Pribadi Pemaaf (2)

خُذِ الْعَفْوَ وَأْمُرْ بِالْعُرْفِ وَأَعْرِضْ عَنِ الْجَاهِلِينَ (199) وَإِمَّا يَنْزَغَنَّكَ مِنَ الشَّيْطَانِ نَزْغٌ فَاسْتَعِذْ بِاللَّهِ إِنَّهُ سَمِيعٌ عَلِيمٌ (200) إِنَّ الَّذِينَ اتَّقَوْا إِذَا مَسَّهُمْ طَائِفٌ مِنَ الشَّيْطَانِ تَذَكَّرُوا فَإِذَا هُمْ مُبْصِرُونَ (201) وَإِخْوَانُهُمْ يَمُدُّونَهُمْ فِي الْغَيِّ ثُمَّ لَا يُقْصِرُونَ (202)

Rasulullah SAW adalah seorang pemimpin, pemberi petunjuk, guru dan murabbi. Jadi, beliau lebih pantas untuk memberi maaf, bersikap mudah dan melupakan kesalahan. Dan demikianlah, Rasulullah SAW tidak pernah marah untuk dirinya sama sekali. Tetapi jika terkait agama Allah, maka tidak ada sesuatu pun yang bisa menahan amarah beliau! Semua pelaku dakwah diperintahkan hal yang sama dengan yang diperintahkan kepada Rasulullah SAW. Karena berinteraksi dengan jiwa manusia untuk memberinya petunjuk itu menuntut lapang dada, toleransi, bersikap mudah dan memudahkan, tanpa menyepelekan agama Allah.

“Dan perintahkanlah kebaikan…” Kata ‘urf berarti kebaikan yang dikenal, jelas, serta tidak memerlukan pengkajian dan perdebatan. Kebaikan yang diterima fitrah yang bersih dan jiwa yang lurus. Ketika jiwa telah terbiasa dengan kebiasaan ini, maka setelah itu jiwa akan mudah diarahkan, dan sukarela menerima berbagai macam kebaikan tanpa bersusah payah. Tidak ada faktor yang menghalangi jiwa dari kebaikan seperti kerumitan dan beban berat pada saat jiwa pertama kali mengenal berbagai taklif! Melatih jiwa itu pada mulanya harus ditempuh dengan cara yang mudah, agar ia mudah diarahkan dan terbiasa dengan sendirinya untuk memikul tugas yang lebih dengan ringan dan sukarela.

“Dan berpalinglah dari orang-orang yang bodoh…”

Kata al-jahilin terbentuk dari kata jahalah. Kata jahalah adalah lawan dari kata rusyd (bijak), dan juga lawan dari kata ‘ilm (mengetahui). Keduanya berdekatan. Berpaling maksudnya adalah mengabaikan dan menyepelekan tindakan dan ucapan yang mereka keluarkan secara bodoh; melewatinya layakanya orang-orang yang mulia; dan tidak memasuki perdebatan dengan mereka yang justeru berakhir pada kesulitan, serta membuang-buang waktu dan tenaga…

Terkadang, perdebatan berakibat sikap diam dari mereka. Berpaling juga dilakukan dengan mengacuhkan kebodohan mereka, lalu berusaha untuk melembutkan dan membina jiwa mereka, bukan sebaliknya; membalas dengan kaji dan keras kepala. Jika tidak mengakibatkan dampak seperti pada mereka, maka sikap tersebut akan membuat mereka menjauhi orang lain yang di hati mereka ada kebaikan, karena mereka melihat pelaku dakwah sebagai orang yang tegar dan berpaling dari kesia-sisaan, dan melihat orang-orang yang bodoh sebagai orang yang suka dendam dan berbuat bodoh, sebagai kedudukan orang-orang bodoh itu jatuh di mata orang-orang yang di dalam hatinya ada kebaikan, lalu menjauhi mereka!

Betapa sepantasnya pelaku dakwah mengikuti arahan rabbani dari Allah yang Maha mengetahui isi jiwa!

Tetapi Rasulullah SAW adalah manusia biasa. Terkadang kemarahannya bangkit terhadap kebodohan orang-orang yang bodoh. Jika Rasulullah SAW mampu mengontrolnya, namun tidak demikian dengan para pelaku dakwah di belakang beliau. Pada saat marah itulah setan membisikkkan ke dalam jiwa, sehingga jiwa menjadi kehilangan kontrol! Karena itu, Tuhannya memerintahkannya untuk memohon perlindungan kepada Allah agar memadamkan kemarahannya dan menghentikan langkah-langkah setan: “Dan jika kamu ditimpa sesuatu godaan setan, maka berlindunglah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.” (200)

Ulasan ini, “Sesungguhnya Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui” menetapkan bahwa Allah Maha Mendengar kebodohan orang-orang yang bodoh; Maha mengetahui dengan gangguan yang ditahan oleh jiwamu. Ulasan ini mengandung penenang dan penyejuk jiwa. Cukuplah bagi jiwa untuk mengetahui bahwa Yang Maha Mulai lagi Mahaagung mendengar dan mengetahui! Apa yang dicari jiwa setelah Allah mendengar dan mengetahui kebodohan yang dihadapinya saat ia mengajak orang-orang yang bodoh itu kepada-Nya?

Kemudian konteks surat menempuh jalan lain untuk menginspirasi jiwa pelaku dakwah agar rela dan menerima, serta mengingat Allah ketika marah, untuk menghentikan langkah setan dan bisikannya yang keji:

“Sesungguhnya orang-orang yang bertakwa bila mereka ditimpa was-was dari setan, mereka ingat kepada Allah, maka ketika itu juga mereka melihat kesalahan-kesalahannya.” (201)

Ayat yang pendek ini mengungkapkan inspirasi-inspirasi yang menakjubkan dan hakikat-hakikat yang mendalam, yang terkadang dalam ungkapan Al-Qur’an yang sarat mukjizat lagi indah. Ditutupnya ayat dengan lafazh, “maka ketika itu juga mereka melihat kesalahan-kesalahannya” benar-benar memperkaya makna ayat.

Tidak ada lafazh lain yang sebanding dengannya. Ia menunjukkan bahwa bisikan setan itu dapat membutakan, menghapus pandangan, dan menutup mata hati. Tetapi, takwa kepada Allah, muraqabah (merasa diawasi oleh Allah), dan takut akan murka dan hukuman-Nya menjadi koneksi yang menghubungkan hati dengan dengan Allah, menyadarkannya dari kelalaian terhadap petunjuk-Nya..Ia mengingatkan orang-orang yang bertakwa. Dan ketika mereka teringat, maka pandangan batin mereka terbuka, dan selubung pun tersingkap dari mata mereka. “Maka ketika itu juga mereka melihat kesalahan-kesalahannya.”

Sesungguhnya bisikan setan itu membutakan, dan mengingat Allah itu membuka penglihatan. Sesungguhnya bisikan setan mengakibatkan kegelapan, dan ijttijah kepada Allah mengakibatkan cahaya. Sesungguhnya bisikan setan itu dapat dikalahkan dengan takwa, karena setan tidak punya kuasa atas orang-orang yang bertakwa..

Itulah hal ihwal orang-orang yang bertakwa. “Sesungguhnya orang-orang yang bertakwa bila mereka ditimpa was-was dari setan, mereka ingat kepada Allah, maka ketika itu juga mereka melihat kesalahan-kesalahannya.” (201)