Kisah Sejarah Pangeran Diponegoro (12)

Oleh Rizki Ridyasmara

Para jamaah menganggukkan kepalanya.

“Nah…,” lanjut Diponegoro, “…bagaimana dengan kita sekarang? Apa yang harus kita lakukan sekarang ini? Jawabannya adalah: Pertama, kita harus paham terhadap Islam yang benar, yang haq, yang sesuai dengan al-Qur’an dan hadits yang shahih, bukan hadits palsu. Kita tegakkan Islam itu di dalam dada kita. Biarlah Islam menjadi satu-satunya hukum yang mengatur kehidupan kita dan keluarga kita. Kedua, tancapkan kuat-kuat cita-cita untuk bisa hidup di dalam kedamaian Daulah Islamiyah. Ketiga, untuk menggapai cita-cita itu, maka thagut dan seluruh pengikutnya harus kita perangi, kita lawan, dan kita hancurkan. Bukan malah bersekutu atau menjadi perpanjangan tangan dari thagut itu.

Seperti halnya perang yang akan kita lakukan di hari-hari ke depannya melawan kafir Belanda, maka bukan orang Belanda-nya yang kita musuhi, namun sistem thagut-nya yang kita perangi. Yang akan kita lakukan adalah perang sabil, perang di jalan Allah atau jihad fi sabilillah. Semua yang berjihad di jalan Allah tidak akan rugi. Jika kita mati maka pintu surga telah menanti, dan jika kita menang, maka kita akan hidup bahagia di dalam suatu negara yang penuh dengan kedamaian dan kemakmuran…”

“Tapi kafir Belanda pasti tidak akan menyerah…”

“Benar itu. Allah subhana wa ta’ala sendiri di dalam surat al-Baqarah ayat 120 berfirman, “Wa lan tardho ankal Yahudu wa Nasharo, hatta tata bi’an milatahum…” yang artinya, “Tidak akan pernah rela, tidak akan pernah sudi, tidak akan pernah mau, orang-orang Yahudi dan Nasrani kepada kalian wahai umat Islam, hingga kalian semua akan tunduk mengikuti, mematuhi, dan melaksanakan keyakinan mereka.