Teladan dari Kondisi Khilafah dibawah Kepemimpinan Nabi Muhammad

tauhidOleh : Muhammad Yusron Mufid

“Apakah manusia itu mengira bahwa mereka dibiarkan (saja) mengatakan: “Kami telah beriman”, sedang mereka tidak diuji lagi? Dan sesungguhnya kami telah menguji orang-orang yang sebelum mereka, maka sesungguhnya Allah mengetahui orang-orang yang benar dan sesungguhnya Dia mengetahui orang-orang yang dusta”. (Q.S. Al Ankabut : 2-3)

Sebagai muslim, tentu tidak ada yang patut kita teladani selain peri kehidupan nabi Muhammad S.A.W. dalam segala aspek kehidupan. Tidak hanya dalam hal ritual tetapi dalam kehidupan sosial bermasyarakat. Seorang ilmuwan barat bernama Michael Hart menempatkan pribadi nabi Muhammad sebagai orang nomor 1 dari daftar 100 orang paling berpengaruh di dunia mengatakan salah satu alasannya meskipun umat Islam bukanlah pemeluk agama terbanyak di dunia namun pribadi Muhammad bukan hanya sosok pemimpin spiritual, tetapi adalah seorang pemimpin politik dan seorang Negarawan. Meskipun sosoknya telah tiada, akan ada umat Islam yang meneruskan misi perjuangannya hingga hari kiamat tiba.

Menjadikan nabi Muhammad sebagai teladan berarti menjadikan beliau sebagai acuan dalam membangun cara hidup Islam. Jika kita mengamati pelaksanaan Islam dimasa Rasulullah maka kita akan tahu bahwa Islam yang Rasulullah ajarkan bukanlah Islam yang hanya terpusat kepada ibadah ritual saja melainkan adalah sistem hukum efektif yang berlaku di masyarakat. Bangunan Islam awal yang Rasulullah bangun di Madinah ditegakkan dengan pilar adanya masyarakat Islam yaitu warga Madinah, Pemerintahan yang dipimpin langsung oleh Rasulullah, dan wilayah kekuasaan meskipun di periode awal dalam lingkup yang kecil yaitu wilayah madinah dan sekitarnya. Dengan demikian, pemberlakuan Islam di masa Rasulullah telah memenuhi unsur berdirinya sebuah Negara dengan adanya rakyat, pemerintahan dan wilayah kekuasaan. Sebuah Negara Islam dibawah kepemimpinan langsung Rasulullah Muhammad S.A.W.

Membayangkan Negara Islam di masa nabi pada awal berdirinya bukanlah Negara Islam (Kekhilafahan) pada masa Harun Ar Rasyid yang konon kehidupan pada waktu itu makmur dan kekayaan melimpah. Namun ternyata identik dengan perjuangan dan ketabahan. Ini menjadi pelajaran bagi kita agar orientasi yang dibangun untuk menegakkan Kekhilafahan Islam bukanlah untuk kemakmuran materi dan kemapanan ekonomi belaka tetapi orientasi utama adalah sebagai sarana untuk melaksanakan tauhid, kewajiban menyembah Allah, merealisasikan hukum-hukum dan syariatNya serta mengemban dakwah Islam seantero muka bumi. Disini saya akan bercerita sedikit bahwa para sahabat rela meninggalkan tanah air dan tumpah darahnya ke negeri yang seperti “Neraka” bukan karena sumber daya alam melimpah di negeri tersebut, motif ekonomi dan perut belaka akan tetapi demi ketulusan iman mereka, demi pembuktian cinta kepada Allah dan RasulNya. Mari kita simak.

Dari sisi kesehatan, negeri madinah pernah Allah berikan cobaan kepada penduduknya dengan wabah demam. Demam yang amat menyiksa para penduduknya terutama oleh kaum muhajirin yang memang tak terbiasa dengan cuaca di negeri lain. Seperti yang digambarkan oleh sahabat Am’r bin Ash ia berkata, “Ketika tiba di Madinah banyak dari kami yang meninggal dunia karena demam yang tinggi. Sampai ketika Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam keluar para sahabat sedang shalat sunnah sambil duduk, maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Shalat sambil duduk pahalanya separuh shalat sambil berdiri.”

Selain itu, Sahabat yang mulia Bilal pernah mendoakan laknat kepada para pembesar Negeri Mekkah yang telah mengusir mereka ke Negeri yang dilanda wabah penyakit yaitu negeri Madinah. Seperti yang dikisahkan Aisyah dalam Shahih Bukhari “Ya Allah laknatlah Syaibah bin Rabi’ah, Utbah bin Rabi‟ah dan Umayyah bin Khalaf sebagaimana mereka mengusir kami dari negeri kami ke negeri yang penuh wabah penyakit.”

Bahkan dari sebuah riwayat dari HR Bukhari disebutkan bahwa ada beberapa orang Islam yang kembali murtad karena tidak tahan terhadap wabah penyakit yang sedang melanda negeri Islam tersebut. Berkat Kejadian ini, Rasulullah bersabda bahwa hal ini adalah tabiat negeri Islam madinah yang dengannya akan menjadi proses seleksi siapa hamba-hambaNya yang tulus mencintai Allah dan RasulNya.
“Saya diperintahkan hijrah ke sebuah daerah yang memiliki banyak keutamaan dibanding daerah- daerah yang lain. Orang-orang menamakan tempat itu dengan nama Yatsrib. Itulah yang sekarang bernama Madinah. Ia menyeleksi manusia sebagaimana al-kiir menghilangkan bagian dari besi yang buruk.” (HR Bukhari).

Tak hanya dari sisi kesehatan, pun halnya dari sisi ekonomi. Dalam Shahih Muslim, ada riwayat dari Abu Sa‟id maula Al-Mahri, bahwa ia mendatangi Abu Sa‟id Al-Khudhriy pada malam yang panas. Ia meminta saran kepada Abu Sa‟id Al-Khudhriy akan meninggalkan Madinah dan mengeluhkan harga barang-barang yang mahal, keluarganya yang banyak dan memberi tahunya bahwa ia tidak sabar lagi menanggung kesulitan dan ujian Madinah. Maka Abu Sa‟id Al- Khudhriy menjawab, “Celaka kamu, saya tidak menyuruhmu melakukannya. Saya pernah mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

“Tidaklah seseorang bersabar menahan rasa lapar di Madinah lalu meninggal dunia melainkan saya akan menjadi penolong (syafii‟) atau saksi (syahiid) baginya kelak pada hari kiamat, jika ia seorang muslim.”

Bahkan diriwayatkan Dalam Shahih Bukhari pada suatu ketika bahwa para tamu mulia di masjid Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dimana seluruh sahabat melihat mereka jatuh tersungkur karena sakit saking laparnya, tidak punya apa-apa. Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu berkata, “Orang yang paling baik terhadap orang-orang miskin adalah Ja‟far bin Abu Thalib. Ia sering mengunjungi kami dan memberikan makanan kepada kami apa saja yang ada di dalam rumahnya. Sampai ia pernah memberikan ukkah (bejana kecil terbuat dari kulit biasanya untuk wadah mentega) yang sudah tidak ada apa- apanya, lalu kami menyobekinya kemudian kami menjilati apa yang tersisa”

Perlu para pembaca ketahui bahwa Ja’far bin Abi Thalib yang diriwayatkan pada cerita diatas baru datang ke Negeri Islam Madinah adalah setelah penaklukkan benteng Khaibar yaitu 7 tahun setelah berdirinya negeri Islam Madinah. Artinya dalam waktu 7 tahun kelaparan masih melanda negeri kaum muslimin.

Bahkan pemimpin Negaranya sendiri, manusia mulia Rasulullah S.A.W tak luput dari deraan rasa lapar yang luar biasa seperti yang diriwayatkan dalam Shahih Muslim ‘dari Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu ia berkata, “Pada sauatu hari saya mendatangi Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Saya mendapati beliau sedang duduk berbincang-bincang dengan para sahabatnya. Dan beliau mengikat perutnya dengan sebuah perban. Usamah berkata, “-Saya ragu-ragu- dengan sebuah batu.” Saya bertanya kepada beberapa sahabat, “Kenapa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengikat perutnya?” Mereka menjawab, “Karena lapar.”

Dari sisi keamanan pun Negara Islam dimasa Rasulullah ada dalam kondisi terhimpit dari segala penjuru oleh kepungan musuh-musuhNya, seperti yang diucapkan oleh pemimpin kaum Anshar kepada pengikutnya ketika mereka mempertimbangkan akan melindungi Rasulullah bahwa mereka akan menjadi musuh bersama segenap bangsa Arab. Penuh resiko militer dari penyerbuan mereka. Hingga akhirnya mereka paham dan tetap dengan Ikhlas mebaiat Rasulullah. Pun ketika Rasulullah dan para sahabatnya sudah di Madinah tetap dihantui rasa kecemasan terhadap keamanan hingga Rasulullah selalu membawa senjata di pinggangnya dan para sahabat menjaga Rasulullah di waktu malam.

Demikianlah gambaran singkat Kondisi Daulah Nabawiyah di masa awalnya yang amat memprihatinkan, saya tidak bisa membayangkan akan berapa kali Rakyat Madinah melakukan demonstrasi kepada Rasulullah karena urusan perut dan uang jika pola pikir mereka seperti rakyat sekarang. Ini juga menjadi pelajaran bagi Gerakan Islam yang memiliki cita-cita mulia yaitu tegaknya Kekhilafahan Islam bahwa para sahabat bisa begitu tabah dan sabar menghadapi kondisi yang demikian karena keberhasilan proses penanaman pemahaman (Tarbiyah) dari Rasulullah yang berorientasi kepada tauhid dan akidah Islam. Bukan karena iming-iming ekonomi, penguasaan SDA, BBM Murah, pendidikan terjangkau, bebas pajak, serta kemakmuran materi lainnya. Melainkan pendidikan yang ditanamkan Rasulullah kepada para sahabat adalah tentang tujuan hidup bahwa mereka diciptakan hanya untuk beribadah kepada Allah saja tanpa menyekutukanNya, tunduk kepada hukum-hukum dan syariatNya, mereka hidup untuk menjalani ujian, akan adanya hidup setelah mati serta keyakinan terhadap janji Allah akan menjayakanNya dimuka bumi jika bersabar dalam menjalani ujian dan kesulitan. Pemahaman itulah yang membuat para sahabat begitu tegar menghadapi segala bentuk musibah dan ujian.

Ini juga sebagai kritik kepada mereka yang menyatakan bahwa negara Islam layak berdiri ketika sudah benar-benar mampu melayani kebutuhan masyarakat baik pangan, sandang dan papan. Lalu bagaimana keadaan Negara Islam zaman Rasulullah yg amat memprihatinkan tsb ? Tidak lain bahwa Negara Islam layak berdiri karena kesadaran dan komitmen umatnya untuk menegakkan hukum Allah, menegakkan tauhid dan mencegah kemungkaran dan sekali lagi bukan karena motif perut dan uang.

Melihat pengorbanan para Sahabat, kita tentu patut malu karena banyak mengeluh ketika datang kesulitan dalam ketaatan. Padahal kesulitan yang kita alami belumlah seperti Rasulullah dan para sahabat yang mulia. Wallahua’lam

“Apakah kamu mengira bahwa kamu akan masuk surga, padahal belum nyata bagi Allah orang-orang yang berjihad di antaramu, dan belum nyata orang-orang yang sabar”. (QS. 3:142)

 

“Apakah kamu mengira bahwa kamu akan masuk surga, padahal belum datang kepadamu (cobaan) sebagaimana halnya orang-orang terdahulu sebelum kamu? Mereka ditimpa oleh malapetaka dan kesengsaraan, serta digoncangkan (dengan bermacam-macam cobaan) sehingga berkatalah Rasul dan orang-orang yang beriman bersamanya: “Bilakah datangnya pertolongan Allah“. Ingatlah, sesungguhnya pertolongan Allah itu amat dekat”. (QS 2:214)

 

*Disarikan dari teks materi ceramah Abu Hamzah Al Muhajir dengan judul Daulah Nabawiyah