Kisah Sejarah Pangeran Diponegoro (5)

Pangeran Diponegoro mengangguk dan memanggil dua pengawalnya untuk mengurus jenazah anak dari Ki Singalodra itu.

“Maafkan saya Kisanak. Sebaiknya jenazah anak Kisanak diurus terlebih dahulu dengan baik. Sebagai Muslim, kita wajib memperlakukan jenazah dengan layak. Serahkan saja pada kita…”

Ki Singalodra segera menuruti perkataan Diponegoro. Dengan hati-hati dan berlinang airmata dia menyerahkan jenazah puteranya itu kepada dua orang pengawal yang segera menyambutnya.

Setelah jenazah anak itu dibawa, Pangeran Diponegoro berkata kembali, “Nah, apakah seorang Ki Singalodra sungguh-sungguh ingin berjihad di sisi kami dalam menegakkan kalimah tauhid di tanah Jawa ini? Mengusir kaum kafir Belanda dari negeri ini?”

Dengan mantap lelaki itu mengangguk, “Ya, Kanjeng Gusti Pangeran. Saya bersungguh-sungguh.”

“Apakah Kisanak mengetahui apa yang sedang kami perjuangkan disini?”

“Melawan Belanda…?”

“Itu betul. Namun tujuan kami lebih mulia dari itu semua. Belanda bukanlah musuh kami. Sebagaimana kami tidak memusuhi Danurejo dan orang-orangnya. Musuh kami adalah kekufuran dan kezaliman. Itu yang kami perangi. Kami tidak memerangi orang, tapi kami memerangi sistem yang melawan perintah Allah. Kami memerangi sistem thagut.”

“Thagut…?”

“Ya. Sebelum bergabung dengan kami, sebaiknya Kisanak bisa memahami dengan benar apa yang harus diperjuangkan oleh kita semua, kaum Muslimin, di dalam hidupnya. Untuk itu, jika tidak keberatan,Kisanak terlebih dahulu akan mengikuti pengajian yang akan disampaikan Ki Guntur atau Ustadz Taftayani. Beliaulah yang akan menerangkan kepada kita semua tentang apa dan bagaimana seharusnya berperang di dalam Islam. Saya pun saat ini masih selalu belajar memperdalam ilmu agama. Mari kita sama-sama belajar mendalami ilmu, karena itu adalah perintah agama.”

“Berperang di dalam Islam..?”

“Ya. Itu benar, KisanakJihad fi sabilillah namanya. Semuanya nanti akan diterangkan oleh ustadz-ustadz yang ada di sini. Dan satu lagi…”

Ki Singalodra mengkerutkan dahinya. Dia benar-benar tidak mengerti apa yang dimaksudkan dengan perang dalam Islam. Baginya perang adalah membunuh musuh sebanyak-banyaknya, mengalahkannya, hingga musuh takluk. Itu saja.

Pangeran Diponegoro melanjutkan kalimatnya, “…semua yang ada disini harus memperbaharui akidahnya. Jika Kisanak bersedia, silakan mengikuti perkataan saya sekarang. Bagaimana?”

Lelaki berewokan itu menganggukkan kepalanya, “Baik Kanjeng Gusti Pangeran, saya bersedia.”

“Nah, sekarang ikuti perkataan saya...”