Kisah Sejarah Pangeran Diponegoro (2)

Dan sore ini, sesuatu yang mengerikan sepertinya akan terjadi. Dyah Jayengsari mendapati dirinya tidak sendirian. Dari berbagai arah, juga berdatangan—mengalir bagai air bah—ribuan ulama, guru ngaji, anak-anak santri dan santriwati, beserta seluruh keluarganya, yang seluruhnya digiring dan dijaga ketat pasukan Mataram ke alun-alun. Semuanya dikumpulkan di lapangan yang luas hingga tercipta lautan jubah putih.

Di tanah lapang itu mereka semua dikumpulkan menjadi satu. Semuanya, tanpa kecuali, disuruh duduk bersila di atas tanah menghadap ke arah timur di mana sebuah bukit yang tidak begitu tinggi tampak memanjang searah dengan aliran Kali Opak. Ribuan orang itu, besar dan kecil, tua dan muda, duduk di atas tanah dalam barisan yang diatur paksa oleh para prajurit.

Di sekeliling lapangan, tiga lapis pasukan Mataram bersenjata pedang dan tombak mengepung orang-orang itu dalam formasi siaga. Agaknya Amangkurat I memerintahkan semua pasukannya mengepung alun-alun dengan rapat, hingga tak ada celah untuk meloloskan diri.

Ketika hari sudah mulai gelap, ribuan ulama, santri, dan keluarganya dilarang untuk menunaikan sholat maghrib. Para prajurit mengancam, siapa pun yang ketahuan mengerjakan sholat, akan langsung ditebas lehenya. Beberapa ulama tidak mengindahkan ancaman itu dan tetap mengerjakan sholat, walau sambil duduk. Celakanya, hal itu diketahui para prajurit. Tanpa ampun lagi, mereka memenggal leher beberapa ulama tersebut dengan pedangnya. Jerit dan tangis segera pecah di tengah kerumunan massa. Namun suasana dengan cepat jadi senyap kembali karena para prajurit itu lagi-lagi mengeluarkan ancamannya akan melakukan hal yang sama jika ada yang berani berteriak atau membuat ribut.

Dalam kesenyapan yang mencekam itu tiba-tiba semua mata melihat ke arah pintu gerbang kraton yang menuju ke bukit di sebelah timur alun-alun yang tanpak bercahaya. Dari gapura batu kali setinggi enam meteran, serombongan orang dengan membawa tiang obor keluar dari dalam kraton. Di belakang pasukan obor terlihat sepuluh orang anggota Trisat Kenya, pasukan khusus pengawal raja yang semuanya terdiri dari perawan cantik dengan pakaian lelaki bersulam emas, terlihat menyandang pedang dan tombak. Di bawah cahaya ratusan obor, pasukan itu terlihat begitu anggun dan gagah.