Kisah Sejarah Pangeran Diponegoro (14)

“Ustadz…”

“Ya, Kanjeng Gusti Pangeran…”

“Saya akan menulis beberapa surat perintah kepada orang-orang kita di pantai utara, di Mancanegara[1], serta di Bagelen dan Sukawati. Mereka harus mulai bersiap menyambut apa pun yang akan terjadi esok hari.”

“Surat perintah?”

“Benar, Ustadz. Saya menyerukan kepada semua rakyat Mataram, agar mulai saat ini tidak lagi takut kepada kafir Belanda dan antek-anteknya. Orang-orang yang mengaku Muslim tapi di dalam hidupnya menggantungkan diri dan keluarganya kepada thagut, yang menyerahkan loyalitasnya kepada thagut, bukan kepada Allah dan hukum-hukum-Nya, juga harus diperangi. Hanya Allah subhana wa ta’ala yang layak dan berhak ditakuti sekaligus dicintai. Saya hanya ingin mengatakan, jika terdengar meriam berdentum sepanjang hari dan malam, maka semuanya harus siap siaga. Itu saja.”

“Baik, Kanjeng Pangeran. Itu sudah cukup.”

Sadumuk bathuk, sanyari bumi ditohi tekan pati[2], Ustadz! Ini prinsip kita.”

Ustadz Taftayani hanya tersenyum dan mengangguk-anggukkan kepalanya. []