Kisah Sejarah Pangeran Diponegoro (7)

“Ustadz… silakan lanjutkan paparannya. Saya hendak keluar dahulu,” ujar Pangeran Diponegoro membuyarkan semua ingatan Muhammad Taftayani[3] tentang murid kesayangannya itu.

Astaghfirullah.. saya melamun. Silakan Pangeran. Dan karena hari sudah semakin malam, pengajian kali ini kita cukupkan sampai disini dahulu. Mudah-mudahan iman Islam yang kita miliki mampu untuk mengikat hati kita semua dalam perjuangan yang sebentar lagi akan mendatangi kita. Cepat atau lambat, semuanya akan diuji oleh perjuangan ini. Saya berdoa agar Allah subhana wa ta’ala nanti memasukkan dan mengumpulkan kita semua di dalam jannah-Nya. Amien ya Rabb. Apakah kisanak semua masih ada pertanyaan?”

Ketujuh lelaki dewasa yang ada di hadapan Ustadz Taftayani saling berpandangan dan kemudian menggelengkan kepala.

“Baiklah. Nanti kita akan berkumpul kembali dalam pengajian berikutnya. Untuk saat ini saya cukupkan.Wassalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh.

Wa’alaikumussalam warahmatullahi wabarakatuh,” jawab semuanya.

Pengajian telah berakhir malam itu. Para prajurit ada yang beristirahat, ada pula yang bertugas jaga. Sedangkan dua senopati, sejumlah sesepuh, dan pimpinan pasukan lainnya bergabung di sebuah rumah yang cukup besar di bagian bawah Gua Selarong. Seperti yang dilakukan setiap malam, semuanya akan mendengar pemaparan perkembangan terakhir situasi Yogyakarta dan juga kraton dari para telik sandiatau mata-mata yang dikirim ke berbagai tempat. Pangeran Diponegoro akan langsung memimpin pertemuan tersebut. [] (Bersambung)

[1] Bendoro Raden Mas Mustahar atau Bendoro Raden Mas Ontowiryo atau Pangeran Diponegoro dilahirkan 11 November 1785. Ayahnya, Raden Mas Surojo atau yang kemudian dikenal sebagai Hamengku Buwono III dilahirkan pada 20 Februari 1769.

[2] Kalimat yang diucapkan Pangeran Diponegoro ini tertulis di dalam Babad Diponegoro jilid I hal.39-40.

[3] Menurut laporan Residen Belanda tahun 1805, Ustadz Taftayani yang berasal dari Sumatera Barat itu mampu memberikan pengajaran dalam bahasa Jawa dan pernah mengirimkan anak-anaknya ke Surakarta, pusat pendidikan agama pada waktu itu. Di Surakarta, Taftayani menerjemahkan kitab fiqih Sirat Al-Mustaqim karya Nuruddin Ar Raniri ke dalam bahasa Jawa. Ini mengindikasikan, Pangeran Diponegoro belajar Islam dengan serius. (Dr. Kareel A. Steenbrink, 1984, “Beberapa Aspek Tentang Islam di Indonesia Abad ke 19″, Penerbit Bulan Bintang, Jakarta hal. 29).