Berislam Secara Kaffah (3)

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا ادْخُلُوا فِي السِّلْمِ كَافَّةً وَلَا تَتَّبِعُوا خُطُوَاتِ الشَّيْطَانِ إِنَّهُ لَكُمْ عَدُوٌّ مُبِينٌ (208) فَإِنْ زَلَلْتُمْ مِنْ بَعْدِ مَا جَاءَتْكُمُ الْبَيِّنَاتُ فَاعْلَمُوا أَنَّ اللَّهَ عَزِيزٌ حَكِيمٌ (209)

“Hai orang-orang yang beriman, masuklah kamu ke dalam Islam secara keseluruhannya, dan janganlah kamu turut langkah-langkah setan. Sesungguhnya setan itu musuh yang nyata bagimu. Tetapi jika kamu menyimpang (dari jalan Allah) sesudah datang kepadamu bukti-bukti kebenaran, maka ketahuilah, bahwasanya Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.” (QS Al-Baqarah [2]: 208-209)

Keyakinan terhadap hari Akhirat juga menjadi tembok yang menghalangi terjadinya pertarungan gila-gilaan dan pertentangan yang sengit, dimana nilai-nilai dan kehormatan dipijak-pijak tanpa segan, karena di Akhirat manusia akan mendapat nikmat dan karunia yang cukup, serta akan mendapat pembalasan atas hak-haknya yang terluput di dunia.

Keyakinan yang seperti ini dapat mencurahkan rasa damai di medan perlombaan dan persaingan, memberikan keindahan pada gerak orang-orang yang berlomba di dalamnya, dan dapat mengurangi percikan api akibat perasaan bahwa satu-satunya peluang yang terbuka baginya adalah peluang yang ada di dalam usia yang pendek ini!

Seseorang Mukmin yang mengetahui bahwa tujuan keberadaan manusia ialah beribadah kepada Allah, maksudnya ia diciptakan untuk mengabdikan dirinya kepada Allah. Kesadaran yang seperti ini tidak diragukan lagi dapat mengangkatkannya ke puncak yang gemilang, meningkatkan perasaan dan hati nuraninya, meningkatkan kegiatan dan pekerjaannya, membersihkan cara cara dan alat-alat pekerjaannya. Karena dia ingin berbakti kepada Allah dengan amal perbuatannya. Dia ingin beribadah kepada Allah dengan pekerjaan dan perbelanjaannya. Dia ingin mengabdikan dirinya kepada Allah dengan menjadi khalifah di bumi dan menegakkan manhaj Allah di dalamnya.

Oleh sebab itulah ia tidak seharusnya melakukan pengkhianatan dan penipuan, tidak seharusnya angkuh dan bertindak sewenang-wenang, dan tidak seharusnya menggunakan cara-cara yang kotor dan hina. Begitu juga, ia tidak seharusnya melompati tahapan-tahapan, memotong jalan dan menyusahkan diri dalam bekerja. Karena ia tetap akan sampai ke ibadah yang menjadi tujuan itu dengan niatnya yang ikhlas dan amalannya yang tekun dalam batas kemampuannya.

Semua ini akan membuat dirinya tidak lagi terombang-ambing oleh berbagai kebimbangan dan ketamakan, dan tidak lagi dilanda kegelisahan di setiap fase perjalanan hidupnya. Karena dia beribadah pada setiap langkah yang diayunnya, melaksanakan tujuan keberadaannya pada setiap bolak-baliknya, dan mendaki menuju kepada Allah pada setiap kegiatan dan pada setiap bidang.

Seseorang Mukmin yang merasa bahwa dia berjalan dengan takdir Allah dan hidup dengan dengan ketaatan kepada Allah untuk melaksanakan kehendak Allah, maka perasaan ini akan mencurahkan rasa ketenteraman, kedamaian dan kemantapan di dalam jiwanya. Dia dapat meneruskan perjalanannya tanpa didera oleh rasa sakit dan keluh-kesah, rasa bosan dan marah apabila menghadapi halangan-halangan dan kesulitan, rasa putus harapan dari mendapat pertolongan, rasa takut tersesat jalan atau kehilangan balasan.

Oleh sebab itulah dia merasa begitu damai dan aman dalam jiwanya, bahkan saat-saat ia memerangi musuh-musuh Allah dan musuh-musuhnya, karena dia berperang karena Allah, di jalan Allah, dan untuk meninggikan agama Allah. Dia tidak berperang tidak mengejar kedudukan dan keuntungan, atau untuk memuaskan keinginan, atau untuk harta kekayaan dan kesenangan hidup dunia.

Seseorang mukmin juga merasa bahwa dia berjalan seiring dengan alam semesta menurut Sunnatullah. Undang-undang yang dipatuhinya sama dengan undang-undang yang dipatuhi oleh alam semesta, dan arah yang ditujuinya juga sama dengan arah yang ditujui oleh alam semesta. Di sana tidak ada suatu pertentangan dan permusuhan di antara dia dengan alam semesta. Tidak ada suatu kesia-siaan usaha dan tenaga yang dikeluarkan. Seluruh kekuatan alam semesta bertemu dengan kekuatannya dan mengikuti cahaya petunjuk Allah yang menjadi pedomannya, serta sama-sama bertawajjuh kepada Allah yang juga menjadi tujuan tawajjuhnya.

Taklif-taklif yang diwajibkan pada setiap muslim adalah taklif-taklif yang sesuai dengan fitrah manusia dan bertujuan untuk meluruskan fitrah tersebut. Taklif-taklif itu tidak melampaui batas kemampuan manusia dan tidak mengabaikan watak dan struktur kejadiannya. Ia tidak mensia-siakan satu potensi pun di antara potensi-potensi manusia. Sebaliknya, ia melejitkan setiap potensi untuk bekerja, membina dan memakmurkan.

Ia tidak melupakan apapun dari kebutuhan jasmani dan ruhani manusia, bahkan sebaliknya ia memenuhi setiap keperluannya dengan mudah, longgar dan leluasa. Oleh sebab itu seseorang mukmin tidak merasa bingung dan berkeluh kesah dalam melaksanakan taklif-taklif yang diwajibkan padanya atasnya. Ia memikul taklif-taklif itu sesuai dengan kemampuannya, dan meneruskan perjalanannya menuju Allah dengan tenang, tenteram dan damai.

Masyarakat yang terbentuk oleh sistem hidup Rabbani ini hidup di bawah naungan peraturan-peraturan yang lahir dari akidah yang indah dan jaminan-jaminan yang mencakup jiwa, kehormatan dan harta benda. Semua itumenghadirkan kedamaian dan menyebarkan ruh perdamaian.