Kisah Sejarah Pangeran Diponegoro (8)

Orang pertama yang dikunjungi Diponegoro adalah Kiai Abdani dan Kiai Anom di Bayat, Klaten. Kedua kiai ini tidak saja menyatakan dengan tegas kesanggupannya untuk bergabung namun juga memberi Diponegoro tambahan ilmu bela diri. Dari Bayat, Diponegoro bersama Pangeran Mangkubumi melanjutkan perjalanan ke Sawit, Boyolali, untuk menemui Kiai Modjo, seorang Kiai kepercayaan Kanjeng Susuhunan Pakubuwono VI. Kiai Modjo pun mendukung penuh Pangeran Diponegoro. Lalu dengan diantar Kiai Modjo, Pangeran Diponegoro menemui Tumenggung Prawirodigdoyo di Gagatan. Tumenggung ini adalah orang kepercayaan Susuhunan Paku Buwono VI.

Dan atas saran Kiai Modjo dan Tumenggung Gagatan inilah, Pangeran Diponegoro pun menemui Paku Buwono VI, keponakan Diponegoro sendiri.

“Hampir semua ulama yang saya temui di sekitar Merapi, Dieng, Merbabu, Kulon Progo, dan lainnya, semua siap bergabung dengan Kanjeng Pangeran. Bukan saja para ulama, namun juga para pendekar dan jagoan-jagoan setempat. Mereka sudah muak dengan Belanda. Mereka hanya tinggal menunggu perintah dari Kanjeng Pangeran.”

Ustadz Taftayani mengangguk-angguk. “Alhamdulillah, ini perkembangan yang baik. Namun ketahuilah, jika perang yang akan kita lakukan ini adalah perang sabil, Jihad fi sabilillah. Perang yang semata-mata bertujuan untuk meninggikan kalimat Allah dan menghapuskan segala kezaliman. Sebab itu, kita harus mengaktifkan pengajian-pengajian di seluruh negeri, agar semua yang nantinya bergabung dengan kita memahami apa tujuan dan hakikat perang ini. Bagaimana Pangeran?”

Insya Allah, saya juga berpendapat sama. Kita akan memetik kemenangan. Tidak ada sedikit pun rasa takut dan cemas menghadapi hari esok bagi orang-orang beriman. Kematian adalah kepastian. Dan hanya orang-orang beriman dan tawakal yang kematiannya akan benar-benar indah. Insya Allah, Ustadz, dan juga yang lainnya, para senopati dan para ulama, mulai besok kita akan menggencarkan pengajian kepada semua orang yang bersedia bergabung dalam kafilah tauhid ini. Insya Allah..,” ujar Diponegoro.

“Lantas, bagaimana dengan Danuredjo, Kisanak?” tanya Ustadz Taftayani kembali kepada Suromenggolo.