Esensi Kebenaran dan Kebatilan (1)

(QS. Ibrahim: 24-24)

أَلَمْ تَرَ كَيْفَ ضَرَبَ اللَّهُ مَثَلًا كَلِمَةً طَيِّبَةً كَشَجَرَةٍ طَيِّبَةٍ أَصْلُهَا ثَابِتٌ وَفَرْعُهَا فِي السَّمَاءِ (24) تُؤْتِي أُكُلَهَا كُلَّ حِينٍ بِإِذْنِ رَبِّهَا وَيَضْرِبُ اللَّهُ الْأَمْثَالَ لِلنَّاسِ لَعَلَّهُمْ يَتَذَكَّرُونَ (25) وَمَثَلُ كَلِمَةٍ خَبِيثَةٍ كَشَجَرَةٍ خَبِيثَةٍ اجْتُثَّتْ مِنْ فَوْقِ الْأَرْضِ مَا لَهَا مِنْ قَرَارٍ (26) يُثَبِّتُ اللَّهُ الَّذِينَ آَمَنُوا بِالْقَوْلِ الثَّابِتِ فِي الْحَيَاةِ الدُّنْيَا وَفِي الْآَخِرَةِ وَيُضِلُّ اللَّهُ الظَّالِمِينَ وَيَفْعَلُ اللَّهُ مَا يَشَاءُ (27)

“Tidakkah kamu perhatikan bagaimana Allah telah membuat perumpamaan kalimat yang baik seperti pohon yang baik, akarnya teguh dan cabangnya (menjulang) ke langit (24), pohon itu memberikan buahnya pada setiap musim dengan seizin Tuhannya. Allah membuat perumpamaan-perumpamaan itu untuk manusia supaya mereka selalu ingat (25). Dan perumpamaan kalimat yang buruk seperti pohon yang buruk, yang telah dicabut dengan akar-akarnya dari permukaan bumi; tidak dapat tetap (tegak) sedikit pun.” (26) “Allah meneguhkan (iman) orang-orang yang beriman dengan ucapan yang teguh itu dalam kehidupan di dunia dan di akhirat; dan Allah menyesatkan orang-orang yang zhalim dan memperbuat apa yang Dia kehendaki..” (27)

Sesungguhnya pemandangan tentang “kalimat yang baik seperti pohon yang baik, akarnya teguh dan cabangnya di langit. Dan pemandangan “kalimat yang buruk seperti pohon yang buruk, yang telah dicabut dengan akar-akarnya dari permukaan bumi; tidak dapat tegak sedikit pun”, sesungguhnya kedua pemandangan tersebut bersumber dari konteks surat, dari kisah para Nabi dan orang-orang yang mendustakan, dan dari kesudahan kedua golongan tersebut secara khusus. Pohon kenabian dan naungan Ibrahim sebagai bapaknya para Nabi sangat jelas gambarannya di sini. Pohon tersebut menghasilkan buahnya setiap waktu. Buah yang segar dan baik. Seorang Nabi di antara para Nabi. Ia membuahkan iman, kebaikan, dan vitalitas.

Tetapi, perumpamaan ini—di luar keserasiannya dengan suasana surat dan suasana kisah—lebih jauh cakrawalanya daripada keserasian tersebut, lebih luas ranahnya, dan lebih dalam hakikatnya.

Sesungguhnya kalimat yang baik—kalimat kebenaran—itu benar-benar seperti pohon yang baik. Ia kokoh, menjulang tinggi, dan berbuah. Ia kokoh tanpa bisa digoyahkan badai, tidak bisa dirobohkan angin kebatilan, dan tidak mempan cangkul kesewenang-wenangan—meskipun sementara orang membayangkan bahwa pohon tersebut menghadang bahaya yang besar pada sebagian kesempatan. Ia menjulang tinggi, menuasai kejahatan, kezhaliman, dan kesewenang-wenangan dari atas—meskipun sementara orang berimajinasi bahwa kejahatan dapat menerpanya di udara. Ia juga berbuah dan buahnya itu tidak pernah berhenti, karena akar-akarnya tumbuh di dalam jiwa-jiwa terus berkembang dari waktu ke waktu.

Dan sesungguhnya kalimat yang buruk—kalimat kebatilan—itu benar-benar seperti pohon yang buruk. Terkadang ia membesar, meninggi, dan berjalinan; dan sementara orang membayangkan bahwa ia lebih besar dan lebih kuat daripada pohon yang baik. Tetapi, ia tercerai berai, ramuk, akar-akarnya berada di dalam tanah yang dangkal hingga seolah-olah berada di permukaan tangan. Keberadaannya hanya sementara, kemudian ia dicabur dari permukaan tanah, sehingga ia tidak dapat tegak sedikit pun.

Ini bukan sekedar perumpamaan, dan bukan hiburan dan motivasi bagi orang-orang yang baik, melainkan sebuah realitas dalam kehidupan, meskipun realisasinya terlambat pada sebagian kesempatan.

Kebaikan yang mengakar itu tidak mati dan tidak layu, meskipun keburukan menerpanya dan tergilas di jalanan. Demikian pula, keburukan itu tidak bisa hidup kecuali untuk sekedar menghabiskan sebagian kebaikan yang melekat padanya—karena memang sedikit ditemukan keburukan yang murni. Ketika ia telah menghabiskan kebaikan yang melekat padanya sehingga tidak ada lagi sisa kebaikan di dalamnya, maka ia pun runtuh dan hancur lebut, meskipun ia besar dan tinggi.

Kebaikan tetaplah kebaikan, dan keburukan tetaplah keburukan!

“Allah membuat perumpamaan-perumpamaan itu untuk manusia supaya mereka selalu ingat. ” (25)
Jadi, ini adalah perumpamaan yang benar-benar terbukti di bumi, tetapi manusia sering melupakannya di tengah himpitan hidup.

Di bawah naungan pohon yang kokoh, dimana ungkapan ikut serta melukiskan arti kekokohan dan suasananya, dimana ungkapan melukiskannya: akarnya kokoh dan mantap di bumi, cabangnya tinggi dan menjual di langit sejauh mata memandang, dan berdiri di tepan untuk untuk memberi inspirasi tentang kekuatan dan kemantapan.

Di bawah naungan pohon yang kokoh sebagai perumpamaan tentang kalimat yang baik ini konteks surat menjelaskan, “Allah meneguhkan (iman) orang-orang yang beriman dengan ucapan yang teguh itu dalam kehidupan di dunia dan di akhirat..” Dan di bawah naungan pohon yang buruk, tercabut dari atas tanah, tidak bisa berdiri dengan mantap dan kokoh itu konteks surat menjelaskan, “Dan Allah menyesatkan orang-orang yang zhalim..” Dengan demikian, naungan ungkapan dan naungan makna menjadi serasi di dalam konteks surat!

Allah meneguhkan orang-orang yang beriman di kehidupan dunia dan di akhirat dengan kalimat iman yang mantap di dalam hati, yang kokoh di dalam fitrah, dan yang membuahkan amal shaleh yang selalu baru dan abadi dalam kehidupan. Allah meneguhkan mereka dengan kalimat-kalimat al-Qur’an dan kalimat-kalimat Rasul; dengan janji-Nya untuk memberi pertolongan di dunia dan kemenangan di akhirat. Seluruhnya adalah kalimat-kalimat yang kokoh, jujur, dan benar, tidak bertentangan, tidak bercabang jalannya, dan empunya tidak dihinggari rasa cemas, bingung, dan tergoncang.

Allah menyesatkan orang-orang zhalim karena kezhaliman dan syirik yang mereka lakukan (kata zhalim dalam konteks al-Qur’an sering dan lazim digunakan untuk arti syirik), jauhnya mereka dari cahaya yang memberi petunjuk, goncangnya mereka di dalam labirin kegelapan, prasangka, mitos, dan tunduknya mereka terhadap berbagai manhaj dan aturan yang bersumber dari hawa nafsu dan bukan pilihan Allah. Allah menyesatkan mereka sesuai sunnah-Nya yang berlaku pada orang yang zhalim, buta terhadap cahaya, dan tunduk kepada hawa nafsu. Allah mengarahkan mereka kepada kesesatan, kebingungan, dan ketelantaran.

“Dan memperbuat apa yang Dia kehendaki..”

Dengan kehendak-Nya yang mutlak, yang memilih undang-undang, dimana kehendak-Nya itu tidak terikat dengan undang-undang tersebut, melainkan meridhainya, sampai hikmah Allah menuntut perubahannya dalam bingkai kehendak yang tidak bisa dihalangi oleh satu kekuatan, dan tidak tercegah oleh suatu penghalang. Setiap perkara di alam semesta ini terlaksana sesuai apa yang dikehendaki-Nya.
Dengan penutup inilah kisah terbesar tentang risalah dan dakwah ini diulas. Ia telah mengambil separo yang pertama dan terbesar dari surat yang dinamai dengan nama Bapak para Nabi, yaitu Ibrahim. Pohon yang rimbun, lebat, dan menghasilkan buah yang terbaik; kalimat yang baik, selalu baru di dalam generasi-generasi yang silih berganti, semuanya mengandung hakikat yang besar ini, hakikat satu risalah yang tidak tergantikan, hakikat satu dakwah yang tidak berubah, dan hakikat tauhid kepada Allah yang Maha Esa lagi Mahaperkasa.

Sekarang, mari kita melakukan perenungan-perenungan singkat mengenai hakikat-hakikat yang dipaparkan kisah para Rasul bersama jahiliyah. Itulah hakikat-hakikat yang kami isyaratkan secara cepat di tengah pemaparan konteks surat, dan kami berpikir bahwa ia memerlukan perenungan-perenungan tersendiri.

Dari kisah ini kita menemukan sebuah hakikat primer yang menonjol yang dituturkan Allah yang Mahabijaksana lagi Maha Mengenal kepada kita. Sesungguhnya parade iman sejak fajar sejarah manusia merupakan satu parade yang bersambung, dipandu oleh Rasul-Rasul Allah yang mulia, menyerukan satu hakikat, menyuarakan satu dakwah, dan berjalan di atas satu manhaj. Mereka semua menyerukan satu uluhiyyah dan satu rububiyyah; dan mereka tidak menyeru seseorang selain Allah, tidak bertawakkal pada seseorang kecuali pada-Nya, tidak mencari perlindungan kepada kepada-Nya, dan tidak mengenal sandaran selain-Nya.

Jadi, perkara keyakinan tentang Allah yang Maha Esa itu tidak seperti anggapan para “ahli perbandingan agama”, bahwa ia berkembang dan meningkat dari politheisme menjadi henotheisme lalu menjadi monotheisme; dari menyembah totem, roh, dan bintang menjadi menyembah Allah yang Maha Esa. Dan bahwa keyakinan tersebut berkembang dan meningkat seiring perkembangan dan peningkatan pengalaman dan pengetahuan manusia, juga seiring perkembangan dan peningkatan sistem politik yang berakhir pada tatanan integral di bawah satu penguasa…