Kisah Sejarah Pangeran Diponegoro (14)

Ahmad kembali memacu kudanya memasuki pelataran halaman muka kraton dan langsung menuju ruang kepatihan tempat Patih Danuredjo IV berkantor.

Setelah menambatkan kuda, Ahmad berjalan melintasi aula kraton bagian dalam. Pemuda itu menahan nafasnya sejenak. Dia tidak tahan dengan aroma alkohol dan tembakau yang begitu kuat menyeruak di aula itu. Beberapa puntung rokok masih terlihat berserak di sudut-sudut kaki meja dan kursi. Namun ketika melihat seorang prajurit jaga yang berdiri di depan ruangan kepatihan, Ahmad bisa bernafas lega. Prajurit yang tengah jaga adalah Suryo Widhuro, salah seorang prajurit yang loyal kepada Pangeran Mangkubumi. Ahmad kenal dengannya karena diam-diam Suryo juga merupakan simpatisan Kanjeng Pangeran Diponegoro.

Walau demikian, sekadar untuk memenuhi formalitas kraton, Suryo segera menggeledah Ahmad Prawiro. Setelah dianggap bersih, Suryo segera berbisik, “Serahkan saja suratnya padaku, nanti aku sampaikan pada residen itu.”

Ahmad menyerahkan surat yang langsung ditulis tangan oleh Pangeran Diponegoro, “Tolong sampaikan langsung sekarang juga. Tidak perlu dibalas…”

Suryo mengangguk. Ahmad segera berlalu darinya. Prajurit itu pun mengetuk pintu kamar kepatihan tempat Smissaert bermalam. [] (Bersambung)

[1] Mancanegara adalah sebutan masa itu untuk wilayah Madiun, Kediri, dan Rembang).

[2] Bahasa Jawa: “Sejari sekepala, sejengkal tanah akan dibela sampai titik darah penghabisan”.