adalah merupakan ketetapan dari Allah SWT, namun yang tidak dibolehkan secara syari’at adalah menyalahkan Allah SWT dan berburuk sangka kepada-Nya atas musibah tersebut.

Dan dari sini, mungkin sebagian akal manusia pun akan lantas terjerumus dalam beragam pertanyaan tentang taqdir dan hakikat Dzat Allah SWT. Dan itulah yang mungkin kerap menjadi beban berat bagi akal manusia, yang mana hanya berdaya tampung kecil namun sering dipaksa untuk menampung besarnya kekuasaan Allah SWT.

Dan mungkin usaha terbaik untuk menghindari bahaya dari memikirkan hal tersebut adalah dengan cara berserah diri kepada Allah SWT dan menerima kenyataan tentang iraadah kauniyyah (qadariyyah)-Nya tersebut, karena keberserahan diri itu pun sebenarnya merupakan bentuk ketaatan kepada syari’at itu sendiri, yang mana merupakan iraadah syar’iyyah-Nya. Dan dengan keberserahan diri tersebut, insyaa’Allaah kita akan diselamatkan dari kesesatan, serta dianugerahi kemampuan dan kemudahan untuk mentaati perintah-Nya dan menjauhi larangan-Nya.

Sedangkan di antara tanda penyimpangan dari hidayah adalah mungkin ketika kita tidak rela dan memberontak dengan kenyataan tersebut, di mana kita sekedar mengedepankan akal dan hanya berserah diri kepada logika, daripada berserah diri kepada Dzat Penentu taqdir itu sendiri. Dan pemberontakan yang dilakukan oleh logika kita tentang kenyataan tersebut biasanya akan berupa tindakan mempertanyakan hal-hal tentang Allah SWT yang tak terjangkau oleh akal, yang mana justru dapat merusak akal itu sendiri. Dan hanya Allah sajalah yang lebih mengetahui hakikat semua itu.

Oleh karena itu, bagaimanapun juga kita harus meyakini dengan sepenuh hati bahwa sesungguhnya segala fenomena yang terjadi di dunia ini pastilah telah melalui kehendak dan izin Allah SWT, serta telah tertulis di dalam Lauh Mahfuudz, namun bukan berarti bahwa segala fenomena yang bisa terjadi dan telah terjadi lantas disukai dan diridhai oleh Allah SWT.

Dan sebagai misal penting dari hal tersebut adalah fenomena negara Indonesia yang meskipun mayoritas penduduknya Muslim, namun belum mampu menerapkan hukum Islam sebagaimana yang telah diperintahkan oleh Allah SWT. Landasan negara yang digunakan serta hukum yang diterapkan di dalam negara kita Indonesia adalah buah penyesuaian dengan nilai-nilai keyakinan dari beberapa agama dan kepercayaan yang berbeda. Dan memang para ulama pendahulu kita yang telah turut memperjuangkan kemerdekaan negara Indonesia pun juga mungkin sangat menginginkan jika bangsa Indonesia menjadikan Islam sebagai landasan negaranya, namun tampaknya karena memang keadaan negara saat itu adalah ibarat kapal yang dimiliki dan ditumpangi oleh beragam pemeluk agama dan penganut kepercayaan yang berbeda, maka negara pun terpaksa menampung nilai-nilai kebaikan dari beragam latar belakang keyakinan tersebut, untuk dipadukan menjadi sebuah landasan negara. Dan mungkin, jika saja keadaan saat itu memungkinkan bagi para ulama kita untuk mengusulkan al-Qur’an dan as-Sunnah sebagai landasan negara, dan tidak terhalang oleh suatu kendala apapun, maka bisa jadi negara kita Indonesia pun telah menjadi negara Islam, yaitu negara yang berhukum dengan apa yang telah diturunkan oleh Allah SWT, berdasarkan warisan mulia Nabi Muhammad putra Abdullah SAW.

Dan mungkin bentuk negara Islam dalam arti yang sesungguhnya pun bukan berarti harus mengusir penduduknya yang non-Muslim, atau menghalangi mereka dari hak beribadah sesuai keyakinannya, melainkan mengatur batasan-batasan di mana tidak sampai terjadi pelanggaran secara syari’at Islam, meskipun secara aqidah terdapat perbedaan. Mereka tidak mengganggu hak ummat Islam, dan negara pun juga tetap membiarkan mereka mengambil haknya. Dan mungkin inilah makna toleransi dari sebuah ayat al-Qur’an yang menjelaskan bahwa agama mereka adalah agama mereka, dan agama kita adalah agama kita. Kita tidak ikut dalam ibadah ritual mereka, dan mereka pun tidak mengganggu syari’at kita. Dan demikianlah mungkin bentuk negara yang berhukum dengan hukum Islam. Karena bagaimanapun juga, fenomena perbedaan bangsa atau negara, suku, tradisi, status sosial, dan bahkan profesi sekalipun, pada dasarnya telah dimaklumi dalam Islam, yang mana itu semua justru merupakan media untuk saling mengenal dan saling melengkapi. Adapun yang tidak dibenarkan oleh Islam adalah bangsa atau negara yang berhukum dengan selain hukum Allah SWT, tradisi yang melanggar syari’at, profesi yang tidak halal, keyakinan yang menyimpang, agama selain Islam, atau apapun yang melanggar ketentuan dari al-Qur’an dan as-Sunnah. Dan ketika Islam mengakui keberadaan suatu fenomena, bukan lantas berarti Islam membenarkannya. Negara Islam akan membiarkan warga non-Muslimnya beribadah sesuai keyakinannya, namun tentu secara keyakinan tidak akan membenarkannya.

Adapun untuk perkara hukum atau pengadilan dalam sebuah negara Islam, maka keputusan di dalamnya pun akan harus selalu berpihak kepada yang benar meskipun itu adalah pihak non-Muslim, dan akan harus menghukum yang bersalah meskipun itu adalah pihak Muslim. Allah SWT berfirman di dalam al-Qur’an yang artinya:

“Allah tidak melarang kalian untuk berbuat baik dan berlaku adil terhadap orang-orang yang tidak memerangi kalian karena agama dan tidak (pula) mengusir kalian dari negeri kalian. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berlaku adil.” (Al-Mumtahanah: 8)

Dan mungkin dengan pemahaman yang seperti inilah makna Islam sebagai anugerah untuk semesta akan dapat terwujud. Karena pada kenyataannya, selama ini kita seakan terlalu bersemangat untuk ‘memasukkan’ orang-orang non-Muslim ke dalam neraka, daripada menyeru mereka untuk bersama-sama masuk ke dalam surga. Kita selama ini seakan-akan menjadi manusia satu-satunya yang dianugerahi Islam, dan enggan membuka pintu Islam untuk mereka yang belum mengenal agama yang sempurna ini. Tentu saja Allah SWT mengutus Rasulullah SAW agar menyeru sekalian ummat manusia akhir zaman untuk memeluk Islam, dan bukan justru untuk menjauhkan mereka darinya. Maka dari itu, hendaknyalah kita berusaha mengakhiri segala bentuk kekerasan dalam usaha menyeru ummat manusia ke dalam Islam, baik kekerasan fisik, kata-kata, atau kekerasan apapun, karena Islam bukanlah agama terorisme atau agama para pencela. Dan kita hanya boleh menganggap ummat lain sebagai musuh yang harus diperangi ketika memang mereka telah secara nyata menyerang dan memerangi kita. Dan tentunya di sana juga terdapat banyak pemeluk lain yang tidak mengerti apa-apa dan justru harus dijadikan sasaran da’wah Islam. Bahkan sebenarnya musuh yang menyerang kita pun harus juga kita jadikan sebagai sasaran da’wah itu sendiri.

Dan mungkin salah satu cara untuk menyeru mereka adalah dengan menggunakan media informasi, di mana ketika semakin gencar kita menyebutkan bukti-bukti kebenaran Islam sebagai agama penyempurna bagi semua agama, maka insyaa’Allaah akan semakin lebar pula peluang ummat lain untuk dapat bergabung bersama kita dalam agama kebenaran ini, dengan izin Allah SWT. Dan kita tidak perlu sampai mencaci tuhan-tuhan mereka dalam menyampaikan pendapat, yang justru akan menghinakan Islam itu sendiri, dan bisa jadi justru menyebabkan mereka membalas dengan cara mencaci Allah SWT. Dan jika kita pernah terlanjur atau tanpa sadar telah berbuat yang demikian, maka kita bisa berusaha untuk tidak mengulanginya lagi.

Maka janganlah kita menghina Yesus, karena justru sebenarnya ummat Islam pun diharuskan menghormati dan mencintai Yesus melebihi mereka yang menyembahnya. Kita diharuskan menghormati dan mencintai Yesus bukan sebagai sembahan, melainkan sebagai sosok utusan Allah SWT yang diberi kitab Injil, sebagaimana Nabi Muhammad SAW yang diberi kitab al-Qur’an. Dan nama Yesus pun pada dasarnya hanyalah sekedar istilah lain dari nama Isa (‘alaihissalaam), yang karena perbedaan lisan dan bahasa sajalah perbedaan tersebut muncul. Tentu saja jika Yesus yang dimaksud oleh kaum yang menyembahnya bukanlah Nabi Isa AS, pastinya Allah SWT tidak perlu menegur kaum tersebut, karena memang yang dimaksud oleh Allah adalah Nabi Isa AS, sedangkan yang mereka sembah ketika itu adalah sosok yang lain. Namun tentunya Allah SWT juga tidak mungkin salah dalam menegur.

Dan janganlah pula kita menghina sosok Buddha, karena bisa jadi beliau adalah termasuk utusan Allah SWT sebagaimana Yesus AS. Dan jika memang benar demikian adanya, maka kita pun harus menghormati dan mencintai beliau melebihi mereka yang menyembahnya. Dan hanya Allah sajalah yang mengetahui hakikat semua itu. Demikianlah seterusnya untuk usaha menyeru ummat beragama lain kepada Islam.

Dan dalam usaha tersebut, sesuai keyakinan yang benar tentang iraadah kauniyyah (qadariyyah) Allah SWT dan sesuai ketaatan terhadap iraadah syar’iyyah-Nya, maka kita harus tetap meyakini bahwa keadaan mereka sebagai non-Muslim dan belum beriman pun sebenarnya merupakan ketetapan yang telah dikehendaki oleh Allah SWT, namun baru sebatas itulah yang kita ketahui tentang ketetapan Allah SWT atas mereka. Sedangkan ketetapan selanjutnya yang akan menjadi masa depan mereka, apakah mereka akan kemudian beriman ataukah tetap ingkar, maka kita tidak pernah mengetahuinya. Kita hanya diperintahkan untuk berusaha menyeru kepada kebenaran, sedangkan hasilnya adalah wewenang Allah SWT semata. Dan bahkan kita sendiri pun sebenarnya juga tidak pernah tahu masa depan semacam apa yang akan kita alami sendiri nantinya, yang karena itulah kita tidak sepantasnya berlebihan menghina keadaan orang lain, meskipun mereka sedang tampak terjebak dalam kesalahan. Allah berfirman di dalam al-Qur’an yang artinya:

“Dan tiada seorang pun yang dapat mengetahui (dengan pasti) apa yang akan diusahakannya besok. Dan tiada seorang pun yang dapat mengetahui di bumi mana dia akan mati. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal.” (Luqman: 34)

Dan jangankan kita sebagai ummat biasa yang belum jelas masa depan dan kedudukan akhiratnya, Nabi Muhammad SAW yang telah nyata kebenarannya pun diharuskan mengatakan bahwa beliau sendiri juga tidak tahu nasib masa depan seperti apa yang akan beliau alami. Allah SWT berfirman di dalam al-Qur’an yang artinya:

“Katakanlah (Muhammad): “Aku bukanlah Rasul yang pertama di antara para Rasul, dan aku tidak mengetahui apa yang akan diperbuat terhadapku dan tidak (pula) terhadap kalian.” (Al-Ahqaaf: 9)

Oleh karena itulah, secara iraadah syar’iyyah Allah SWT, kita tidaklah pantas bersikap seakan-akan kita sudah pasti selamat dari neraka hingga berhak menutup kemungkinan taubat dan ampunan bagi orang lain yang terjerumus dalam kesalahan, padahal mereka pun masih hidup dan masih memiliki peluang untuk bertaubat, serta tidak sampai keluar dari lingkup rahmat Allah SWT. Dan tentunya tiada satu manusia pun yang pernah keluar dari wilayah rahmat Allah SWT. Semuanya memiliki kesempatan yang sama untuk dapat kembali bertaubat dan meraih rahmat-Nya. Dan hanya orang-orang yang ingkar sajalah yang berputus asa dari rahmat Allah SWT yang begitu luas. Dan akan tak jauh berbeda jika kita memutus asa atau harapan bagi mereka yang telah tersesat untuk dapat kembali meraih rahmat-Nya. Dan mungkin, kita baru akan pantas untuk menyembunyikan surga dari orang lain yang masih hidup ketika kita sendiri telah sanggup memastikan masa depan akhirat kita sendiri nantinya.

Maka dari itu, kita mungkin harus tetap menyeimbangkan pesan dalam menyampaikan ajaran Islam. Ada kalanya kita harus menyampaikan pesan Islam lebih sebagai kabar gembira, daripada sebagai kabar duka yang justru akan membuat manusia menghindar. Dan ada kalanya juga kita harus memperbanyak peringatan-peringatan dan ancaman dari Allah SWT, agar dapat meredam peremehan dosa dan maksiat. Mungkin semuanya memerlukan tarik-ulur agar keseimbangan antara rasa harap dan cemas tentang nasib akhirat kita dapat tetap terjaga.

Dan akhirnya, kita semua juga harus selalu mengingat bahwa amal kebaikan kita pun belum tentu diridhai oleh Allah SWT. Namun yang telah kita ketahui adalah bahwa jika perbuatan yang baik pun belum tentu diridhai oleh-Nya, maka terlebih lagi dengan perbuatan yang sudah jelas tidak baik. Oleh karena itu, kita mungkin harus selalu berusaha untuk menghindari perbuatan buruk, dengan lebih sering menyibukkan diri dengan aib diri kita sendiri sambil berusaha memperbaikinya, daripada disibukkan dengan aib orang lain hingga menyebabkan kita lalai untuk memperbaiki diri. Memang mungkin harus ada para pencela aib orang lain, seperti aib para koruptor, aib pemimpin yang lalim, aib pelaku kejahatan, dan seterusnya; namun jika kita fikirkan lagi, sebenarnya seberapa besarkah manfaat dari celaan dan cacian tersebut, dan apa saja dampak perubahan yang diakibatkan olehnya? Tentu saja kita tahu bahwa celaan dan cacian tak akan banyak merubah keadaan, bahkan malah justru memperkeruhnya. Dan pastinya celaan dan cacian juga tak akan dapat menjernihkan hati dan fikiran kita, melainkan justru mencemarinya. Celaan dan cacian tak pernah berhasil menciptakan kedamaian, meredam kekacauan, ataupun memperbaiki permasalahan. Sedangkan yang dicela pun belum tentu berubah dengan celaan tersebut.

Jika misalnya banyak acara televisi yang memberitakan tentang tindakan kejahatan, maka tentu kita akan harus menjauhkan informasi tersebut dari anak-anak kita jika kita justru ingin menjaga kejernihan hati dan fikiran mereka. Tentu kita akan mengalihkan perhatian mereka kepada acara yang lebih sehat, aman, dan lebih mendidik bagi jiwa mereka, daripada bermaksud mengajarkan kewaspadaan tentang bahaya sebuah kejahatan, namun malah justru mengisi hati dan fikiran mereka dengan sesuatu yang mengerikan, padahal sebenarnya jiwa mereka pun masih bening dan bisa diisi dengan hal yang lebih bermanfaat dan lebih membangun. Jika mungkin celaan dan cacian bisa merubah dan memperbaiki keadaan, atau bisa membuat para pelaku kejahatan tidak mengulangi kejahatannya, maka mungkin saja Islam sudah sejak dahulu memerintahkan ummatnya untuk memperbanyak mencela dan mencaci. Namun kenyataannya, Islam mengajarkan bahwa untuk merubah sesuatu yang buruk, maka haruslah menggunakan cara yang baik dan benar, salah satunya adalah dengan nasehat yang sesuai. Dan tampaknya, hanya hukum Islam sajalah yang akan dapat merubah perilaku para pelaku kejahatan di negeri ini, dengan izin Allah SWT.

Oleh karena itu, agar jalan hidup kita sesuai dengan iraadah syar’iyyah Allah SWT, maka kita harus selalu berusaha untuk menempuh ketaatan semampu kita. Kita diharuskan senantiasa berusaha menyampaikan kebenaran dan kebaikan yang telah diajarkan oleh Allah SWT kepada kita, baik yang telah diajarkan-Nya melalui guru-guru kita, saudara kita, buku kita, bacaan kita, dan media apapun selain semua itu, sesuai keterbatasan masing-masing. Dan mungkin akan lebih baik jika kita menggunakan media informasi untuk lebih banyak menyebarkan nilai-nilai penting dari warisan Rasulullah SAW, demi meredam dan mengimbangi hal-hal negatif yang terkadang juga tak terkendali. Karena tentunya janji Allah SWT pasti benar, bahwa satu kebaikan yang kita sampaikan pasti akan berbuah sepuluh kali lipat kebaikan, hingga bahkan tak terbatas jika memang dikehendaki-Nya. Dan kita pun juga diharuskan untuk selalu meminta tambahan ilmu kepada-Nya yang tentunya adalah Pemilik segala ilmu, serta memohon perlindungan hanya kepada-Nya agar Dia menjauhkan kita dari kesesatan dalam memahami ilmu.

Dan kiranya kita dapat selalu bersemangat untuk saling mendukung kebaikan bersama, serta semakin bersemangat untuk mengundang ummat lain untuk bersama-sama memeluk agama yang damai ini, agama yang bahkan melarang ummatnya dari sekedar menebak-nebak isi hati orang lain atau banyak berprasangka. Islam adalah agama yang lapang, namun tidak memberi kelapangan bagi kemungkaran. Dia lapang untuk semua manusia yang ingin bertaubat dari kemungkaran, sebesar apapun kemungkaran itu. Karena bagi Islam, sesungguhnya dunia ini hanyalah ruang ujian agar menjadikan manusia senantiasa bertaubat atas kesalahannya, dan agar selalu bersabar dan bersyukur atas segala keadaan, yang mana ujian itu pun hanya akan berakhir ketika ajal telah benar-benar tiba. Dan kehidupan dunia ini tak lain hanyalah ibarat ‘mimpi’ yang pasti akan diakhiri dengan keterbangunan dari tidur. Maka sebaiknyalah kita tidur dengan lebih banyak memimpikan apa yang akan terjadi setelah terbangun nanti, daripada terlalu berlebihan memimpikan ‘mimpi’ itu sendiri.

Semoga kita dimudahkan dalam mewujudkan mimpi kebaikan di dunia ini, dan terlebih lagi mimpi kebaikan di akhirat kelak. Dan semoga kita juga dimudahkan dalam menyampaikan kebenaran Islam kepada ummat manusia dengan cara yang benar, yaitu sesuai kehendak syari’at Allah SWT atau iraadah syar’iyyah-Nya, dengan hikmah dan nasehat yang baik. Dan hanya milik Allah SWT sajalah segala kebenaran, hidayah dan taufiq.

Wallaahu a’lam.