Menjamak Shalat dan Tayammum di Pesawat Terbang

Assalamu’alaikum

Semoga ustadz sentiasa dalam lindungan Allah SWT.

Ustadz bagaimana cara sholat/ jamak sholat ketika berada dalam pesawat. Apabila perjalanan itu berangkat 10 pagi dan sampai di tempat tujuan dalam pukul 12 malam. Pesawat tidak transit di mana-mana.

Bagaimana cara wudhunya? Dl pesawat ada toilet, bisakah kita ambil dari situ, atau kita tayamum saja.

Apakah kita harus mengganti sholatyangkita jamak tersebut ketika kita sampai di tempat tujuan? Lalu kapan menggantinya, apakah saat sholat zuhur dan asar hari berikutnya.?

Terimakasih atas jawaban ustadz

Wassalamu’alaikum

Assalamu ‘alaikm warahmatullahi wabarakatuh,

Wudhu di Pesawat Terbang

Di setiap penerbangan komersial, bisa dipastikan ada toilet yang ada airnya. Kita bisa gunakan untuk berwudhu’, setidaknya untuk sekedar membasuh wajah, kedua tangan hingga siku, lalu menyapu sebagian kepala dan membasuh kedua kaki hingga mata kaki. Kewajiban atau rukun wudhu’ tidak lebih dari itu, juga tidak diwajibkan untuk melakukannya tiga kali. Karena hukumnya hanya sunnah.

Lain halnya bila anda naik helikopter, pesawat tempur atau pesawat khusus pengungsi, belum tentu dijamin ada toiletnya.

Selama masih ada air yang bisa digunakan untuk berwudhu’ dan jumlah air itu cukup, maka belum diperbolehkan mengganti wudhu’ dengan tayammum. Karena tayammum sifatnya darurat, yaitu bila tidak ditemukan air. Padahal di dalam penerbangan komersial, selain air di toilet, juga tersedia air minum untuk seluruh penumpang.

Walhasil, kalau mau tunduk kepada hukum fiqih yang baku, bertayammum di atas pesawat penerbangan komersial belum dibenarkan, karena air masih ditemukan. Kecuali buat orang sakit. Dalilnya adalah firman Allah SWT:

Dan jika kamu sakit atau dalam perjalanan atau kembali dari tempat buang air atau menyentuh perempuan, lalu kamu tidak memperoleh air, maka bertayammumlah dengan tanah yang baik.(QS. Al-Maidah: 6)

Mengganti Shalat di Tempat Tujuan

Ada sebagian pendapat di kalangan ulama yang masih menganggap bahwa shalat di atas kendaraan itu tidak sah. Lantaran hal itu tidak pernah dilakukan oleh Rasulullah SAW. Hadits tentang beliau SAW shalat di atas unta hanya terkait dengan shalat sunnah, bukan shalat wajib.

Padahal shalat wajib itu mengharuskan berdiri dan menghadap kiblat dengan benar. Sedangkan shalat sunnah boleh sambil duduk dan tidak ada kewajiban untuk terus menerus menghadap kiblat.

Maka para ulama itu menyebut shalat di perjalanan itu sebagai shalat lihurmatil wakti, yaitu shalat sekedar menghormati waktu shalat saja. Belum terhitung shalat yang sah dan menggugurkan kewajiban. Sehingga tetap ada kewajiban untuk shalat setibanya nanti.

Shalat itu disebut shalat qadha’, sesuai dengan kejadiannya di mana shalat dilakukan bukan pada waktunya. Waktunya menurut sebagian ulama adalah begitu tiba di tempat dan dimungkinkan untuk shalat dengan berdiri dan menghadap kiblat. Tidak harus menunggu waktunya sesuai dengan waktu shalat yang ditinggalkan. Karena tetap saja bukan waktunya.

Namun umumnya para ulama berpendapat bahwa shalat wajib di atas kendaraan tetap boleh, sah dan wajib dilaksanakan. Karena shalat itu sah, maka sudah gugur kewajibannya dan tidak perlu lagi diqadha’.

Adapun tentang tidak adanya contoh dari nabi Muhammad SAW tentang hal itu, mereka mengajukan sebuah riwayat yang menyebutkan bahwa beliau SAW pernah melakukannya.

Jadi kesimpulannya, masalah ini masalah khilafiyah yang masing-masing pendapat datang dengan dalil dan hujjahnya. Kita punya kewajiban moral untuk menghormati masing-masing pendapat itu, sebagaimana orang lain juga punya kewajiban moral untuk menghormati pendapat kita.

Selama masing-masing pihak saling menghormati dan bertenggang rasa, tidak merasa diri paling benar, tidak merasa orang lain harus dikalahkan, maka insya Allah kehidupan beragama kita semakin baik dan harmonis. Sebaliknya, kalau kita berpikiran sempit, picik, kaku dan tidak memberi ruang untuk berbeda pendapat, maka kehidupan beragama ini menjadi sumber malapetaka.

Semoga kita termasuk orang-orang yang mau mendengar nasehat dan mengikuti yang baik.

Wallahu a’lam bishshawab, wassalamu ‘alaikm warahmatullahi wabarakatuh,

Ahmad Sarwat, Lc