Hadits Ghadir Khum dalam Perspektif Islam (Telaah Kritis Terhadap Pandangan Syiah)

ghadirOleh: Nofriyanto[1]

Umat Islam meyakini bahwa urutan al-Khulafa’u ar-Rasyidun yang empat sepeninggal Rasulullah, yaitu: Abu Bakar, Umar, Utsman kemudian Ali. Masing-masing dari khalifah ini, diangkat dan dibaiat melalui Syūra (musyawaroh) para Ahlu Halli wa al-‘Aqdi dari sekelompok kaum Muhajirin dan Anshar, yang kemudian diikuti oleh keseluruhan umat Islam.[2] Namun lain halnya dengan apa yang diyakini oleh Syiah. Menurut mereka khalifah yang syah setelah meninggalnya Rasulullah, adalah Ali. Salah satu dalil yang mereka jadikan landasan dari keyakinan ini,  yaitu hadits Rasulullah di Ghadir Khum dalam perjalanan pulang beliau ke Madinah setelah melaksanakan haji wada’ pada tanggal 10 Dzulhijah tahun 10 H. [3]

Keyakinan Syiah tersebut bukan hanya sekedar wacana, akan tetapi sudah mencapai kepada praktikal, yang terimplementasikan dengan menjadikan hari Ghadir Khum sebagai hari raya selain dua hari raya yang selama ini diyakini kaum muslimin. Sebagaimana yang dirayakan oleh penganut Syiah di Indonesia, tepatnya pada hari Sabtu 26  Oktober 2013, di gedung Smesco Jln. Gatot Subroto, Jakarta Selatan. Yang sangat disayangkan perayaan ini justru mendapatkan dukungan dari beberapa kalangan akademisi, elit politik, budayawan bahkan Presiden Republik indonesia.[4] Maka, melalui makalah ini, penulis merasa perlu menjelaskan hakikat sebenarnya dari hadits Ghadir Khum yang digunakan oleh Syiah untuk melegitimasi keyakinan mereka terhadap kepemimpinan Ali pasca wafatnya Rasulullah. Ini dilakukan, dengan harapan kaum muslimin tidak salah memahami hadits tersebut, sekaligus sebagai sanggahan terhadap keyakinan Syiah terhadapnya.

Untuk mendapatkan pemahaman yang komprehensif dari suatu hadits, salah satu cara yang ditempuh yaitu dengan memahami  sababul wurud (latar belakang munculnya hadits). Begitu pula  dalam hadits Ghadir  Khum ini, kita perlu mengetahui latar belakang mengapa Rasulullah bersabda: ”Barang siapa yang menjadikan aku sebagai maulanya (penolongnya), maka Ali juga sebagai maulanya. Ya Allah, cintailah orang yang mencintainya dan musuhilah orang yang memusuhinya.” Adapun latar belakang Rasulullah bersabda dengan hadis ini, yaitu ketika banyaknya kaduan dari beberapa orang yang tidak setuju dengan beberapa keputusan Ali ketika Rasulullah mengutusnya ke Yaman sebelum haji wada’. [5] Melihat hal tersebut, maka Rasulullah mengingatkan mereka untuk saling berwala’ (mencintai dan tolong-menolong) dan tidak boleh saling mencela dan membenci. Nasehat beliau ini berlaku umum bagi setiap mukmin, hanya saja dalam hadis ini, nasehat beliau tujukan terlebih khusus kepada orang-orang yang tidak setuju dengan beberapa keputusan Ali.[6] Berdasarkan keterangan ini, dapat kita simpulkan  bahwa tujuan Nabi menyampaikan khutbah di ghadir Khum, bukan dalam rangka menobatkan Ali sebagai khalifah sepeninggal beliau, sebagaimana yang diyakini Syiah, akan tetapi dalam rangka menasihati umatnya untuk saling mencintai dan tidak saling membenci.

Secara etimologi, kata maula dalam bahasa Arab sendiri tidaklah berartikan pemimpin, melainkan memilki banyak arti. Antara lain, yaitu:  Rabb, raja, yang memberi nikmat, penolong, orang yang mencintai, tetangga, sepupu, orang yang memerdekakan budak, paman dan lain-lain.[7] Melihat kepada arti-arti dari kata maula tersebut, maka sangatlah tidak tepat jika mengartikan kata maula dengan pemimpin, sebagaimana yang diinginkan oleh Syiah. Ketidaktepatan tersebut terlihat jelas dari lawan dari kata maula dalam kelanjutan hadis tersebut yang justru menyatakan: musuhilah orang yang yang memusuhinya. Maka dari itu, arti yang sesuai dan tepat untuk mengartikan kata maula dalam hadis tersebut, baik secara teks maupun konteks, adalah “penolong”, sebab kebalikan dari kata penolong adalah musuh.[8] Sebagaimana di dalam ayat- ayat al-qur’an sendiri kata maula lebih banyak diartikan sebagai penolong, contohnya antara lain firman Allah di dalam QS. At-Tahrim: 66:4

 

إِنْ تَتُوبَا إِلَى اللَّهِ فَقَدْ صَغَتْ قُلُوبُكُمَا وَإِنْ تَظَاهَرَا عَلَيْهِ فَإِنَّ اللَّهَ هُوَ مَوْلاهُ وَجِبْرِيلُ وَصَالِحُ الْمُؤْمِنِينَ وَالْمَلائِكَةُ بَعْدَ ذَلِكَ ظَهِيرٌ

Jika kamu berdua bertobat kepada Allah, maka sesungguhnya hati kamu berdua telah condong (untuk menerima kebaikan); dan jika kamu berdua bantu-membantu menyusahkan Nabi, maka sesungguhnya Allah adalah Penolongnya dan (begitu pula) Jibril dan orang-orang mukm`in yang baik; dan selain dari itu malaikat-malaikat adalah penolongnya pula.[9]

Ini dikarenakan karena kata walayah dengan men-fathah-kan huruf waw artinya melindungi, menolong, mencintai atau arti lainnya yang merupakan antonim dari memusuhi, dan isimnya yaitu maulā dan waliy. Sedangkan wilayah dengan men-kasroh-kan huruf waw artinya pemerintahan, dan isim darinya yaitu wāliy dan mutawalliy.[10]

Dari sisi lain, hadits Ghadir Khum yang diklaim Syiah sebagai nash sharih (jelas) tentang imāmah Ali sepeninggal Rasulullah, jika diteliti dari segi sanad (mata rantai pentransmisian hadits), bukanlah termasuk hadits mutawatir dan bahkan masih diperdebatkan ke-shahih-annya di kalangan ulama hadits. Di antaranya, Abu Dawud as-Sajastani dan Abu Hatim ar-Razi menilai hadits ini batal. Sementara Abu Musan, sebagaimana dikutip Ibnu Atsir dalam Usūd al-Ghabah, menyatakan bahwa hadits ini sangat Gharib. Beliau berkata: “Saya tidak mengetahui hadits ini kecuali dari riwayat Ibnu Sa’id”.[11] Sedangkan Ibnu Hazm mengatakan bahwa hadits tersebut tidak memiliki jalur yang shahih sama sekali.[12] Maka, klaim Syiah terhadap imāmah Ali dengan hadits ini, selain tidak tepat dengan asbab wurud-nya dan makna maula secara etimologi, juga masih menyisakan permasalahan dari keshahihan sanadnya.

Selain itu, kekeliruan konsep imāmah Syiah yang didasarkan kepada hadits Ghadir Khum, juga bisa dilihat dari sikap dan pernyataan-pernyataan baik Ali sendiri terhadap para khalifah sebelum beliau. Di antara contoh sikap baik beliau yang terekam dalam lembaran buku sejarah, yaitu pembaiatan beliau kepada para khalifah sebelum beliau dengan sukarela tanpa paksaan sedikit pun.[13] Ada pun di antara pernyataan-pernyataan baik beliau kepada para khalifah sebelumnya, terlihat jelas dari salah satu pengakuan beliau ketika menyebutkan tingkatan manusia terbaik setelah Rasulullah:

 

أيها الناس إن خير هذه الأمة بعد نبيها أبو بكر ثم عمر ولو شئت أن أسمى الثالث لسميت وعنه أنه قال وهو نازل من المنبر ثم عثمان ثم عثمان

Wahai segenap manusia! Sesungguhnya manusia terbaik dari umat ini setelah Rasulullah yaitu Abu Bakar, kemudian Umar, seandainya aku berkenan menyebutkan yang ketiga, maka akan aku sebutkan. Kemudian diriwayatkan dari Ali ketika ia turun dari mimbar sambil berkata kemudian Utsman, kemudian Utsman[14]

Ungkapan Ali di atas, sangat jelas menggambarkan keridhaan beliau kepada para khalifah sebelumnya. Ungkapan ini tidak akan beliau ucapkan, jika memang benar apa yang dituduhkan Syiah kepada para khalifah sebelumnya, bahwa kekhilafahan mereka tidak syah karena mereka telah merampas hak kepemimpinan dari Ali setelah Rasulullah wafat.[15]    Sebab, Ali sendiri memuji dan menghormati mereka dan mengakui keutamaan mereka. Bahkan, pernyataan beliau bahwa Abu Bakar adalah orang yang paling berhak dan pantas menjadi khalifah setelah Rasulullah, selain tertulis  dalam salah satu rujukan utama Syiah sendiri, yaitu buku Nahju al-Balaghah yang di-syarah oleh Ibnu Abil Hadid,[16] juga ditulis dua ulama Ahlussunnah, yaitu:  Yusuf bin Muhammad[17] dan Abdullah bin Muhammad at Tamimi.[18]

Dalam Islam, konsep yang telah ditetapkan untuk menentukan siapa yang berhak menjadi khalifah yaitu melalui konsep Syūra (musyawarah) para Ahlu Halli wa al-‘Aqdi dari para ulama dan pemuka umat. Yang mana, dalam proses pelaksanaanya tidak melibatkan seluruh umat Islam, akan tetapi hanya melibatkan orang-orang yang memang memiliki otoritas dan kapabilitas dalam urusan agama Islam.[19] Konsep ini, telah dicontohkan oleh orang-orang terbaik umat ini terkhusus dari para pemuka kaum Muhajirin dan Anshar sepeninggal Rasulullah dalam pengangkatan Khulafa’ Rasyidin yang empat. Bahkan Ali sendiri menyetujuinya, tidak sebagaimana yang diyakini oleh Syiah. Persetujuan Ali terlihat jelas dari ungkapanya:

 

إنما الشورى للمهاجرين والأنصار ، فإن اجتمعوا على رجل وسمّوه إماماً كان ذلك لله رضى

Sesungguhnya syūra bagi sahabat Muhajirin dan Anshar, jika mereka bersepakat terhadap salah seorang yang mereka sebut sebagai Imam, maka hal itulah yang diridhai oleh Allah[20]

 

Maksud dari pernyataan Ali di atas adalah, bahwa Allah meridhai terhadap apa yang diridhai (disepakati) oleh sahabat Muhajirin dan Anshar. Atinya, Ali juga mengakui kepemimpinan tiga khalifah sebelum beliau, sebab tiga khalifah itu sudah dibaiat oleh sahabat Muhajirin dan Anshar dengan suara bulat. Kesepakatan Ali terhadap tiga khalifah sebelumnya juga dibuktikan dengan pembaiatan beliau terhadap ketiganya.[21]

Dari pemaparan data sejauh ini, kelemahan-kelemahan argumentasi Syiah terhadap hadis Ghadir Khum yang mereka anggap sebagai nash sharih (jelas) terhadap kepemimpinan Ali pasca wafatnya Rasulullah, akan selalu terungkap kekeliruannya dari sudut pandang apa pun, baik dari asbab wurud, konteks pembicaraan nash, segi kebahasaan, periwayatan dan pernyataan Ali sendiri terhadap kebaikan para khalifah sebelum beliau dan persetujuannya dengan konsep Syūra yang dilakukan oleh sahabat Muhajirin dan Anshar. Hal demikian dapat dimaklumi, sebab dalam Islam, konsep imamah sebagaimana yang dimaksudkan oleh Syiah memang tidak pernah ada, baik dari nash al-Qur’an maupun hadits. Yang ada adalah konsep syūra (musyawarah) yang diampu oleh orang-orang yang memiliki kapabilitas dalam hal tersebut  dari golongan para ulama dan pemuka agama. Karenanya, Ahlussunnah selalu mengembalikan urusan kekhilafahan pada konsep syūra ini, sebab kekhilafahan merupakan salah satu permasalahan penting dalam umat Islam. Dan setiap permasalahan umat, memang semestinya diselesaikan dengan cara bermusyawarah, sesuai dengan anjuran yang sangat lugas dan tegas dalam Al-Qur’an.[22] Wallahu ‘Alam Bi Showab.

DAFTAR PUSTAKA

Abdul Karim ‘Akyawy, Juhud Ulama’ al muslimin fi Tamyiz Shahih as shirah an nabawiyah Min Dha’ifiha, (Maktabah Syamilah).

Abi al-Hasan Ali bin Muhammad al-Jaza’iri Ibnu al-Atsir, Usūdu al-Ghobah (Dār al-Fikr, tt).

al-Mishry, Muhammad bin Mukrim bin Manzhur, Lisānul ‘ara,  (Beirut: Dār Shadir, tt).

Al-Qifari, Nashir bin Abdullah bin Ali, Ushūl Madzhabisy Syī’ah al-Imāmiyah al-Itsnā ‘Asyariyah, (Madinah : Jāmi’ah al-islamiyah, , 1994).

Al-Qur’an al-Karim

al-Ruhaily, Ibrahim bin ‘Amir, al-intishar lis Shahabi wa al-Ali min Iftiraat as samawy ad-dhaly (Maktabah al-Ghuroba, tt).

Al-Salafy, Abdullah bin Muhammad, Siapakah Syiah itu?, penterjemah. Muhammad Anshary, (ad-Difa’ ‘an Sunnah, tt).

Al-Shuyuthi, Abdurrahman bin Abi Bakar, Tarikhu al-Khulafa’, tahqiq Muhammad Muhyiddin Abdul hamid, (Mesir: Mathba’ah as-Sa’adah, 1952).

Al-Syaukani, Muhammad bin Ali, , as-Sailu al-Jarrar al-Mutadaffiq ‘Ala Hadaiq al-Azhar , tahqiq. Muhammad Ibrahim Zayid, (Beirut:Dar al-kutub al-ilmiyah, 1983).

Al-Tamimi, Abdullah bin Muhammad, Mukhtashor Sirah Rasul, (Damasqus: Dār al faiha’, 1997).

al-Thaqani , Ismail bin Abad, al-Muhith fi al-Lugoh, tahqiq Muhammad Hasan alu Yasin (Beirut: Dār an-Nasyr, 1994).

Al-Thobari, al Muhib, ar-Riyadh an Nadhrah Fii Manaqib al ‘Usyrah, (Maktabah Syamilah).

Ibnu Abil Hadid, Syarah Nahj Balaghah, (Dār ar-Rasyad al-Haditsah, tt).

Ibnu katsir , al-Bidayah wa an-Nihayah,  (Beirut: Maktabah al-Ma’ari, 1979).

Tim Penulis Buku pustaka Sidogiri, Mungkinkah Sunnah-Syiah dalam Ukhuwh? Jawaban Atas Buku Dr. Quraish Shihab (Sunnah-Syiah Bergandengan Tangan! Mungkinkah?), (Pasuruan: Pustaka Sidogiri, 2008).

www. Voa-Islam.com.

Yusuf bin Muhammad, Ahadits Muntakhobah min Maghozi Musa bin Uqbah, tahqiq Masyhur Hasan Salman, (Muassasah ar Royan- Dār Ibn Hazm, 1991).



[1] Penulis adalah peserta PKU (Program Kaderisasi Ulama) VII ISID GONTOR no telp. 082333454370.

[2] Lihat:, Muhammad bin Ali al-Syaukani, as-Sailu al-Jarrar al-Mutadaffiq ‘Ala Hadaiq al-Azhar, Tahqiq Muhammad Ibrahim Zayid , (Beirut: Dar al-kutub al-ilmiyah, 1983). Cet. I. Jilid IV. al 511.

[3] Bunyi hadis Ghadir Khum ini adalah

من كنت مولاه فعلي مولاه اللهم وال من والاه وعاد من عاده

Barang siapa yang menjadikan aku sebagai maulanya (penolongnya), maka Ali juga sebagai maulanya. Ya Allah, cintailah orang yang mencintainya dan musuhilah orang yang memusuhinya.”

Lihat:, Nashir bin Abdullah bin Ali Al-Qifari, Ushūl Madzhabisy Syī’ah al-Imāmiyah al-Itsnā ‘Asyariyah, (Madinah : Jāmi’ah al-islamiyah 1994).Cet. II. Hal. 689.

[4] Lihat: Tulisan Dr. Adian Husaini yang bertajuk “Diam-diam SBY Pro-Syiah dalam Merayakan Hari Sesat Idul Ghadir, Kamis, 24 oktober 2013, www. Voa-Islam.com.

[5] Lihat:  Ibnu katsir , al-Bidayah wa an-Nihayah,  (Beirut: maktabah al ma’ari, 1979). Cet. III. Hal. 104-105.

[6] Lihat:, Nashir bin Abdullah bin Ali Al-Qifari, Ushūl Madzhabisy Syī’ah al-Imāmiyah al-Itsnā ‘Asyariyah, (Madinah : Jāmi’ah al-islamiyah 1994). Cet. II. Hal. 694.

[7] Lihat: Muhammad bin Mukrim bin Manzhur al-Mishry, Lisānul ‘arab (Beirut: Dār Shadir). Cet. I. Hal. 4922.

[8] Lihat:, Nashir bin Abdullah bin Ali Al-Qifari, Ushūl Madzhabisy Syī’ah al-Imāmiyah al-Itsnā ‘Asyariyah, (Madinah : Jāmi’ah al-islamiyah 1994). Cet. II. Hal. 693.

[9] Lihat: QS. Muhammad: 47:11, dan QS. At-Taubah: 9: 71.

[10] Lihat: Ismail bin Abad al-Thaqani, al-Muhith fi al-Lugoh, Tahqiq Muhammad Hasan alu Yasin (Beirut: Dār an-Nasyr, 1994). Cet. I. Jilid X. Hal. 380.

[11], Abi al-Hasan Ali bin Muhammad al-Jaza’iri Ibnu al-Atsir, Usūdu al-Ghobah (Dār al-Fikr, tt). Jilid II. Hlm. 65.

[12] Lihat Lihat:, Nashir bin Abdullah bin Ali Al-Qifari, Ushūl Madzhabisy Syī’ah al-Imāmiyah al-Itsnā ‘Asyariyah, (Dār ar-Ridha, 1998) Cet. III. Jilid II. Hal. 839.

[13]Lihat:  , Abdurrahman bin Abi Bakar Al-Shuyuthi, Tarikhu al-Khulafa’, tahqiq Muhammad Muhyiddin Abdul hamid, (Mesir: Mathba’ah as-Sa’adah, 1952),. hal. 63,119 ,138. al Muhib at- Thobari, ar-Riyadh an Nadhrah Fii Manaqib al ‘Usyrah, (Maktabah Syamilah). Jilid I. hal. 109. Abdul Karim ‘Akyawy, Juhud Ulama’ al muslimin fi Tamyiz Shahih as shirah an nabawiyah MIn Dha’ifiha, (Maktabah Syamilah). hal. 34.

[14] Ibnu katsir, al-Bidayah wa an-Nihayah, (Beirut: Maktabah al-ma’arif, tt). Jilid VIII. Hal.13.

[15] Lihat: Abdullah bin Muhammad, Siapakah Syiah itu?, penterjemah. Muhammad Anshary, (ad-Difa’ ‘an Sunnah, tt). Hal. 52,56.

[16]  قال علي ابن أبي طالب ” وإنا لنرى ابا بكر أحق الناس بها ”

Ibnu Abil Hadid, Syarah Nahj Balaghah, (Dār ar-Rasyad al-Haditsah, tt), Juz I. Hal. 132.

 

[17] Lihat: Yusuf bin Muhammad, Ahadits Muntakhobah min Maghozi Musa bin Uqbah, tahqiq Masyhur Hasan Salman, (Muassasah ar Royan- Dār Ibn Hazm, 1991),. Juz. I. Hal. 94.

[18] Lihat: Abdullah bin Muhammad al-Tamimi, Mukhtashor Sirah Rasul, (Damasqus: Dār al faiha’, 1997) Jilid. I. Hal. 523.

[19] Lihat: Ibrahim bin ‘Amir al-Ruhaily , al-intishar lis Shahabi wa al-Ali min Iftiraat as samawy ad-dhaly (Maktabah al-Ghuroba, tt) hal. 78-80.

[20] Ibnu Abil Hadid, Syarah Nahj Balaghah, (Dār ar-Rasyad al-Haditsah, tt), Juz III. Hal. 7.

[21] Lihat: Tim Penulis Buku pustaka Sidogiri, Mungkinkah Sunnah-Syiah dalam Ukhuwh? Jawaban Atas Buku Dr. Quraish Shihab (Sunnah-Syiah Bergandengan Tangan! Mungkinkah?), (Pasuruan: Pustaka Sidogiri, 2008), Cet. Ke II. Hal. 177.

[22] Lihat: QS. As Syura, 42: 38.