Keinginan Nabi Musa a.s. untuk Melihat Tuhan (2)

قَالَ يَا مُوسَى إِنِّي اصْطَفَيْتُكَ عَلَى النَّاسِ بِرِسَالاَتِي وَبِكَلاَمِي فَخُذْ مَا آتَيْتُكَ وَكُن مِّنَ الشَّاكِرِينَ

Kemudian Musa mendapatkan rahmat yang lain lagi dari Allah, karena tiba-tiba ia mendapatkan kabar gembira dari-Nya, bahwa ia dipilih oleh-Nya untuk menyampaikan risalah-Nya kepada kaumnya setelah mereka diselamatkan. Sedangkan, risalahnya kepada Fir’aun dan para pembantunya dulu adalah untuk membebaskan mereka ini.

“Allah berfirman, ‘Hai Musa sesungguhnya Aku memeilih (melebihkan) kamu dari manusia yang lain (di masamu) untuk membawa risalah-Ku dan untuk berbicara langsung dengan-Ku. Sebab itu, berpegang teguhlah kepada apa yang Aku berikan kepadamu dan hendaklah kamu termasuk orang-orang yang bersyukur.” (QS. Al-A’raaf: 144)

Kita memahami dari firman Allah kepada Musa a.s., “Sesungguhnya Aku memilih (melebihkan) kamu dari manusia yang lain untuk membawa risalah-Ku…” bahwa yang dimaksud dengan “manusia” di sini adalah manusia yang semasa dengannya.

Karena para Rasul sebelum dan sesudah Musa dipilih untuk suatu generasi manusia menurut indikasi ini. Sedangkan, pembicaraan Allah secara langsung hanya kepada Musa a.s. saja. Perintah Allah kepada Musa untuk mengambil apa yang diberikan-Nya, dan mensyukuri atas pemilihan dan pemberian itu, maka ini adalah perintah yang berupa pendidikan dan pengarahan untuk melakukan sesuatu yang sudah seyogianya dilakukan sebagai sikap di dalam menerima nikmat Allah.

Para rasul a.s. adalah panutan dan teladan bagi manusia. Manusia hendaklah menerima dan mensyukuri nikmat yang diberikan Allah. Agar meminta ditambah nikmat-Nya, hendaklah mereka berusaha memperbaiki hatinya, menjaga diri dari sikap sombong, dan supaya senantiasa berhubungan dengan Allah.

Kemudian dijelaskan apa yang menjadi kandungan risalah itu, dan bagaimana risalah itu diberikan kepada Musa, “Dan telah Kami tuliskan untuk Musa pada luh-luh (Taurat) segala sesuatu sebagai pelajaran dan penjelasan bagi segala sesuatu…” (QS. Al-A’raaf: 145)

Bermacam-macam riwayat dan pendapat ahli tafsir mengenai luh-luh ini. Sebagian mereka menyifatinya dengan sifat-sifat yang detail, yang kami kira keterangan ini dikutip dari cerita-cerita Israiliat yang banyak merayap di dalam tafsir. Dalam hal ini kami tidak mendapat satu pun keterangan dari Rasulullah saw.

Oleh karena itu, kami cukup berhenti pada nash Alquran yang benar dan kami tidak berani melampauinya. Sifat-sifat yang dikemukakan itu sedikit pun tidak menambah dan tidak mengurangi hakikat luh-luh itu.

Mengenai apakah luh-luh itu dan bagaimana ia ditulisi, maka kita tidak mendapatkan satu pun keterangan yang memadai, karena tidak ada riwayat yang shahih tentang itu. Yang penting ialah apa yang termuat dalam luh-luh itu, yaitu bahwa di dalamnya terdapat segala sesuatu yang khusus berkenaan dengan tema risalah dan tujuannya, yang berupa keterangan Allah, syariat-Nya.

Juga, pengarahan-pengarahan yang diperlukan untuk memperbaiki keadaan umat ini beserta karakternya yang telah dirusak oleh kehinaan dalam waktu yang panjang!

“Maka (Kami berfirman), ‘Berpeganglah padanya dengan teguh dan suruhlah kaummu berpegang kepada (perintah-perintahnya) dengan sebaik-baiknya.”

Perintah Tuhan Yang Mahagung kepada Musa a.s. untuk berpegang teguh pada luh-luh ini dan agar memerintahkan kepada kaumnya supaya berpegang pada tugas-tugas berat yang disifati sebagai yang terbaik bagi mereka dan lebih dapat memperbaiki keadaan mereka.

Perintah semacam ini mengisyaratkan pentingnya metode ini di dalam menangkap dan menyikapi tabiat bani Israil, yang telah dirusak oleh kehinaan atau penjajahan Fir’aun dalam waktu yang panjang. Mereka diperintahkan agar memiliki tekad yang kuat dan keseriusan, untuk menunaikan tugas-tugas yang diberikan risalah dan khilafah. Perintah ini juga menunjukkan metode yang wajib diambil untuk meningkatkan umat terhadap setiap akidah yang datang kepada mereka.