Esensi Kebenaran Dan Kebatilan (2)

أَلَمْ تَرَ كَيْفَ ضَرَبَ اللَّهُ مَثَلًا كَلِمَةً طَيِّبَةً كَشَجَرَةٍ طَيِّبَةٍ أَصْلُهَا ثَابِتٌ وَفَرْعُهَا فِي السَّمَاءِ (24) تُؤْتِي أُكُلَهَا كُلَّ حِينٍ بِإِذْنِ رَبِّهَا وَيَضْرِبُ اللَّهُ الْأَمْثَالَ لِلنَّاسِ لَعَلَّهُمْ يَتَذَكَّرُونَ (25) وَمَثَلُ كَلِمَةٍ خَبِيثَةٍ كَشَجَرَةٍ خَبِيثَةٍ اجْتُثَّتْ مِنْ فَوْقِ الْأَرْضِ مَا لَهَا مِنْ قَرَارٍ (26) يُثَبِّتُ اللَّهُ الَّذِينَ آَمَنُوا بِالْقَوْلِ الثَّابِتِ فِي الْحَيَاةِ الدُّنْيَا وَفِي الْآَخِرَةِ وَيُضِلُّ اللَّهُ الظَّالِمِينَ وَيَفْعَلُ اللَّهُ مَا يَشَاءُ (27)

“Tidakkah kamu perhatikan bagaimana Allah telah membuat perumpamaan kalimat yang baik seperti pohon yang baik, akarnya teguh dan cabangnya (menjulang) ke langit (24), pohon itu memberikan buahnya pada setiap musim dengan seizin Tuhannya. Allah membuat perumpamaan-perumpamaan itu untuk manusia supaya mereka selalu ingat (25). Dan perumpamaan kalimat yang buruk seperti pohon yang buruk, yang telah dicabut dengan akar-akarnya dari permukaan bumi; tidak dapat tetap (tegak) sedikit pun.” (26) “Allah meneguhkan (iman) orang-orang yang beriman dengan ucapan yang teguh itu dalam kehidupan di dunia dan di akhirat; dan Allah menyesatkan orang-orang yang zhalim dan memperbuat apa yang Dia kehendaki..” (27)

Sesungguhnya keyakinan tentang Allah yang Maha Esa itu dibawa oleh risalah-risalah sejak fajar Islam. Hakikat ini tidak berubah dan tidak berganti dalam satu risalah pun, dan tidak pula dalam satu agama satu pun, sebagaimana yang dituturkan Yang Mahabijaksana lagi Maha Mengenal kepada kita.

Seandainya para ‘ahli’ itu mengatakan bahwa penerimaan umat manusia terhadap akidah tauhid yang dibawa oleh para Rasul itu meningkat dari satu zaman kerasulan ke zaman kerasulan yang lain, dan bahwa paganisme jahiliyah itu terpengaruh oleh akidah tauhid yang konstan dimana parade para Rasul mulia itu menghadapkannya kepada ajaran-ajaran pagan itu dari waktu ke waktu, hingga datang masa dimana akidah tauhid lebih banyak diterima oleh masyarakat umum daripada sebelumnya, karena bertubi-tubinya risalah-risalah tauhid ini, dan karena faktor-faktor lain…Seandainya para ‘ahli’ itu menyatakan pendapat seperti ini, maka boleh-boleh saja. Tetapi, mereka terpengaruh oleh metode penilitan yang sejak awal didasari oleh permusuhan sengit dan klasik oleh gereja di Eropa—meskipun tidak disadari oleh para ulama kontemporer. Juga berangkat dari keinginan tersembunyi—sadar atau tidak sadar—untuk menghancurkan manhaj agama dalam berpikir, dan menetapkan bahwa agama itu bukan wahyu dari sisi Allah, melainkan ijtihad manusia, dimana sifat yang melekat padanya itu sama seperti sifat perkembangan mereka dalam pemikiran, pengalaman, pengetahuan ilmiah. Dari permusuhan laten dan dari keinginan tersembunyi inilah lahir ilmu perbandingan agama. Meski demikian, ia disebut ‘ilmu’ yang mengecoh banyak orang!

Kalau pun seseorang dapat terkecoh oleh ‘ilmu’ semacam ini, maka tidak sepatutnya hal itu terjadi pada seorang Muslim yang percaya kepada agamanya dan menghormati manhaj agama ini dalam menetapkan hakikat semacam ini. Dan tidak sepatutnya ia mengeluarkan pendapat yang berbenturan secara langsung dengan ketetapan-ketetapan agamanya, dan dengan manhajnya yang jelas di dalam masalah yang krusial ini.

Jadi, parade Rasul-Rasul mulia itu menghadapi umat manusia yang sesat dengan satu dakwah dan dengan satu akidah. Begitu juga, jahiliyah itu menghadapi parade mulia, satu dakwah, dan satu akidah itu dengan satu perlawanan—seperti yang dipaparkan konteks surat dengan mengesampingkan aspek ruang dan waktu, dan menampilkan satu hakikat yang terhubung di balik ruang dan waktu. Sebagaimana dakwah para Rasul itu tidak berganti, maka begitu juga perlawanan jahiliyah itu tidak berganti!

Sungguh, ini merupakan sebuah hakikat yang benar-benar menuntut perhatian! Sesungguhnya jahiliyah tetaplah jahiliyah di sepanjang zaman. Jahiliyah bukan periode waktu, melainkan sebuah tatanan, keyakinan, konsepsi, dan perhimpunan organisasional yang berasaskan elemen-elemen ini.

Pada mulanya jahiliyah berdiri di atas prinsip kepatuhan hamba kepada sesama hamba, menuhankan selain Allah, atau memberikan rububiyyah kepada selain Allah—keduanya sama-sama melahirkan jahiliyah. Jadi, sama saja antara keyakinan itu berpijak pada politheisme, atau berpijak pada pengesaan satu Ilah (sesembahan) dengan disertai banyak rabb (tuhan sebagai pengatur). Keduanya melahirkan jah dengan setiap karakteristik sekundernya yang lain!

Dakwah para Rasul itu berpijak pada prinsip mengesakan Allah dan menyingkirkan tuhan-tuhan yang palsu, memurnikan agama untuk Allah—maksudnya memurnikan ketaatan kepada Allah, memonopolikan rububiyyah bagi-Nya (baca: hakimiyyah dan kekuasaan). Dari sini, ia berbenturan langsung dengan fondasi yang menjadi pijakan jahiliyah; dan eksistensinya menjadi ancaman bagi eksistensi jahiliyah. Khususnya ketika dakwah Islam termanifestasi dalam sebuah perhimpunan khusus, yang mengambil individu-individunya dari perhimpunan jahiliyah; dan membawa mereka memisahkan diri dari jahiliyah dari segi keyakinan, kepemimpinan, dan loyalitas. Sesuatu yang pasti terjadi pada dakwah Islam di setiap ruang dan waktu.

Ketika perhimpunan jahiliyah—dalam kapasitasnya sebagai satu entitas keanggotaan yang saling meneguhkan—itu merasakan bahaya yang mengancam fondasi eksistensinya dari segi keyakinan, sebagaimana eksistensinya itu sendiri terancam oleh manifestasi akidah Islam dalam perhimpunan yang berbeda dan terpisah darinya, serta berhadapan dengannya, maka pada saat itu perhimpunan jahiliyah akan menyingkap hakikat sikapnya terhadap dakwah Islam!

Itulah peperangan antara dua eksistensi yang tidak mungkin ada perdamaian atau toleransi di antara keduanya! Peperangan di antara dua perhimpunan organik yang salah satunya berpijak pada fondasi yang berlawanan sepenuhnya dengan fondasi perhimpunan yang lain. Karena perhimpunan jahiliyah berpijak pada fondasi monotheisme, atau banyak tuhan, sehingga dengan demikian para hamba itu tunduk kepada sesama hamba, sementara perhimpunan Islami berpijak pada fondasi keesaan uluhiyyah dan rububiyyah, sehingga dengan demikian para hamba tunduk kepada sesama hamba.

Ketika perhimpunan Islam mengambil enegeri setiap hari dari tubuh perhimpunan jahiliyah pada awal fase saat dalam periode pembentukan, kemudian sesudah itu ia harus berhadapan dengan perhimpunan jahiliyah untuk merebut kendali darinya dan mengeluarkan semua manusia dari penghambaan terhadap sesama hamba kepada ‘ubudiyyah kepada Allah semata, ketika semua ini merupakan keniscayaan yang pasti terjadi ketika dakwah Islam berada di jalurnya yang benar, maka jahiliyah tidak bisa menerima dakwah Islam sejak pertama. Dari sini kita memahami mengapa perlawanan jahiliyah terhadap dakwah para Rasul mulia itu satu dan sama! Yaitu perlawanan untuk membela diri dari pengeroposan, dan perlawanan untuk membela hakimiyyah (hak membuat aturan) yang merupakan karakteristik uluhiyyah yang dirampas oleh para hamba di dalam jahiliyah!

Apabila demikian ini perasaan jahiliyah terhadap bahaya dakwah Islam, maka dakwah ini telah menghadap peperangan hidup dan mati, tidak ada toleransi, gencatan senjata, dan perdamaian di dalamnya! Jahiliyah tidak mau menipu diri sendiri tentang hakikat peperangan ini. Begitu juga para Rasul mulia shalawatullah wasalamuhu ‘alaihim tidak menipu diri sendiri mengenai hakikat peperangan.
“Orang-orang kafir berkata kepada Rasul-rasul mereka, ‘Kami sungguh-sungguh akan mengusir kamu dari negeri kami atau kamu kembali kepada agama kami.’” (13)

Jadi, mereka tidak bisa menerima jika para Rasul dan orang yang beriman bersama mereka itu memisahkan diri dengan akidah, kepemimpinan, dan perhimpunan khusus mereka. Mereka hanya meminta para Rasul dan orang-orang mukmin itu untuk kembali ke agama mereka, melebur di dalam perhimpunan mereka, dan larut di dalamnya, atau mereka akan mengusir para Rasul dan orang-orang mukmin itu dari negeri mereka.