Pejabat Bisa Menjadi Pencuri Jika Melebihi Hak Hak seperti Ini

Umar radhiallahu ‘anhu menyampaikan konsep penggajian bagi dirinya sebagai pemimpin tertinggi:

“Saya memposisikan diri saya terhadap harta Allah (harta negara), seperti menghadapi harta anak yatim. Siapa yang kaya, maka hendaklah menjaga dirinya. Siapa yang miskin, maka boleh memakannya dengan cara baik.” (ashr al-Khilafah al-Rasyidah, h. 238)

Dan inilah detail yang diambil Umar dari negara h. 237-238:

“Saya menyampaikan kepada kalian semua, harta Allah yang saya ambil: pakaian di musim dingin dan musim panas, kendaraan yang saya pakai untuk haji dan umroh, konsumsi bagi keluarga saya seukuran masyarakat Quraisy; bukan yang kaya dan bukan yang miskin. Saya hanya seorang laki-laki dari masyarakat muslimin, apa yang menimpa mereka pun menimpa saya.”

Umar radhiallahu ‘anhu juga berani mempersaksikan dirinya di hadapan Allah subhanahu wata’ala:

“Ya Allah, sesungguhnya Engkau mengetahui bahwa saya tidak makan kecuali makanan saya, tidak memakai kecuali pakaian saya dan tidak mengambil kecuali bagian saya.”

Sementara untuk masyarakatnya, Umar melanjutkan konsep tunjangan Abu Bakar dengan beberapa perbaikan. Di antara perbaikan itu adalah jumlah besaran tunjangan yang diberikan, menjadi jauh lebih besar seiring dengan negara yang semakin kaya:

  1. Tunjangan uang tahunan berdasarkan strata yang dibuat oleh Umar. Yang paling tinggi: 12.000 Dirham bagi istri Nabi yang masih hidup dan yang paling rendah adalah 100 Dirham bagi bayi yang baru lahir
  2. Tunjangan barang, bisa berupa pakaian, makanan dan sebagainya

Hal menarik yang perlu dicatat dari sikap empati Umar radhiyallahu ‘anhu saat masyarakat sulit adalah pada peristiwa ‘am Ramadah (tahun kelaparan) yang menimpa Hijaz (Mekah dan Madinah, bukan seluruh negeri) di akhir 17H. Umar sebagai Khalifah tidak mau mengkonsumsi lemak dan His (makanan dari adonan kurma dicampur lemak dan lainnya) karena harganya mencapai 40 Dirham. Umar juga tidak mau meminum susu pada masa itu. Dan hanya mau mengkonsumsi minyak dan gandum saja. Sebagai upaya menghibur masyarakatnya.

Anas radhiyallahu ‘anhu berkata: Perut Umar bunyi (karena lapar) karena hanya makan minyak pada ‘am ramadhah, sementara dia tidak mau makan lemak. Maka dia menusuk perutnya dengan menggunakan jarinya dan berkata:

Tidak ada yang kami miliki selain ini, hingga manusia hidup kembali. (Tarikh al-Khulafa’ h. 116, MS)

Ibnu Sa’ad meriwayatkan kisah Aslam yang bercerita,

Pada ‘am ramadhah, ada unta disembelih. Maka Umar membagikannya bagi masyarakat. Mereka menyisihkan daging yang bagus dari punuk unta dan hati untuk Umar. Saat Umar melihat, dia bertanya: Dari mana ini? Mereka menjawab: Wahai Amirul Mukminin, itu dari unta yang hari ini kita sembelih. Umar berkata: Buruk sekali saya sebagai pemimpin jika saya makan daging yang bagus sementara saya memberi masyarakat yang tidak bagus. Angkat piring ini, berikan kami makanan selain ini!

Saat seperti itu empati sang pemimpin tertinggi, ternyata diikuti oleh para pejabat di bawahnya.

Dari Ibn as-Sa’idi berkata: aku diangkat Umar sebagai salah seorang pejabatnya mengurusi zakat. Ketika tugasku selesai, Umar memberiku upah. Aku pun berkata: Aku bekerja karena Allah. Umar menjawab: Aku pernah juga bekerja di masa Rasulullah dan beliau pun menggajiku. (HR. Abu Dawud no 1453, dishahihkan al-Albani)

Konsep penggajian pejabat para pemimpin di atas sangat menarik untuk menjadi inspirasi penggajian pejabat hari ini.

Jadi pak pemimpin, masih ada yang mau minta naik gaji?