Bersih Dari Penyakit Merasa

Bulan Ramadhan adalah bulan suci dan mensucikan. Itu semua bisa dirasakan oleh hati kita. Peningkatan rasa di hati menambah kepekaan hati kita. Kepekaan hati terkait juga dengan seberapa besar dosa-dosa yang kita lakukan. Semakin banyak kita berbuat dosa, akan semakin tumpul dalam kepekaannya. Namun dosa yang terkikis karena taubat yang kita lakukan, maka dapat menambah kepekaan hati.

Pengaruh dari kepekaan hati adalah mudahnya kita mengendalikan lisan dan hati akan reflek dengan hal-hal, baik yang dilarang maupun yang boleh dilakukan. Seakan-akan terdapat sinyal di hati, apabila akan dan sudah berbuat kesalahan.

Oleh karena itu, penting bagi kita untuk memperhatikan keadaan hati. Semakin baik kondisi hati, maka akan semakin khusyuk ibadah kita, semakin tersentuh hati kita dengan bacaan-bacaan Al-Qur’an dan keMaha Agungan Allah SWT. Diri kita akan selalu merasa dipandang Allah jika hati kita peka. Setiap perbuatan yang kita lakukan akan menjadi amal kalau ada kepekaan hati dan waspada bahwa Allah adalah maha menatap. Ciri Ramadhan yang sukses sesungguhnya dapat kita lihat dari bagaimana reaksi kita terhadap orang lain bukan reaksi orang terhadap kita.

Kunci dari hati yang tidak berkualitas adalah MERASA, yaitu selalu ingin merasa lebih dari orang lain dan merasa ingin dinilai orang. Inilah justru yang membuat hati menjadi bebal.

Sudah banyak orang yang rusak karena populer, merasa menjadi idola, sehingga ia menjadi geer, hidupnya menjadi terpenjara oleh perasaaan ‘merasa’ itu. Karena merasa teladan versi manusia, ia akan berbuat apapun hanya karena ia merasa tidak bisa dilepaskan dari topeng tersebut. Ia akan terus menjaga supaya topeng teladannya itu tidak lepas dari dirinya. Inilah bahayanya termakan pujian. Ia tidak mau hilang atas pujian orang-orang. Ia akan terus belajar, namun motifnya supaya disebut tetap aktual, atau karena ingin agar ceramahnya bisa menembus hati. Bukan karena untuk keridhaan Allah. Jadi, ia mati-matian belajar bukan supaya dekat dengan Allah, tapi supaya tetap disebut seorang ustadz yang hebat. Lalu adakah Allah di sana? Tipis, memang. Berapa banyak orang yang akan ceramah, belajar supaya dianggap ceramahnya bagus semata, atau agar ceramahnya tidak membosankan. Jadi tidak ada urusan belajar dengan taqarub kepada Allah, tetapi ia belajar urusannya dengan penilaian orang. Ikhlaskah dengan motif seperti itu?

Orang yang lillahi ta’ala itu juga belajar. Namun, belajarnya mereka karena ingin dekat dengan Allah. Ia menganggap bahwa ilmu itu penting, yang menyebabkan ia mengenal dengan Allah. Ia akan menyampaikannya untuk berdakwah, agar orang lain juga mendapat manfaatnya. Banyak peluang untuk tidak ikhlas. Ingin dipuji, takut dicaci, itu sama dengan tidak ikhlas.

Ada juga orang yang berupaya senantiasa tampil diam. Namun diam palsu yang direncanakan untuk wibawa. Padahal perbuatan itu hanya topeng semata, tidak lillahi ta’ala. Sesungguhnya berpenampilan diam itu sangat bermacam-macam penyebab dan dampaknya. Ada yang dengan diam menjadi emas, tapi ada juga yang dengan diam menjadi masalah. semuanya tergantung kepada cara, situasi, kondisi, dan lingkungannya.

Ada yang menggunakan aksesori Islam untuk menjadikan hebat dirinya. Tapi ada pula yang menjadikan Islam lebih hebat dengan pengorbanan dirinya. Sebetulnya sewaktu berjihad yang beruntung adalah kita. Karena Islam itu sudah sempurna dan hebat. Ada tidak adanya kita, Islam sudah sempurna. Apakah dengan kita berjuang, Islam yang menjadi jaya? Justru kita lah yang menjadi jaya. Diibaratkan apakah bisa orang merusak yang sudah disempurnakan Allah?

Kaum akhwat yang berjilbab itu adalah ideal, dan syar’i, apabila dilandasi dengan hati yang bersih. Tapi jilbab besar bisa menjadi hijab kalau tidak dengan mujahadah (kesungguhan) membersihkan hati. Kalau besar hati menjadi takabur karena dengan jilbabnya itu ia menjadi menghina orang. Mestinya, bukan diganti jilbabnya, tapi jangan merasa hebat dengan topeng yang dipakai. Bukan hanya dengan jilbab besarnya, tapi dengan bersihnya hati. Hebatnya ibadah juga bisa menjadi hijab, kalau ia merasa lebih daripada yang lain. Bukan berarti harus mengurangi ilmu dan meremehkan yang banyak beribadah, tapi harus berhati-hati. Yang berilmu dan banyak ibadah jangan sampai menjadi hijab karena ujub termakan oleh pujian.

Waspada terhadap topeng-topeng yang sedang kita pakai. Ayo periksa topeng-topengnya. Biasanya berupa jabatan, status ilmu, kemampuan bahasa, jumlah hapalan atau apa saja yang menyebabkan perbuatan kita tidak lillahi ta’ala. Akibatnya hati tidak akan merasa nyaman atau klop. Hati akan klop bila ikhlas seperti mur dan baut.

Langkah apa yang harus kita lakukan? Periksa apa saja yang bisa menjadi potensi yang menyebabkan rusaknya hati. Memperlihatkan lelah pun bisa membuat tidak ikhlas, apabila didramatisir kecapaiannya. Atau sehabis pulang dari luar negeri, apakah itu perlu dikatakan, atau hanya untuk sekedar pamer. Pelajaran ini adalah pelajaran memeriksa.

Dengan berusaha untuk membersihkan hati, tidak ingin dipuji atau dihargai, maka hati akan terasa enak dan tenang. Pada hakikatnya Allah yang menenangkan. Orang lain pun merasa enak. Kata-katanya bisa merasakan, bisa terbaca. Akan terasa enak bila murni lillahi ta’ala. Sudah tidak mengharapkan dari siapa pun kecuali dari Allah semata, itulah tauhid. Putus asa dari selain Allah. Tidak ada yang bisa memberi apa pun tanpa ijin Allah. Allah SWT berfirman (yang artinya) : “Jika Allah menimpakan sesuatu kemudharatan kepadamu, Maka tidak ada yang dapat menghilangkannya kecuali Dia. dan jika Allah menghendaki kebaikan bagi kamu, Maka tak ada yang dapat menolak kurniaNya. Dia memberikan kebaikan itu kepada siapa yang dikehendaki-Nya di antara hamba-hamba-Nya dan Dia-lah yang Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (QS Yunus [10] : 107)

Oleh sebab itu, kalau ada sesuatu yang paling mahal dalam hidup ini, maka “kesungguhan kepada Allah”, inilah, yang paling mahal. Ia ingin dekat dengan Allah, tetapi hakikatnya Allah lebih dekat kepadanya daripada urat lehernya. Allah berfirman :

“Dan Sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dan mengetahui apa yang dibisikkan oleh hatinya, dan Kami lebih dekat kepadanya daripada urat lehernya.” (QS Qaaf [50] : 16).

Orang yang hanya Allah tujuannya, hidupnya akan senantiasa bersih dan lurus; dipuji, tidak dipuji, bahkan dicaci sekalipun, sama sekali tidak ada masalah, karena baginya apa yang dilakukan oleh makhluk itu tidak begitu banyak nilainya.

Siapapun yang mengenal Allah, tidak akan merasa kecewa. Ia menjadi yakin bahwa semuanya telah ada ukurannya. Dan kebahagiaan, ketenangan, semuanya berbanding lurus dengan keyakinan kita. Allah berfirman :

“Tidak ada Balasan kebaikan kecuali kebaikan (pula).” (QS Ar-Rahman [55] : 60) “Dan bahwasanya seorang manusia tiada memperoleh selain apa yang telah diusahakannya, dan bahwasanya usaha itu kelak akan diperlihat (kepadanya). Kemudian akan diberi Balasan kepadanya dengan Balasan yang paling sempurna.” (QS An-Najm [53] : 39-41)

Semoga Allah selalu menuntun kita menuju hati yang lapang, bersih dan terbebas dari penyakit.