Persatuan Dalam Islam (3)

وَيَدْعُ الإِنسَانُ بِالشَّرِّ دُعَاءهُ بِالْخَيْرِ وَكَانَ الإِنسَانُ عَجُولاً ﴿١١﴾

Manusia itu bersifat buru-buru, padahal ia tidak mengetahui apa yang ada di balik langkahnya. Manusia itu suka membuat usulan bagi dirinya dan orang lain, padahal ia tidak tahu apakah usulannya itu baik atau buruk, “Dan manusia berdoa untuk kejahatan sebagaimana ia berdoa untuk kebaikan. Dan adalah manusia bersifat tergesa-gesa” (al-Isra’ [17]: 11). Seandainya ia berserah diri kepada Allah, tunduk secara total, ridha dengan pilihan Allah, dan yakin bahwa pilihan Allah lebih baik daripada pilihannya dan berwawasan rahmat dan kebaikan baginya, maka hatinya akan merasa rileks dan tenang. Dan pastilah ia mengarungi perjalanan yang singkat di planet ini dengan tentram dan ridha. Tetapi, sekali lagi, semua ini adalah anugerah dan karunia dari Allah yang diberikan-Nya kepada siapa saja yang dikehendaki-Nya.

“Dan jika ada dua golongan dari orang-orang mukmin berperang maka damaikanlah antara keduanya. Jika salah satu dari kedua golongan itu berbuat aniaya terhadap golongan yang lain maka perangilah golongan yang berbuat aniaya itu sehingga golongan itu kembali kepada perintah Allah; jika golongan itu telah kembali (kepada perintah Allah), maka damaikanlah antara keduanya dengan adil dan berlaku adillah. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berlaku adil. Sesungguhnya orang-orang mukmin adalah bersaudara karena itu damaikanlah antara kedua saudaramu dan bertakwalah kepada Allah supaya kamu mendapat rahmat.” (9-10)

Ini adalah kaidah legislasi praktis untuk menjaga masyarakat Mukmin dari pertikaian dan perpercahan akibat gerak hati dan dorongan-dorongan batin. Kaidah ini hadir sesudah perintah klarifikasi berita orang fasik, larangan buru-buru dan terdorong oleh fanatisme dan antusiasme sebelum melakukan klarifikasi dan pemastian berita.

Baik turunnya ayat ini dikarenakan suatu peristiwa tertentu sebagaimana yang disebutkan oleh banyak riwayat, atau sebagai penetapan aturan untuk menangani kasus semacam ini, ia merupakan kaidah yang umum dan paten untuk menjaga komunitas Islam dari perpecahan, dan setelah itu untuk menetapkan kebenaran, keadilan, dan kebaikan. Semua ini merujuk kepada ketakwaan kepada Allah dan harapan terhadap rahmat-Nya dengan ditetapkannya keadilan dan kebaikan.

Al-Qur’an telah menghadapi—atau berasumsi—kemungkinan terjadinya peperangan antar dua kelompok mukmin, sementara sifat iman masih melekat pada masing-masing meskipun keduanya berperang, dan dimungkingkan salah satunya menzhalimi kelompok lain, bahkan dimungkinkan keduanya saling menzalimi.

Al-Qur’an menugasi orang-orang mukmin—sudah barang tentu di luar kedua kelompok yang bertikai—untuk melakukan rekonsiliasi antara dua kelompok yang bertikai. Bila salah satunya berbuat aniaya dan tidak mau kembali kepada kebenaran—seperti halnya keduanya sama-sama berbuat aniaya dan menolak perdamaian atau tidak mau menerima hukum Allah dalam masalah-masalah yang dipersengketakan, maka orang-orang mukmin tersebut (yang diluar kelompok-kelompok yang bertikai) wajib memerangi kelompok-kelompok yang berbuat aniaya, dan terus memerangi mereka sampai mereka kembali kepada perintah Allah. Perintah Allah dimaksud adalah menghilangkan permusuhan di antara orang-orang mukmin, menerima hukum Allah untuk hal-hal yang mereka perselisihkan dan mengakibatkan permusuhan dan peperangan itu. Bila pihak-pihak yang berbuat aniaya itu telah menerima hukum Allah, maka orang-orang mukmin itu telah melaksanakan rekonsiliasi yang berpijak pada keadilan yang cermat sebagai ketaatan kepada Allah dan upaya mencari ridha-Nya..

"Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berlaku adil.” (9)

Seruan dan keputusan ini dilanjutkan dengan gugahan terhadap hati orang-orang yang mukmin dan revitalisasi hubungan yang erat di antara mereka, yang menyatukanmereka setelah tercerai-berai, yang menghimpun mereka setelah permusuhan. Juga dilanjutkan dengan peringatan agar mereka bertakwa kepada Allah, dan isyarat tentang rahmat yang diperoleh dengan takwa kepada-Nya:

“Sesungguhnya orang-orang mukmin adalah bersaudara karena itu damaikanlah antara kedua saudaramu dan bertakwalah kepada Allah supaya kamu mendapat rahmat.” (9-10)

Di antara implikasi persaudaraan ini adalah cinta, perdamaian, kerjasama, dan persatuan. Seluruhnya merupakan prinsip dasar dalam komunitas Muslim, dan bahwa perselisihan atau peperangan merupakan pengecualian yang wajib dikembalikan kepada prinsip dasar itu pada saat kejadiannya. Dan untuk menguatkan prinsip tersebut orang-orang mukmin yang lain (netral) dibolehkan memerangi saudara-saudara mereka yang berbuat zhalim, untuk mengembalikan mereka ke dalam barisan, dan untuk menghilangkan pelanggaran terhadap prinsip dan kaidah tersebut. Hal itu merupakan proses yang keras dan juga tegas.

Begitu pula, di antara implikasi kaidah ini adalah korban luka dalam perang tahkim (arbitrase) ini tidak boleh dipersenjatai lagi, tawanan tidak boleh dibunuh, perencana gencatan perang tidak boleh ditangkap, senjata harus diletakkan, harta pihak yang berbuat aniaya tidak diambil sebagai rampasan. Karena tujuan memerangi mereka bukan menghabisi mereka, melainkan mengembalikan mereka ke barisan dan menggabungkan mereka ke dalam panji ukhuwwah Islamiyyah.