Sistem Ekonomi Islam (2)

Sesungguhnya anjuran berinfak dalam surah ini dilakukan berulang-ulang. Sekarang, konteks ayat-ayatanya merumuskan aturan main Sedekah secara rinci dan panjang. Aturan main tersebut melukiskan sbeuah naungan cinta dan kasih sayang sambil menjelaskan adab-adab psikologis dan sosiologisnya. Adab-adab yang mampu merubah Sedakah menjadi aktivitas edukatif kejiwaan/psikis para pelakunya. Pada waktu yang sama menjadi sangat bermanfaat dan menguntungkan bagi para penerimanya. Demikian juga, aktivitas Sedekah mampu merubah masyarakat menjadi satu keluarga yang diliputi spirit ta’awun, takaful, cinta dan kasih sayang, serta mengangkat kemanusiaan ke tingkat yang mulia, baik sipemberi maupun sipenerimanya.

Kendati arahan-arahan yang terdapat dalam pelajaran kali ini merupakan aturan main (Undang-Undang Dasar) yang berlaku tetap, tanpa terikat waktu dan tempat dan tidak pula terpengaruh oleh situasi-siatuasi tertentu, namun demikian perlu kita isyaratkan background (latar belakangya) bahwa aturan main tersebut datang sebagai jawaban atas kondisi ril yang dihadapi oleh Jama’ah Muslimah saat itu.

Situasi ril seperti itu bisa saja dihadapi oleh masyarakat Muslim setelah itu. Sebuah fakta bahwa dahulu terdapat jiwa-jiwa yang kikir lagi pelit terkait harta yang membutuhkan tekanan yang kuat dan inspirasi yang mempengaruhinya dengan kuat. Demikian pula halnya memerlukan perumpamaan dan visualisasi fakta-fakta yang berbicara agar sampai ke dalam lubuk hati.

Saat itu, ada orang-orang yang sangat pelit terkait harta sehingga mereka tidak mau memberikannya kepada yang membutuhkannya kecuali hasil riba (interest/bunga). Ada pula yang berinfak merasa terpaksa atau riya (ingin mendapat pujian manusia). Dan ada lagi yang berinfak sambil mencerca yang menerimanya dan ada pula yang menginfakkan harta yang rusak (buruk) dan menyimpan yang baik-baik.

Semua golongan tersebut, terdapat mereka yang ikhlas berinfak di jalan Allah; mereka yang sangat dermawan melalui kebaikan harta yang mereka miliki, mereka menginfakkannya secara rahasia di tempat yang harus dirahsiakan dan secara terang-terangan di tempat yang perlu terus terang dengan semangat totalitas, ikhlas dan bersih.

Baik kelompok pertama maupun yag terakhir, semua mereka berada dalam Jamaah Muslimah saat itu. Memahami fakta tersebut akan sangat banyak manfaatnya bagi kita.

Manfaat pertama, memahami karakter Al-Qur’an ini dan fungsinya. Sebab itu, Al-Qur’an itu sesuatu yang hidup dan bergerak. Kita menyaksikannya bekeraja dalam naungan realitas ini, bergerak di tengah-tengah Jamah Muslimah, mengarahkan kondisi-kondisi dan realitas-realitas. Sebab itu, kita melihat Al-Qur’an menolak yang yang ini dan menetapkan yang itu, mendorong Jamaah Muslimah dan mengarahkannya. Al-Qur’an bekerja terus menrus dan bergerak terus dalam lapangan percaturan dan dalam lapangan kehidupan. Al-Qur’an benar-benar usnsur pendorong, penggerak dan mengarah di lapangan percaturan dan kehidupan tersebut.

Kita sangat membutuhkan merasakan Al-Qur’an seperti ini. Melihatnya sebagai seuatu yang hidup, bergerak dan mendorong. Sungguh jauh jarak antara kita dengan Gerakan Islam, kehidupan Islami dan realitas Islami tersebut. Di dalam perasaan kita, Al-Qur’an telah terpisah dari fakta sejarah yang hidup. Realitas kehidupan yang pernah terjadi di suatu masa dalam sejarah Jama’ah Muslimah pertama tersebut tak kunjung hadir dalam persaaan kita. Kita sudah tidak ingat lagi di tengah percaturan yang terus menerus – masalah harian – yang dihadapi seorang prajurut Muslim dia menerima taujuh (arahan) Al-Qur’an untuk diamalkan dan dilaksanakan.

Al-Qur’an telah mati dalam perasaan kita… atau peraan kita tidur lelap… Gambaran kongkrit dalam persaan kaum Muslim saat ia turun tak kunjung kemabali ke dalam perasaan kita. Tingkatan kita dalam menrimanya hanya sebatas bacaan yang dilagu-lagukan atau hati kita terpengaruh secara kabur dan tidak jelas. Atau kita baca sebagai wirid (kebiasaan). Puncak yang mampu dicapai oleh orang-orang Mukmin Shadiqin di kalangan kita ialah sekedar melahirkan kondisi ketenangan atau kepuasan jiwa yang kabur.

Memang, Al-Qur’an mampu melahirkan semua itu. Akan tetapi, yang dituntut dari kita – di samping itu semua – bagaimana ia dapat melahirkan kesadaran dan kehidupan dalam diri seorang Muslim. Ya, yang dituntut ialah melahirkan kondisi sadar yang bergerak bersama Al-Qur’an, sebuah gerakan khidupaan yang merupakan tujuan utama Al-Qur’an dihadirkan.

Yang dituntut ialah bahwa seorang Muslim memperhatikan Al-Qur’an dalam mendan pertempuran yang diharunginya dan senetiasa siap mengharunginya dalam kehidupan umat Islam. Yang dituntuntut ialah seorang Muslim datang kepada Al-Qur’an untuk mengdengarkan apa yang sepantasnya ia lakukan – sebagaimana generasi Muslim pertama dulu lakukan – dan agar mengetahui hakikat arahan-arahan Al-Qur’an terkait situasi dan lingkungannya saat ini berupa peristiwa-peristiwa, problem dan permsalahan-permasalahan pelik lainnya dalam kehidupan. Hendaknya seorang Muslim melihat sejarah Jamaah Muslimah pertama yang terepresentasikan dalam Al-Qur’an ini di mana Al-Qur’an itu bergerak dalam kata-kata dan arahan-arahannya sehingga dia merasakan bahwa sejarah tersebut bukanlah asing baginya.

Sejarah generasi Islam pertama itu adalah sejarahnya. Realitas yang dihadapinya hari ini hanya perpanjangan dari sejarah masa lampau. Peristiwa-peristiwa yang dihadapinya saat ini merupakan buah dari apa yang dihadapi para pendahulunya. Al-Qur’an telah memberikan taujih (arahan) pada mereka untuk bertindak dengan tindakan tertentu. Sebab itu, ia akan merasa bahwa Al-Qur’an ini juga Al-Qur’annya. Al-Qur’annya yang dia jadikan konsultan bagi setiap peristiwa dan persolan-persoalan pelik yang dihadapinya. Karena sesungguhnya Al-Qur’an itu adalah undang-undang dasarnya, konsepnya, pemikirannya, kehidupannya dan pergerakannya sekarang dan setelah sekarang tanpa terputus.

Manfaat kedua, melihat hakikat karakter masnusia yang tetap menolak dakwah kepada Iman dan beban-bebanya. Pandangan yang realistik melalui realitas yang diisyaratkan ayat-ayat Al-Qur’an dalam kehidupan Jamah Muslimah pertama. Jamaah ini yang Al-Qur’an diturunkan atasnya dan yang dibina langsung oleh Rasul Saw, tetap memiliki titik-tik kelemahan dan kekurangan yang mengharuskan pemeliharaan, arahan dan inspirasi yang terus menerus. Masalah ini tidak menghambat mereka untuk menjadi generasi terbaik sepanjang masa.

Memahami hakikat ini amat bermanfaat bagi kita. Bermanfaat bagi kita karena Al-Qur’an telah memperlihatkan pada kita hakikat Jamaah manusia yang tidak ghuluw (berlebihan), kagetan dan tidak pula memilki konsep-kosep bersayap. Bermanfaat bagi kita, karena mampu membuang rasa putus asa dari dalam diri kita saat kita melihat bahwa kita belum sampai pada ufuk (ketinggian) yang dilukiskan Islam di mana Islam mengajak manusia untuk samapai pada ketinggian tersebut. Cukup bagi kaita bahwa kita sedang menuju ke sana. Usaha-usaha kita kea rah sana sepantasnya secara kontinu dan ikhlas.

Manfaat bagi kita untuk memahami hakikat lain… Yakni, dakwah menuju kesempurnaan tersebut harus sampai kepada masnusia. Tidak boleh terputus dan tidak boleh putus asa saat melihat sebagian kelemahan dan cacat. Jiwa memang demikian… Ia akan naik sedikit demi sedikit dengan mengikuti seruan kewajiban, ajakan kepada kemualian yang dicita-citakan, mengingatkan selalu akan kebaikan, membuat kebaikan menjadi indah dan keburukan menjadi hal yang menjijikkan, menjaukan dari kekurangan dan kelemahan dan menggandeng selalu dengan kekuatan saat terjatuh di jalan dan saat menyebabkan perjalanan itu menjadi panjang.

Manfaat yang ketiga, ketenangan akan hakikat yang sederhana yang seringkali kita lupakan. Yakni, bahwa manusia adalah manusia. Dakwah adalah dakwah. Pertempuran adalah pertempuran. Pertama-tama dan sebelum segala sesuatunya dalah pertempuran dengan kelemahan, kekurangan, kekikiran, rakus yang ada dalam diri. Kemudia baru pertempuran dengan kejahatan, kebatilan, kesesatan dan tindakan melampaaui batas dalam realitas kehidupan. Pertempuran dengan kedua sisnya haruslah ditempuh. Semua aktivis Jamaah Muslimah di atas muka bumi ini harus menghadapi kedua bentuk pertempuran tersebut, sebagaiman yang dihadapi Al-Qur’an dan Rasul Saw pertama kali. Kesalahan dan ketergelinciran pasti terjadi. Kelemahan dan kekurangan dalam berbagai marhalah perjalanan pasti muncul. Namun, yang sangat diperlukan ialah perawatan yang terus-menerus terhadap kelemhan dan kekurangan yang muncul selama dalam perjalanan yang dilahirkan peristiwa-peristiwa dan percobaan-percobaan. Sebab itu, hati harus diarahkan kepada Allah dengan metode-metode yang diterapkan Al-Qur’an dalam mentaujih (mengarahkan).

Di sisni, kita kembali kepada pembicaraan pertama. Kita kembali kepada konsultasi Al-Qur’an dalam pergerekan kehidupan kita dan persoalan-persolan peliknya. Kembali kita melihatanya bekerja dan bergerak dalam perasaan kita dan dalam kehidupan kita sebagaiman Al-Qur’an itu bekerja dan dan bergerak dalam kehidupan Jamaah Islam pertama.