Kepemimpinan dalam Alquran (4)

إِنَّ اللَّهَ يَأْمُرُكُمْ أَنْ تُؤَدُّوا الْأَمَانَاتِ إِلَى أَهْلِهَا وَإِذَا حَكَمْتُمْ بَيْنَ النَّاسِ أَنْ تَحْكُمُوا بِالْعَدْلِ إِنَّ اللَّهَ نِعِمَّا يَعِظُكُمْ بِهِ إِنَّ اللَّهَ كَانَ سَمِيعًا بَصِيرًا (58) يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا أَطِيعُوا اللَّهَ وَأَطِيعُوا الرَّسُولَ وَأُولِي الْأَمْرِ مِنْكُمْ فَإِنْ تَنَازَعْتُمْ فِي شَيْءٍ فَرُدُّوهُ إِلَى اللَّهِ وَالرَّسُولِ إِنْ كُنْتُمْ تُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآَخِرِ ذَلِكَ خَيْرٌ وَأَحْسَنُ تَأْوِيلًا (59)

“Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya, dan (menyuruh kamu) apabila menetapkan hukum di antara manusia supaya kamu menetapkan dengan adil. Sesungguhnya Allah memberi pengajaran yang sebaik-baiknya kepadamu. Sesungguhnya Allah adalah Maha Mendengar lagi Maha Melihat.” (QS. An-Nisa: 58-59)

“Jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian.”

Itulah ketaatan kepada Allah dan ketaatan kepada Rasul, dan kepada Ulil Amri yang beriman dan menjalankan syari’at Allah dan Sunnah Rasul. Lalu perkara-perkara yang diperselisihkan itu dikembalikan kepada Allah dan Rasul. Semua ini adalah syarat iman kepada Allah dan Hari Akhir. Sebagaimana ia merupakan tuntutan iman kepada Allah dan Hari Akhir. Jadi, tidak ada iman sama sekali manakala syarat ini tidak terpenuhi. Tidak ada iman, dan pada gilirannya dampaknya yang pasti pun tidak mengikuti.

Setelah nash ini meletakkan masalah pada posisi kondisionalnya, maka sekali lagi nash menghadirkannya dalam bentuk “nasihat” dan motivasi, seperti yang dilakukannya terhadap perintah menunaikan amanah dan berlaku adil, yang kemudian disusul dengan nasihat dan motivasi.

“Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya.”

Yang demikian itu lebih baik bagi Anda, dan lebih baik akibatnya. Lebih baik di dunia, juga lebih baik di akhirat. Lebih baik akibatnya di dunia, juga lebih baik akibatnya di akhirat. Jadi, bukan hanya menggapai ridha Allah dan pahala akhirat—dan itu merupakan berkara yang sangat, tetapi mengikuti manhaj itu juga dapat mewujudkan kebaikan dunia dan akibat yang baik bagi individu dan jama’ah di kehidupan yang dekat ini.

Sesungguhnya manhaj ini berarti “seseorang” menikmati kelebihan-kelebihan manhaj yang diletakkan Allah baginya. Allah yang Maha Menciptakan, Mahabijaksana, Maha Mengetahui, Maha Melihat, Maha Mengenal. Manhaj yang terbebas dari kebodohan, hawa nafsu, kelemahan, dan syahwat manusia. Manhaj yang tidak mengandung nepotisme kepada satu individu, satu kelompok, satu bangsa, satu ras, satu generasi. Karena Allah adalah Rabb bagi semua orang. Allah Subhanah tidak terkontaminasi oleh keinginan memihak kepada satu individu, atau satu strata sosial, atau satu bangsa, atau satu ras, atau satu generasi.

Inilah manhaj yang di antara keistimewaannya adalah dibuat oleh yang menciptakan manusia, yang mengetahui hakikat fitrahnya dan kebutuhan-kebutuhan yang hakiki bagi fitrah ini. Sebagaimana Dia mengetahui seluk-beluk jiwanya, sarana-sarana untuk berbicara kepadanya dan memperbaikinya. Sehingga manusia tidak terjebak dalam kebingunan saat mencari manhaj yang sesuai, dan Allah swt. tidak membebani manusia dengan harga dari uji coba-uji coba yang keras. Sementara mereka terjebak dalam kebingunan tanpa petunjuk!

Cukuplah bagi mereka melakukan uji coba dalam bidang kreasi dan inovasi material sesuka hari, karena bidang tersebut sangat luas bagi akal manusia. Dan cukuplah bagi akal mereka untuk berusaha menerapkan manhaj ini, dan mengetahui letak-letak analogi dan ijtihad mengenai hal-hal yang diperselisihkan akal.

Inilah manhaj yang di antara keistimewaan adalah dibuat oleh Pencipta alam semesta tempat manusia tinggal. Jadi, Dia menjamin untuk manusia manhaj yang kaidah-kaidahnya sesuai dengan hukum alam. Sehingga manusia tidak perlu berkonflik dengan hukum alam, tetapi justeru berdampingan dengannya dan memanfaatkannya. Manhaj memberinya petunjuk tentang semua ini dan melindunginya.

Inilah manhaj yang di antara keistimewaannya adalah—selain memberinya petunjuk dan melindunginya—manhaj ini juga memuliakannya dan memberi ruang bagi akalnya untuk bekerja di dalam manhaj. Yaitu ruang ijtihad untuk memahami nash-nash yang ada, disusul dengan ijtihad untuk mengembalikan masalah yang tidak diredaksikan kepada nash-nash atau kepada prinsip-prinsip umum agama ini. Dan selain itu ada ruang yang orisinil bagi akal manusia, yaitu ruang penelitian ilmiah terhadap alam semesta dan ruang kreasi dan inovasi material.

“Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya.”

Sehabis menetapkan kaidah universal ini dalam syarat iman dan batasan Islam, juga dalam aturan pokok umat Islam, dan manhaj penetapan syari’at dan prinsip-prinsipnya, maka konteks beralih kepada orang-orang yang menyimpang dari kaidah ini, kemudian sesudah itu mereka mengklaim sebagai orang yang beriman! Padahal mereka melanggar syarat iman dan batasan Islam, karena mereka ingin bermahkamah kepada selain syari’at Allah, yaitu kepada Thaghut, padahal mereka diperintahkan untuk mengingkarinya.

Konteks beralih kepada mereka untuk memandang aneh sikap mereka. Juga untuk mengingatkan mereka dan orang-orang seperti mereka tentang keinginan setan untuk menyesatkan mereka. Konteks mendeskripsikan kondisi mereka ketika diajak mengikuti Allah dan Rasul-Nya lalu mereka menolak. Penolakan ini dianggap sebagai sikap hipokrit. Sebagaimana konteks menganggap keinginan mereka untuk bermahkamah kepada thaghut sebagai tindakan keluar dari iman—bahkan sejak awal dianggap tidak masuk ke dalamnya. Sebagaimana konteks menjelaskan alasan-alasan mereka yang lemah dan palsu untuk mengikuti langkah yang aneh ini, ketika bencana dan musibah ditimpakan pada mereka. Meski demikian, Rasulullah saw diinstruksikan untuk menasihati mereka. Dan penggal ini ditutup dengan penjelasan tentang tujuan Allah mengutus para Rasul.