Saya dan Suami Berhubungan Badan di Ramadhan, Harus Bagaimana?

Assalamu’alaikum Wr. Wb.

Saya dan suami pernah berhubungan badan pada siang hari di bulan Ramadhan. Saya ingin bertanya bagaimanakah cara pembayaran kifaratnya, apakah harus dalam bentuk makanan kepada 60 orang atau boleh dalam bentuk uang saja? Dan perhitungannya untuk 1 kali makan atau 1 hari makan? Pada saat akan memberikan denda tersebut apakah kita harus mengucapkan kepada orang yang kita beri bahwa pemberian itu sebagai kifarat atau kita boleh mengatakan hal lain misalnya untuk berbuka puasa, dan lain-lain?

Wassalam,

Assalamu ‘alaikum warahmatullahi wabarakatuh,

Ketentuan penerapan masalah kaffarat bagi orang yang merusak kesucian bulan Ramadhan dengan melakukan hubungan suami isteri adalah:

1. Yang diwajibkan untuk membayar kaffarah hanya suami, sedangkan isteri tidak diwajibkan. Maka cukup suami anda saja yang membayar kaffarah, sedangkan anda tidak perlu melakuannya. Demikian pendapat umumnya para ulama.

Meski pun ada juga pendapat yang mengatakan bahwa keduanya, suami dan isteri, wajib sama-sama membayar kaffarah. Namun perdebatan para ulama cukup panjang, rasanya terlalu bertele-tele bila diungkapkan di sini.

Yang penting, seandainya anda tidak membayar kaffarah, sudah ada pendapat ulama yang membolehkannya.

2. Ketika mulai menyetubuhi isterinya, suami masih dalam keadaan berpuasa. Tidak tidak membatalkan puasanya dulu dengan makan atau minum, tetapi membatalkan puasanya dengan masuknya kemaluannya ke dalam kemaluan isterinya.

Seandainya suami sempat membatalkan dulu puasanya, maka dia tidak diwajibkan membayar kaffarah, kecuali hanya mengganti puasanya yang rusak di hari itu.

3. Puasa yang dirusak kesuciannya oleh suami adalah puasa Ramadhan yang dia diwajibkan berpuasa di dalamnya.

Sedangkan puasa wajib yang bukan Ramadhan, seperti puasa qadha’ atau puasa nadzar, maka tidak ada kewajiban membayar kaffarah bila merusaknya dengan jima’.

Apalagi puasa yang hukumnya sunnah, sudah pasti tidak berlaku hukum kaffarat kalau dilanggar dengan jima’.

Bahkan meski seseorang berpuasa Ramadhan, namun puasa itu tidak wajib atas dirinya karena udzur tertentu, seperti orang yang sedang sakit atau sedang dalam bepergian, maka bila dia membatalkannya, tidak berdosa. Juga tidak ada kewajiban kaffarah bila membatalkannya dengan jima’.

4. Tingkatan kaffarah itu ada tiga dan tidak boleh diacak-acak. Mulai dari yang paling berat, baru kepada yang lebih ringan.

Pertama, membebaskan seorang budak. Ini harus jadi prioritas utama. Namun bila dia tidak mampu, lantaran sekarang sudah tidak ada lagi perbudakan, atau karena harga budak cukup mahal tak terjangkau, maka baru boleh pindah ke jenis yang kedua, yaitu berpuasa dua bulan berturut-turut. Tidak ada alasan untuk tidak bisa, apalagi bila masih muda.

Kecuali suami itu orang yang sakit selamanya dan tidak akan mampu puasa selamanya menurut dokter. Atau dia memang orang yang sudah tua bangka, jangankan 2 bulan, bahkan puasa sehari saja pun tidak kuat. Maka untuk kasus yang sudah parah seperti ini, boleh pindah ke jenis yang lebih ringan, yaitu yang ketiga. Bentuknya memberi makan 60 orang fakir miskin.

Masalah apakah harus dalam bentuk makanan atau boleh uangnya saja, para ulama umumnya menyebutkan harus dalam bentuk makanan yang bisa mengenyangkan orang miskin, minimal untuk sehari dalam hidupnya. Namun ijtihad mazhab Hanafiyah mengatakan boleh dengan uangnya saja.

Bagi kita, mana saja boleh, namun alangkah baiknya bila kita juga melihat kepada kepraktisannya. Bila lebih praktis menggunakan uang, baik bagi pemberi maupun penerima, maka gunakan uang. Tetapi bila lebih praktis dengan makanan jadi siap makan, maka sebaiknya demikian. Yang penting judul utamanya memang memberi makan fakir miskin.

Tidak ada ketentuan bahwa makanan yang kita berikan itu harus disebutkan penyebabnya. Yang penting niatnya, ikrarnya tidak penting. Sebab namanya pemberian, pada dasarnya tidak perlu ikrar atau pengumuman.

Tetapi seandainya diserahkannya lewat pantia zakat, tentu harus diikrarkan. Fungsinya, agar panitia zakat tahu kemanakah harus mereka harus mendistribusikannya.

Wallahu a’lam bishshawab, wassalamu ‘alaikum warahmatullahi wabarakatuh,

Ahmad Sarwat, Lc.