Sistem Ekonomi Islam (6)

Terdapat beberapa riwayat terkait sebab turun ayat ini. Sebagi mukaddimah, tidak masalah kita sebutkan di sini, dengan tujuan untuk menghadirkan hakikat kehidupan yang dihadapi Al-Qur’an (saat ia diturunkan) dan hakikat upaya yang diberikannnya untuk mendidik jiwa dan mengangkat derajatnya ke posisi yang sebenarnya.

Ibnu Jarir meriwayatkan – dengan sanadnya – dari Al-Barrok bin ‘Azib – radhiyallahu ‘anhu – dia berkata : Ayat ini diturunkan pada kaum Anshar ketika penebangan pohon kurma (semacam peremajaan) mereka menyisihkan buah kurma yang belum matang dan menggantungkannya dengan tali yang diikatkan di antara dua tiang di Masjid Nabawi. Maka orang Muhajirin yang miskin memakannya. Seorang di antara mereka sengaja memberikan yang buruk dan dimasukkan (digantungkan) di ujung tongkat karena menduga hal tesebut tidak masalah. Maka Allah menurunkan pada yang melakukannya “Dan janganlah kamu memilih yang buruk-buruk lalu kamu infak-kan dari padanya, …”.

Demikian pula seperti yang diriwayatkan Al-Hakim dari Al-Bbarrok dan dia berkata : Hadits tersebut shahih berdasarkan syarat Bukhari dan Musli, kendati mereka tidak mentakhrijnya.

Ibnu Hatim meriwayatkan – dengan sanadnya dari sumber lain – dari Al-Bbarrok ra dia berkata : Ayat itu turun pada kami. Kami adalah para pemilik kebun kurma. Ada seorang yang membawa kurma berdasarkan banyak atau sedikit (panen). Lalu seseorang datag membawa kurma simpanannya dan menggantungkannya di Masjid Nabawi. Ahlu Shuffah (beberapa sahabat miskin yang tinggal di Masjid Nabawi) tidak memiliki makanan. Salah seorang di antara mereka saat lapar memukul (kuram yang digantung itu) dengan tongkatnya, lalu jatuhlah buah kurma yang belum matang dan yang sudah matang. Iapun memakannya. Orang-orang yang tidak menyukai kebaikan datang membawa buah kurma yang rusak, buah ujung dan yang belum matang lalu digantungkan (di Masjid Nabawi), maka turunlah ayat “Dan janganlah kamu memilih yang buruk-buruk lalu kamu infak-kan dari padanya, padahal kamu sendiri tidak mau mengambilnya melainkan dengan memicingkan mata terhadapnya”. Dia berkata : jika di antara kamu dihadiahkan seperti apa yang dia berikan, niscaya dia tidak akan mengambilnya kecuali sambil memejamkan mata dan karena malu. Maka setelah itu kami datang dengan membawa kurma yang baik yang kami miliki.

Dua riwayat tersebut mirip redaksinya. Keduanya mengisyaratkan situasi, kondisi dan realitas di Madinah saat itu. Juga memperlihatkan pada kita lembaran yang bertentangan yang pernah dilukiskan kaum Anshar dalam sejarah pengorbanan, kemurahan hati dan pemberian yang melimpah. Bagaimana ayat tersebut memperlihatkan pada kita bahwa dalam satu jamaah terdapat contoh ajaib yang tinggi, sedangkan contoh yang lain adalah yang membutuhkan tarbiyah, perbaikan, dan arahan agar dapat menuju kesempurnaan. Sebagaimana sebagian kaum Anshar membutuhkan larangan bagi kesengajaan memberikan harta mereka yang buruk yang mana mereka sendiri terkadang tidak mau menerimanya dalam bentuk hadiah kecuali karena malu menolaknya dan tidak pula terjadi dalam transaksi bisnis kecuali dengan memejamkan mata. Artinya, sebuah kekurangan dalam value (nilai), padahal mereka persembahkan untuk Allah.

Sebab itu, datang komentar Allah “ Ketahuilah sesunggugnya Allah Maha Kaya lagi Terpuji”. Maha Kaya… Mutlak tidak butuh pemberian manusia. Jika mereka meberikan sesuatu, maka pemberian itu untuk diri mereka sendiri. Maka berikanlah yang terbaik dan juga dengan keikhlasan hati. Maha Terpuji…. Menerima yang baik-baik dan memujinya serta membalasnya dengan kebaikan (syurga).

Setiap dari dua karakter tersebut sangat menggugah hati kita, sebagaimana menggugah hati para kaum Anshar itu. “Wahai orang-orang beriman! Infakkanlah yang baik-baik dari hartamu”. Kalu tidak, Allah tidak butuh pada harta buruk yang diinfakkan itu. Sedangkan Dia hanya menerima dan memuji kalian jika memberikan yang baik-baik sebagai balasan bagi yang ridha dan bersyukur. Karena Allah adalah Pemberi rezki. Dia membalas pemberian kalian dengan balasan terpuji, sedangkan harta yang kalian berikan itu adalah pemberian-Nya juga sebelumnya. Inspirasi macam apa gerangan? Motivasi macam apa gerangan dan tarbiayah hati macam apa gerangan yang erdapat dalam metode yang amat dahsyat ini?

Manakala tidak mau berinfak atau memebrikan yang buruk dan jelek sesunguhnya menunjukkan motivasi yang buruk dan keyakinan terhadap apa yang ada di sisi Allah yang terganggu. Juga ketakutan pada kemiskinan yang tidak mungkin dimiliki jiwa yang terhubung dengan Allah, bergantung pada-Nya dan menyadari semua yang ada pada dirinya akan kembali kepada Allah. Allah membuka faktor-faktor pendorong tersebut bagi orang-orang beriman agar terlihat nyata dan agar mereka mengetahui dari mana tumbuhnya nafsu dan apa saja yang mempengaruhi hati… Itulah setan. “Setan menjanjikan (menakut-nakuti) kamu dengan kemiskinan dan menyuruh kamu berbuat kejahatan (kikir); sedang Allah menjanjikan untukmu ampunan daripada-Nya dan karunia . Dan Allah Maha Luas (karunia-Nya) lagi Maha mengetahui. Allah menganugrahkan Al Hikmah (kefahaman yang dalam tentang Alquran dan Sunnah) kepada siapa yang Dia kehendaki. Dan barangsiapa yang dianugrahi Al Hikmah itu, ia benar-benar telah dianugrahi karunia yang banyak. Dan hanya orang-orang yang berakallah yang dapat mengambil pelajaran (dari firman Allah)”.

Setan menakut-nakuti kamu akan kefakiran. Itulah faktor yang mempengaruhi jiwamu untuk tamak, kikir dan kompetisi tidak sehat. Setan juga menyuruh kamu berbuat fahsyak (keji). “Fahsyak” adalah setiap maksiat. Artinya, melampaui batas. Kendati kata “fahsyak” mendominasi makna makasiat tertentu, akan tetapi kata tersebut juga mencakup semua bentuk maksiat. Ketakutan fakir / miskin di kalangan kaum Jahiliyah sehingga mereka menguburkan anak-anak wanita hidup-hidup juga diesebut “fahsyak”. Rakus dalam mengumpulkan harta sehingga mendorong melakukan tarnsasksi riba, juga disebut “fahsyak”. Sesungguhnya takut miskin disebabkan infak fi sabilillah juga termasuk “fahsya”.

Ketika setan menjanjikan Anda kemiskinan dan menyuruh berbuat “fahsyak”, Allah menjanjikan Anda ampunan dan karunia. “Allah menjanjikan kamu ampunan dan karunia”. Didahulukan “ampunan” dan diakhirkan “ karunia”, karena karunia itu sebagai tambahan di atas “ampunan”. Termasuk juga pemebrian rezki di bumi ini, sebagai balasan pengorbanan di jalan Allah. “ Allah Maha Luas (karunia) dan Maha Mengetahui”. Dia memberi kelapanagan (rezki) dan mengetahui apa yang menjadi was-was (bisikan) dalam dada manusia dan apa yang terbetik dalam hati.

Allah idak hanya memberikan harta dan tidak ahanya ampunan. Akan tetapi memberikan “hikmah”, yakni kemampuan merealisasikan niat, lurus, menyadari penyakit dan tujuan dan meletakkan masalah pada temapatnya dengan tepat dan visi serta kesadaran penuh. Allah menganugrahkan Al Hikmah (kefahaman yang dalam tentang Alquran dan Sunnah) kepada siapa yang Dia kehendaki. Dan barangsiapa yang dianugrahi Al Hikmah itu, ia benar-benar telah dianugrahi karunia yang banyak”. Diberikan-Nya niat dan-Nya pula kesadaran mengenal penyakit dan tujuan sehingga tidak tersesat dalam menilai permasalahan / perkara. Diberikan-Nya kemampuan melihat yang mencerahkan yang membimbing memperoleh yang baik dan benar dari pergerakan dan perbuatan… Semua itu adalah kebaikan yang banyak dan beragam.

“Dan tidka ada yang dapat mengambil peringatan keculi mereka yang memiliki pemikiran”. Orang yang memiliki “lub” yakni akal, dialah yang ingat dan tidak lupa, hati-hati, tidak lalai, mengambil pelajaran dan tidak terjerumus ke kesesatan. Ini adalah tugas akal. Tugasnya adalah mengingat petunjuk wahyu dan bukti-buktinya serta memanfaatkannya sehingga tidak hidup main-main dan lalai.

Hikmah ini diberikan Allah kepada hamba yang dikehendaki-Nya. Hikmah itu terkait dengan kehendak Allah Subhanah. Ini adalah kaedah dasar dalam konsepsi Islam. Yakni, mengembalikan segala sesuatu pada kehendak mutlak dan pilihan Allah. Pada waktu yang sama, Al-Qur’an menetapkan hakikat lain, yakni siapa yang menginginkan hidayah dan berusaha meraihnya serta bersungguh-sungguh untuknya, maka Allah tidak akan menghalanginya dan bahkan menolongnya : “ Dan orang-orang yang bersusngguh-sungguh di jalan Kami pasti Kamu tunjukkan jalan Kami dan sesungguhnya Allah bersama orang-orang baik (professional)”. Hendaklah merasakan ketenangan setiap orang yang datang meraih petunjuk Allah bahwa kehendak Allah akan memberinya pentunjuk, hikmah dan kebaikan yang banyak.

Ada hakikat lain – sebelum membahas masalah ini dengan luas – sebelum meninggalkan renungan ini pada firmal Allah: “ Setan menjanjikan padamu kemiskinan dan menyuruhmu berbuat “fahsyak”, sedangkan Allah Allah menjanjikan padamu ampunan dan karunia. Dan Allah Maha luas (karunia) dan Maha Mengetahui. Dia memberika “hikmah” kepada orang yang dikehendaki….”.

Sesungguhnya di hadpan manusia hanya ada dua jalan, tidak ada jalan yang ketiga. Jalan setan atau jalan Allah. Apakah dia mendengar janji Allah atau janji setan. Siapa yang tidak berjalan di atas jalan Allah dan mendengarkan janji-Nya maka orang itu pasti berjalan di atas jalan setan dan mengikiuti janjinya. Sebab itu, tidak ada manhaj (yang lurus) kecuali hanya satu, yaitu “al-haq”… Manhaj yang disyariatkan Allah. Selain itu adalah milik setan dan dari setan.

Hakikat ini ditetapkan Al-Qur’an Al-Karim dan diulang-ulang serta amat ditekankan, agar tidak ada lagi argumentasi bagi orang yang ingin menyimpang dari manhaj Allah, kemudian mengklaimnya sebagi petunjuk dan kebenaran; dalam masalah apa saja. Tidak ada lagi remang-remang atau tertutup. Allah… atau setan. Manhaj Allah…. atau manhaj setan. Jalan Allah… atau jalan setan bagi yang menghendaki dan memilihnya. “Agar celaka orang yang celaka dengan nyata (argumentasi) dan hidup (dalam petunjuk) orang yang hidup dengan nyata”. Tidak ada lagi remang-remang, tertutup dan terbungkus… Sesungguhnya yang ada hanyalah “hudan” (petunjuk) atau kesesatan. Hak itu hanya satu dan tidak berbilang. “Dan tidak ada lagi setelah hak itu melainkan kesesatan”.(