Mencetak Dinar di Tengah Krisis (1)

Mukjizat Konsep Ekonomi Nabi Yusuf (1/2)

Oleh : Fathuddin Ja’far, Dewan Redaksi Eramuslim

Selintas judul di atas sangat bombaptis…Tapi, itulah kenyataan yang kami saksikan saat mengelilingi gunung Ringgit yang terletak di desa Sawaran Kulo, Kedung Jajang, Klakah, Lumajang, Jawa Timur. Rombongan kami terdiri dari pak M. Iqbal, pakar Islamic Financial Planning dan pemilik geraidinar yang ngetop sejak krisi global gelombang kedua dua bulan lalu, pak Azwin, seorang pakar kesehatan yang jadi professional di salah satu perusahan Jepang dan pak Aldin, pengusaha property yang tak sing lagi di Depok. Alhamdulillah, kami mendapat kesempatan berkunjung ke kawasan gunung Ringgit yang indah tersebut dari 26 – 28 Nopember 2008.

Gunung Ringgit adalah sebuah nama gunung yang terkenal di wilayah Klakah, Kabupaten Luamajang. Sejak dari kaki gunung sampai puncaknya terbentang sebuah areal perkebunan yang dikembangkan sejak zaman penjajahan Belanda sekitar tahun 1912. Perkebunan Gunung Ruinggit yang dimiliki oleh PT. AGRI HALBA telah berganti-ganti pemilik. Kendati alamnya sangat ekstrim, namun berkat kesungguhan dan kepiawaian para pengelolanya yang baru mentakeovernya sekitar tujuh tahun lalu telah berubah menjadi areal perkebunan moderen yang exotic, bahkan bisa dikatakan berhasil disulap dari hutan ringgit (Ringgit adalah mata uang Malysia) menjadi hutan Dinar (dinar adalah mata uang emas Islam yang dapat bertahan sejak lebih dari 14 abad silam).

Di atas areal 1.200 Ha tersebut, Dinar tersebar di mana-mana dan bahkan berjarak hanya 1 sampai 3 meter. Kenapa penulis namakan dengan dinar? Karena setiap pohon kayu sengon atau kayu jati emas, diprediksi sekarang harganya mencapai setengah Dinar, yakni sekitar 700.000 rupiah/pohon. Namun, jika dinilai dalam 3 – 4 tahun ke depan, kemungkinan harga per pohon kayu keras di perkebunan tersebut bisa mencapai satu Dinar yakni sekitar 1.4 jt rupiah, harga dinar saat ini.

Di areal yang subur dan hijau tersebut terdapat ratusan ribu pohon kayu sengon, jati emas, mahoni dan berbagai macam kayu lainnya dengan umur antara satu bulan sampai 6 tahun. Belum lagi termasuk pohon karet yang menutupi areal sekitar 400 Ha atau 300.000 pohon dengan produksi saat ini 400 kg perhari. Diperkirakan 4 sampai 5 tahun ke depan produksi karetnya mencapai di atas 1 ton perhari. Harga karet saat kami berkunjung sekitar USD 2.00/kg. Belum lagi tanaman lain seperti pisang kualitas ekspor dan berbagai jenis kayu dan tumbuhan lainnya.

Yang lebih unik lagi, para pekerja/buruh yang berjumlah sekitar 400 orang mendapat kesempatan mengembangkan potensi ekonomi mereka dengan beternak kambing dan sapi di dalam arela perkebunan tersebut. Binatang ternak tersebut murni menjadi milik mereka. Salah seorang di anatara mereka yang kami temui saat selesai shalat Subuh berjamaah menjelaskan dia memiliki 20 ekor kambing yang dapat dijual saat membutuhkan uang tunai. Hanya beberapa menit, Bapak setengah baya itu langsung pamit karena mau memulai aktivitas perkebunannya. Lalu saya berkata pada teman-teman : Pantas mereka berkah hidupnya, karena bekerja pagi-pagi bangat, apalagi setelah shalat Subuh berjamaah di Masjid. Junjungan kita, Nabi Muhammad Saw pernah bersabda : “Diberkahilah umatku yang keluar mencari rezki di pagi hari buta”. Kita di kota, pagi hari buta masih ngorok, terus paginya habis umur di jalan karena macet.

Sungguh fantastic memang melihat fakta yang ada di Bukit Ringgit tersebut. Sampai-sampai kami berucap : Kok bisa Indonesia bangkrut ya? Kok bisa mayoritas penduduknya miskin ya? Padahal potensi perkebunan dan pertanian sangat luar biasa, jika saja dikelola secara moderen seperti yang kami lihat di gunung Ringgit itu. Berarti banyak hal yang gak beres di negeri ini. Sungguh menyedihkan….

Sebelum diampbil alih oleh manajemen sekarang, nilai dan potensi perkebunan yang ada di dalam areal yang dikelilingi beberapa desa tersebut hanya sekitar 5 milyar rupiah. Dalam waktu 7 tahun kemudian berubah menjadi kebun Dinar (uang) yang sudah bernilai sangat tinggi. Baru-baru ini pernah ditawar oleh salah seorang Capres 2009 senilai 60 milyar. Allahu Akbar…

Sesungguhnya potensi ekonomi yang ada di dalam perkebunan tersebut jauh lebih besar dari itu. Perkirakan nilai aset sekarang tak kurang dari 100 milyar rupiah. Subhanallah…. Sebuah pertambahan nilai yang sangat fantastic dengan pertumbuhan lebih dari 200 % pertahun. Belum termasuk nilai tambah konservasi alam, kemakmuran buruh dan manfaat lain bagi masyarakat di sekitarnya. Padahal perkebunan tersebut ditakeover dan dikelola oleh manejemen yang baru sekaranag saat negeri ini sedang menghadapi krisis.

Rahasia Keberhasilan

Bagi yang belum menyaksikan dan memahami dunia perkebunan dengan konsep yag diterapkan di gunung Ringgit, keberhasilan tersebut memang tidak masuk akal. Saat dunia krisis, kok bisa merekayasa pertumbuhan asset menjadi lebih dari 200% pertahun? Tapi, inilah fakta yang kami lihat. Penilaian ini bukan hanya dari team kaimi, namun juga dari banyak kalangan yang sempat mendapat kesempatan berkunjung ke sana.

Lalu timbul pertanyaan mendasar : Apa rahasi keberhasilan luar biasa tersebut? Menurut hemat kami yang berdiskusi intensif – dari pagi sampai malam -, survey lapangan dan mendapat penjelasan serta pelajaran langsug dari perintis, pemilik dan sekaligus sebagi Dirut PT. AGRI HALBA, Bapak Dadang Muhammad, selama 2 haru 2 malam, kami dapat simpulkan sebagai berikut :

1. Paradigma Berfikir.

Selama ini, dalam pemikiran kebanyakan kita, bahwa perkebunan itu adalah aktivitas bercocok tanam di sebidang tanah yang dimilki sendiri atau kerjasama dengan pemilik tanah dengan konsep sewa atau kerjasama dengan sistem bagi hasil. Tanaman yang ditanam sebatas tumbuh-tumbuhan yang sudah diwariskan sejak turun temurun. Jika di lahan tersebut dulunya ditanami sayur-sayuran, maka sampai saat inipun masih sayur-sayuran. Jika di lahan tersebut sejak dahulu ditanami tanaman buah seperti rambutan, mangga, jeruk dan sebagainya, maka sampai hari ini para petaninya juga akan menanam hal yang sama..

Di samping itu, berkebun dianggap pekerjaan yang tidak keren, rendahan dan kampungan karena mengharuskan tinggal di pedesaan dan bahkan di hutan. Yang keren dan menarik ialah bekerja di kota, khususnya kota-kota besar kendati hanya sebagai kuli bangunan, pembersih jalan atau gedung, lalu bisa menikmati secuil kehidupan moderen materialistic yang berakibat hedonis.

Hal lain yang tak kalah kelirunya ialah bahwa menabung dan menumbuh kembangkan uang atau kekayaan hanya lewat institusi keuangan dan lembaga-lembaga isnvestasi lainnya yang menjanjikan, termasuk bursa saham. Lucunya, saat ekonomi dan keuangan koleps seperti sejak tahun 1998 sampai sekarang, dunia perbankan – terlebih lagi bursa saham – dan lembaga-lembaga investasi lainnya juga ikut koleps dan tidak mampu menahan kehancuran nilai tabungan dan investasi para penabung dan nasabahnya, apalagi menumbuhkembangkannya. Bahkan bisa berakibat ludesnya asset atau kekayaaan yang kita miliki.

Semua itu adalah gambaran kongkrit paradigma berfikir masyarkaat kita saat ini tentang uang, cara mencari uang dan menumbuhkembangkan uang (investasi).

Lain halnya dengan pak Dadang Muhammad. Jebolan IPB yang nyentrik ini melihat bahwa uang itu tidak identik dengan uang kertas rupiah atau dolar AS yang dicetak dengan menuliskan angka tertentu di lembaran depan dan belakangnya yang dapat disimpan di bank. Akan tetapi, uang adalah apa saja yang bisa melahirkan value, termasuk uang itu sendiri. Yang menarik, berbagai jenis pohon kayu keras maupun tumbuhan lainya di tangan pak Dadagn menjadi bernilai uang. Uang-uang tersebut akan tumbuh dan berkembang sesuai system yang diciptakan Tuhan Pencitanya, yakni Allah Taala, dan bisa berlipatganda dibandig dengan ditabung atau diinvestasikan melalui lembga-lembaga investasi lainnya.

Pada suatu hari, saat salah seorang partner pak Dadang ingin menebang kayu-kayu yang sudah besar untuk diuangkan. Lalu ia berkata ; Untuk apa? Kitakan belum butuh uang sejumlah itu. Pak Dadang seakan mengisyaratakan kalau dibiarkan kayu-kayu tersebut tumbuh dan membesar malah nialinya akan bertambah berlipat ganda. Kalau ditaruh di bank dan sebagainya, jelas nilainya turun dan bahkan bisa habis.

Itulah paradigma berfikir yag benar tentang uang, cara mencari uang dan menginvetasikan (melipatgandakan) uang, apalagi di saat krisis seperti saat ini. Jika saja para pemimpin dan pengambil kebijakan di negeri yang tak kunjung keluar dari krisi ekonomi dan keuangan sejak sepuluh tahun yang lalu ini mampu merubah paradigma berfikir mereka, pasti negeri ini tidak akan babak belur seperti saat ini. Yang menakutkan lagi ialah, indikator-indokator makro dan mikro menunjukkan bahwa Indonesia masih akan menghadapi krisis yang berkepanjangan.

2. Ilmu Yang Mendalam.

Ilmu adalah modal kedua setelah iman. Terkait dengan perkebunan gunung Ringgit, ilmu yang mendalam tersebut diaplikasikan dengan baik oleh Pak Dadang dan kawan-kawannya. Berbagai percobaan dilakukan, baik terkait dengan bibit, jenis tanaman, maupun pupuk organic. Di samping itu, ilmu tentang market dan kecenderungan pasar lokal dan dunia juga merupakan hal yang sangat menjadi perhatian mereka.

Ilmu yang dikembangkan di perkebunan gunung Ringgit tersebut secara holistic dan konprehensif, seperti terkait dengan lahan/ tanah, bit/benih, pupuk, perawatan dan market dan timing (maktu) yang tepat untuk menanam. Terkait dengan bibit misalnya, jika tidak ada di Indoensia pak Dadang mencarinya di Negara lain seperti bibit pohon yilang-yilang (flower of flowers) yang bunganya menjadi bahan baku perfume kelas atas. Secara teknis, pak Dadang paham betul bibit mana saja yang akan bekembang sesuai harapan dan mana yang tidak. Sebab itu, dari dini sudah diketahuai secara pasti bahwa bibit itu akan bisa berkembang dan menghasilkan secara maksimal. Lalu, bibit seperti itulah yang akan ditanam dan dikembangakan.

Demikian juga dengan ilmu tentang pupuk. Pak Dadang merekayasa pupuk organic sendiri sehingga mengurangi biaya ketergantungan kepada pupuk chemical, di samping pupuk organic tersebut bisa menjaga dan memperbaiki struktur tanah yang sudah rusak oleh pupuk chemical.

Demikian juag ilmu tentang manajamen tanaman. Pak Dadang akan memenej tanaman yang akan ditanam sejak dari yang bisa dipanen setiap hari seperti nilam, jangka 5-6 tahun seperti jati emas, Sengon / Jenjing, Suren/Surian, Balsa, Jabon, Gmelina/Jati Putih serta jangkan panjang yang berumur 30 tahunan seperti Karet.

Yang membuat semua tanaman tersebut bernilai tinggi, kata kuncinya treletak pada dua hal :
a. Manajemen tanaman yang baik dan variatif dalam waktu yang sama sehingga lahan terfungsikan secara maksimal.

b. Memahami kebutuhan pasar lokal dan global bersifat jangka panjang, sehingga produksi tetap dapat dijual dengan harga yang tinggi, dan bahkan semakin tinggi.

3. Semangat Perjuangan (Keikhlasan)

Tak diragukan bahwa semangat perjuangan merupakan salah satu faktor keberhasilan. Sangat jelas tergambar dalam wajah pak Dadang bahwa beliu dan kawan-kawannya memiliki hal tersbeut. Bayangkan, dalam kondisi kiris, tujuh tahun lalu mereka bersepakat menekuni usaha perkebunan dengan modal dari kantong masing-masing. Sekarang, setelah Gunung Ringgit berubah menjadi kebun Dinar, apakah pak Dadang berhenti dan berleha-leha menikmatinya? Ternyata tidak. Beliau hidup sederhana dan berpenempilan low profile. Ia selau berfikir bagaimana menularkan ilmu dan pengelaman yang sangat berharga itu kepada semua orang, bahkan kepada pemerintah, kendati belum mendapat tanggapan yang serius.

Sebab itu, tak heran jiak pak Dadang dengan sangat semangat menyambut setiap orang yang datang dan berkunjung sambil menjelaskan pengalaman yang sangat berharga itu. Dalam pikiranya, tak ada yang harus disimpan, apalagi dimonompoli. Toh semua yang dia peroleh juga berasal dari kasih sayang Allah, Tuhan Pencipta alam semesta. Sebab itu, ilmu dan pengalaman harus dicurahkan untuk memperjuangkan mayoritas masyarakat yang masih miskin, khususnya masyarakat pertanian dan perkebunan. Untuk berjuang diperlukan keikhlasan. Kalaulah setiap pejabat, politisi, pemimpin dan pengusaha di negri ini berfikir dan berbuat demikian, dijamin berbagai persoalan negeri ini selesai. Namun disayangkan, yang ada di benak mereka dan praktek hidup mereka adalah sebaliknya. Sampai-sampai salah seorang pejabat tinggi BUMN pernah berkata kepada pebulis : Jangan heran Pak. Di mata mereka, yang penting untuk saya apa dan berapa. Sungguh menyedihkan…