Self Promotion (3)

إِنَّ اللَّهَ يَأْمُرُكُمْ أَنْ تُؤَدُّوا الْأَمَانَاتِ إِلَى أَهْلِهَا وَإِذَا حَكَمْتُمْ بَيْنَ النَّاسِ أَنْ تَحْكُمُوا بِالْعَدْلِ إِنَّ اللَّهَ نِعِمَّا يَعِظُكُمْ بِهِ إِنَّ اللَّهَ كَانَ سَمِيعًا بَصِيرًا (58) يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا أَطِيعُوا اللَّهَ وَأَطِيعُوا الرَّسُولَ وَأُولِي الْأَمْرِ مِنْكُمْ فَإِنْ تَنَازَعْتُمْ فِي شَيْءٍ فَرُدُّوهُ إِلَى اللَّهِ وَالرَّسُولِ إِنْ كُنْتُمْ تُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآَخِرِ ذَلِكَ خَيْرٌ وَأَحْسَنُ تَأْوِيلًا (59)

“Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya, dan (menyuruh kamu) apabila menetapkan hukum di antara manusia supaya kamu menetapkan dengan adil. Sesungguhnya Allah memberi pengajaran yang sebaik-baiknya kepadamu. Sesungguhnya Allah adalah Maha Mendengar lagi Maha Melihat.”

Kami ingin memahami mengapa manusia tidak boleh menganggap diri mereka suci dalam masyarakat muslim, tidak boleh mencalonkan diri mereka untuk memangku jabatan, dan tidak boleh mempromosikan dirinya agar mereka dipilih untuk duduk di majelis syura, menjadi pemimpin tertinggi atau penguasa…

Sesungguhnya manusia di tengah masyarakat muslim tidak membutuhkan sedikit pun dari hal-hal tersebut untuk memperlihatkan keunggulan dan kapabilitas mereka. Sebagaimana jabatan dan kewenangan di tengah masyarakat ini merupakan beban berat yang tidak menggoda seorang pun untuk memperebutkannya—kecuali untuk mencari pahala dengan menjalankan kewajiban dan melakukan pengabdian yang besar demi mencari ridha Allah.

Dari sini, tidak ada yang meminta jabatan dan tugas selain orang-orang yang menjatuhkan harga dirinya demi jabatan karena ada kebutuhan (interest) dalam diri mereka. Mereka ini wajib dihalangi untuk memperoleh jabatan!

Tetapi, hakikat ini tidak dipahami kecuali dengan mengkaji perkembangan natural masyarakat Muslim, dan memahami watak keterbentukannya secara organisasional.

Sesungguhnya pergerakan merupakan unsur yang membentuk masyarakat tersebut, karena masyarakat muslim itu lahir dari pergerakan akidah Islam.

Pertama, akidah datang dari sumber Ilahi-nya yang terepresentasikan pada penjelasan verbal Rasul dan tindakannya—di masa kenabian, atau terefleksi pada dakwah para da’i yang menyampaikan apa yang datang dari Allah dan apa yang yang disampaikan oleh Rasul-Nya—sepanjang masa sesudah itu, lalu dakwah tersebut direspon oleh banyak orang yang siap menghadapi siksaan dan ujian dari jahiliyah yang berkuasa dan dominan di negeri dakwah.

Di antara mereka, ada yang termakan ujian lalu murtad, dan di antara mereka ada yang membenarkan janji Allah sehingga ia mengakhiri hidupnya sebagai syahid, dan di antara mereka ada yang berusia panjang hingga Allah menurunkan keputusan dengan haq antara dia dan kaumnya.

Mereka itulah orang-orang yang diberi kemenangan oleh Allah, dijadikan-Nya tabir bagi takdir-Nya, dan diberi-Nya kedudukan yang kuat di muka bumi guna mewujudkan janji-Nya untuk menolong dan memberi kedudukan yang kuat bagi orang yang menolong-Nya. Semua itu agar kerajaan Allah tegak di muka bumi—maksudnya untuk melaksanakan hukum Allah di muka bumi. Ia tidak punya andil sedikit pun dari kemenangan dan kedudukan yang kuat ini. Yang ada hanyalah pertolongan terhadap agama Allah dan penguatan poisisi rububiyyah Allah pada para hamba.

Mereka tidak membatasi agama ini agar berada dalam batas-batas negera tertentu; tidak pula pada batas-batas ras tertentu; dan tidak pula pada batas-batas kaum, atau warna kulit, atau bahasa, atau unsur apapun dari unsur-unsur manusia yang sifatnya ardhi (kebumian) yang rentan dan tidak bernilai itu! Mereka hanya bertolak dengan akidah rabbani ini untuk membebaskan “insan” seluruhnya di “muka bumi” seluruhnya dari penghambaan terhadap selain Allah; dan untuk mengangkat mereka dari penghambaan terhadap para thaghut, apapun dan siapapun thaghut tersebut!

Di tengah pergerakan untuk mengusung agama itu—dan kami telah menegaskan bahwa ia tidak berhenti pada pendirian negara Islam di suatu belahan bumi, dan tidak berhenti pada batas-batas geografis, bangsa, dan ras…Di tengah pergerakan tersebut kecakapan manusia teridentifikasi, dan kedudukan mereka di tengah masyarakat ditengarai. Identifikasi dan penengaraan penentuan ini berpijak pada kriteria-kriteria dan nilai-nilai keimanan.

Semua orang saling mengenal berdasarkan kriteria dan nilai tersebut. Yaitu dari kegigihan dalam jihad, takwa, keshalehan, ibadah, akhlak, kemampuan, dan kapabilitas. Seluruhnya merupakan nilai-nilai yang dituntut realitas, dimunculkan pergerakan, dikenal oleh masyarakat, dan mereka mengenal orang-orang yang menyandang nilai-nilai tersebut. Dari sini, para pelakunya tidak perlu mengatakan diri mereka bersih, dan tidak perlu meminta jabatan publik, atau dewan legislatif.

Di tengah masyarakat muslim yang tumbuh berkembang sedemikian rupa, dimana struktur keanggotaannya terbentuk melalui karakterisasi di tengah pergulatan pergerakan dengan nilai-nilai keimanan—seperti karakterisasi di tengah masyarakat muslim terhadap para senior dari kalangan Muhajirin dan Anshar, Ashabul-Badr, Ashab Bai’at Ridhwan, serta orang-orang yang telah berinfak dan berperang sebelum Fathu Makkah…kemudian masyarakat di dalamnya terus membentuk karakter dengan kegigihan perjuangan untuk menyuarakan Islam.

Di tengah masyarakat seperti itu, manusia tidak saling merugikan satu sama klain, dan tidak mengingkari kelebihan orang-orang yang telah terbentuk karakternya—meskipun terkadang kelemahan manusiawi mengalahkan mereka sehingga terbawa ambisi. Pada saat itu—dari satu sisi—orang-orang yang telah terbentuk karakternya itu tidak perlu untuk menyatakan diri bersih dan meminta jabatan publik, atau dewan legislatif dengan cara menyatakan diri sebagai orang bersih (self-promotion).