Faktor-faktor Kesuksesan (1)

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا إِذَا لَقِيتُمْ فِئَةً فَاثْبُتُوا وَاذْكُرُوا اللَّهَ كَثِيرًا لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ (45) وَأَطِيعُوا اللَّهَ وَرَسُولَهُ وَلَا تَنَازَعُوا فَتَفْشَلُوا وَتَذْهَبَ رِيحُكُمْ وَاصْبِرُوا إِنَّ اللَّهَ مَعَ الصَّابِرِينَ (46)

“Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu memerangi pasukan (musuh), maka berteguh hatilah kamu dan sebutlah (nama) Allah sebanyak-banyaknya agar kamu beruntung. Dan taatlah kepada Allah dan Rasul-Nya dan janganlah kamu berbantah-bantahan, yang menyebabkan kamu menjadi gentar dan hilang kekuatanmu dan bersabarlah. Sesungguhnya Allah berserta orang-orang yang sabar. Dan janganlah kamu menjadi seperti orang-orang yang keluar dari kampungnya dengan rasa angkuh dan dengan maksud riya’ kepada manusia serta menghalangi (orang) dari jalan Allah. Dan (ilmu) Allah meliputi apa yang mereka kerjakan.” (QS. 8: 45-46)

Inilah faktor-faktor kemenangan yang hakiki: tsabat (teguh pendirian) saat berhadapan dengan musuh, berhubungan dengan Allah melalui dzikir, taat kepada Allah dan Rasul-Nya, menghindari perselisihan dan perpecahan, sabar menghadapi beban berat perang, serta menghindari sikap angkuh, riya’, dan sewenang-wenang.

Tsabat (teguh) adalah awal perjalanan menuju kemenangan. Kelompok yang menang adalah yang paling teguh. Tahukah orang-orang mukmin bahwa musuh mereka menghadapi kesulitan yang lebih berat daripada apa yang mereka hadapi, dan bahwa merasakan sakit seperti mereka, tetapi musuh mereka tidak mengharapkan sesuatu dari Allah seperti yang orang-orang mukmin harapkan? Jadi, musuh Islam tidak punya motivasi harapan kepada Allah yang bisa meneguhkan pendirian dan hati mereka! Seandainya orang-orang mukmin bisa teguh barang sebentar, maka musuh mereka pasti patah semangat lalu kalah. Apa yang bisa menggoyahkan kaki orang-orang mukmin saat mereka yakin akan memperoleh salah satu dari dua kebaikan: syahid atau kemenangan? Sementara itu, musuh mereka hanya menginginkan kehidupan dunia. Mereka sangat tamak terhadap kehidupan dunia, tidak memiliki harapan terhadap kehidupan sesudahnya. Kehidupan mereka hanyalah di dunia.

Banyak berdzikir kepada Allah saat berhadapan dengan musuh merupakan arahan abadi bagi setiap mukmin. Ia juga merupakan ajaran tetap yang mengakar di hati kelompok mukmin. Al-Qur’an telah menceritakannya dalam sejarah umat Muslim dalam parade iman sepanjang sejarah.

Diantara kisah yang dituturkan al-Qur’an adalah ucapan para penyihir Fira’un ketika hati mereka menyerah kepada iman secara tiba-tiba. Para penyihir itu berkata:

“Dan kamu tidak menyalahkan kami, melainkan karena kami telah beriman kepada ayat-ayat Tuhan kami ketika ayat-ayat itu datang kepada kami.’ (Mereka berdoa), ‘Ya Tuhan kami, limpahkanlah kesabaran kepada kami dan wafatkanlah kami dalam keadaan berserah diri (kepada-Mu).” (al-A’raf : 26)

Begitu pula kisah orang-orang mukmin minoritas dari kalangan Bani Israil saat mereka menghadapi Jalut dan pasukannya:

“Tatkala mereka nampak oleh Jalut dan tenteranya, mereka pun (Thalut dan tentaranya) berdoa, ‘Ya Tuhan kami, tuangkanlah kesabaran atas diri kami, dan kokohkanlah pendirian kami dan tolonglah kami terhadap orang-orang kafir’” (al-Baqarah: 250)

Begitu pula kisah tentang kelompok-kelompok mukmin sepanjang sejarah saat menghadapi perang:
“Dan berapa banyak Nabi yang berperang bersama-sama mereka sejumlah besar dari pengikut (nya) yang bertakwa. Mereka tidak menjadi lemah karena bencana yang menimpa mereka di jalan alah, dan tidak lesu, dan tidak (pula) menyerah (kepada musuh). Allah menyukai orang-orang yang sabar. Tidak ada doa mereka selain ucapan, ‘Ya Tuhan kami, ampunilah dosa-dosa kami dan tindakan kami yang berlebih-lebihan dalam urusan kami dan tetapkanlah pendirian kami, dan tolonglah kami terhadap kaum yang kafir.” (Ali Imran: 146-147).

Ajaran ini telah mengakar di dalam jiwa jama‘ah muslim, sehingga inilah yang menjadi watak mereka saat menghadapi musuh. Sesudah itu, Allah mengisahkan kelompok yang mendapatkan luka-luka dalam perang Uhud. Ketika mereka diajak berperang pada hari kedua, maka ajaran ini hadir dalam jiwa mereka:
“(Yaitu) orang-orang (yang menaati Allah dan Rasul) yang kepada mereka ada orang-orang yang mengatakan, ‘Sesungguhnya manusia telah mengumpulkan pasukan untuk menyerang kamu, karena itu takutlah kepada mereka,’ maka perkataan itu menambah keimanan mereka dan mereka menjawab, ‘Cukuplah Allah menjadi penolong kami dan Allah sebaik-baiknya Pelindung’” (Ali Imran (3): 173)

Dzikir kepada Allah saat berhadapan dengan musuh memainkan banyak fungsi. Ia menghubungkan umat Islam dengan kekuatan yang tidak terkalahkan dan melahirkan keyakinan kepada Allah yang menolong para kekasih-Nya. Pada saat yang sama, dzikir dapat menghadirkan hakikat perang, motivasi, dan tujuannya ke dalam hati, yaitu perang demi Allah, untuk menetapkan uluhiyah-Nya di muka bumi, dan mengusir para thaghut yang mencuri uluhiyah ini. Jadi, perang tersebut bertujuan agar kalimat Allah menjadi yang paling tinggi, bukan untuk kejayaan pribadi atau bangsa. Selain itu, perintah tersebut menegaskan kewajiban dzikir kepada Allah di saat-saat paling kritis dan situasi paling sulit. Semua itu merupakan inspirasi yang memiliki arti penting dalam perang. Semua inspirasi tersebut dapat diwujudkan oleh ajaran Robbani ini.

Sedangkan tujuan taat kepada Allah dan Rasul-Nya adalah agar orang-orang mukmin turun ke kancah perang dalam keadaan berserah diri kepada Allah, sehingga berbagai penyebab perselisihan dapat dicegah dengan ketaatan tersebut:

“…Dan janganlah kamu berbantah-bantahan, yang menyebabkan kamu menjadi gentar dan hilang kekuatanmu…” (46)

Manusia tidak saling berbantah kecuali ketika kepemimpinan dan komando terbagi-bagi, dan pada saat hawa nafsu menguasai pendapat dan pikiran. Apabila manusia berserah diri kepada Allah dan patuh kepada Rasul-Nya, maka penyebab pertama dan utama perselisihan dapat dihilangkan—meskipun sudut pandang terhadap masalah yang dihadapi berbeda-beda. Karena hal yang memicu perselisihan bukan perbedaan sudut pandang, melainkan hawa nafsu yang mengagitasi tiap orang untuk memaksakan sudut pandangnya meskipun ia mengetahui mana yang benar!

Hal yang menyebabkan percekcokan adalah meletakkan ego dan kebenaran dalam satu timbangan, lalu memenangkan ego di atas kebenaran! Dari sini Allah memberi ajaran untuk taat kepada Allah dan Rasul-Nya dalam perang. Ini adalah bagian dari proses kontrol yang harus dilakukan dalam perang. Itulah ketaatan terhadap pimpinan tertinggi di dalam perang. Dari sini muncul perintah untuk menaati panglima yang memimpin perang. Ketaatan tersebut adalah ketaatan dari hati yang mendalam, bukan sebatas ketaatan struktural di tengah pasukan yang tidak berjihad karena Allah, dimana loyalitas kepada pemimpin tidak didasarkan loyalitas kepada Allah sama sekali. Perbedaan antara keduanya sangat jauh.