Shalat 'Iedul Adha di Hari yang Tidak Kita Yakini, Bolehkah?

Assalamu’alaikum Wr. Wb.

Saya adalah seorang muslim yang sebenarnya tidak mempermasalahkan tentang perbedaan hari ketika pelaksanaansholat pada Hari raya Iedul Fitri maupun Iedul Adha.

Namun, ketika suatu saat saya meyakini salah satu hari dari dua hari yang berbeda tersebut, ternyata situasilingkungan tidak mendukung untuk melaksanakan sholat tersebut. Hal tersebut berupa tidak adanya masjiddi sekitar rumah yang menyelenggarakannya. Semua masjid di sekitar rumah bersepakat untuk mengadakan keesokan harinya.

Permasalahannya di sini adalah, bolehkah saya sholat dikeesokan harinya padahal saya tidak meyakini hari tersebut? Tolong dijabarkan juga tentang hadits-haditsnya, pak. Dalam keadaan apa, keadaan tersebut di perbolehkan?

Jazakallah, Pak.

Wassalamu’alaikum Wr. Wb.

Assalamu ‘alaikum warahmatullahi wabarakatuh,

Shalat Iedul Adha hukumnya bukan wajib, melainkan sunnah muakkadah. Sehingga bila karena suatu hal seseorang tidak mengerjakannya, maka dia tidak berdosa.

Mengenai perbedaan pendapat penetapan jatuhnya tanggal 10 Dzulhijjah, sudah dijelaskan di situs ini berkali-kali. Intinya, kita boleh memilih yang mana saja dari kedua pendapat itu.

Namun pada saat memilih, kita perlu memasukkan satu faktor penting, yaitu faktor kebersamaan dengan masyarakat. Terutama faktor ini sangat penting untuk dipahami oleh para da’i yang ingin dakwahnya sukses di tengah masyarakat lingkungannya.

Kami teringat dengan kasus seorang teman da’i di masa lalu. Beliau mendirikan sebuah pesantren di tengah suatu daerah. Awalnya pesantren itu sangat didukung oleh masyarakat, banyak orang tua yang menitipkan anak mereka di sana.

Namun ada sebuah kesalahan fatal yang dilakukan oleh ustadz muda kita ini. Saat pemerintah mengumumkan Iedul Adha yang berbeda dengan Saudi Arabia, beliau mengadakan shalat Idul Adha dengan mengikuti waktu Saudi, sedangkan masyaratkan sekitar pesantren itu sangat tidak bisa menerima bila berbeda dengan keputusan pemerintah yang resmi.

Sayang seribu sayang, akhirnya semua orang tua memanggil pulang anaknya untuk pindah ke pesantren lain. Lalu pesantren itu pun bubar tidak punya santri. Dakwah yang sudah dirintisnya dengan susah payah, tiba-tiba harus sirna dalam sehari, hanya karena urusan khilafiyah konyol yang tidak jelas ujung pangkalnya.

Padahal kalau ustadz muda kita ini lebih luas wawasannya, tidak sekedar berijtihad sendiri yang terlalu yakin dengan ijtihadnya sendiri, tentu tidak harus ada tragedi seperti ini. Siapa yang mau disalahkan kalau sudah begini?

Shalat ‘Iedul Adha Tanggal 11 Dzulhijjah?

Sepanjang yang kami tahu, belum pernah sekali pun dalam hidup nabi SAW melakukan shalat ‘Iedul Adha tanggal 11 Dzulhijjah. Shalat ‘Iedul Adha yang sesuai sunnah adalah tanggal 10 Dzuhijjah.

Meski hanya shalat sunnah, tetapi seharusnya dikerjakan pada waktunya. Misalnya, shalat Dhuha itu hukumnya sunnah, tapi bukan mentang-mentang sunnah, lalu boleh dikerjakan setelah shalat Ashar. Shalat Dhuha seharusnya dikerjakan di waktu Dhuha’.

Demikian juga dengan shalat ‘Iedul Adha, meski hukumnya sunnah, tetapi waktu pengerjaannya hanya pada tanggal 10 bukan tanggal 11 Dzulhijjah.

Kalau kita meyakini bahwa tanggal 10 Dzulhijjah jatuh hari Rabu, maka logikanya shalat ‘Iedul Adha pada hari Rabu, bukan hari Kamis. Kalau hari Kamis ikut shalat ‘Iedul Adha, dalam versi ijtihadnya, hari Kamis adalah tanggal 11 Dzulhijjah. Tidak ada ajarannya dari Nabi bila kita shalat pada tanggal itu.

Kalau mau shalat ‘Iedul Adha hari Kamis, maka kita harus ikut ijtihad bahwa hari Kamis itu adalah tanggal 10 Dzulhijjah. Dan ijtihad seperti ini sama sekali tidak bisa disalahkan, karena punya dalil yang sangat kuat sebagaimana telah kami bahas sebelumnya.

Sikap Da’i dan Masalah Khilafiyah

Seorang da’i perlu berwawasan lingkungan ketika memilih mazhab fiqih dan mengambil hasil ijtihad. Intinya, mana yang sekiranya masih khilafiyah namun masyarakat cenderung memilihnya, tidak perlu dibentur-benturkan. Ikuti apa yang sudah dipilih oleh masyarakat secara mayoritas, selama memang masih ada dasar syariahnya, apalagi masih khilafiyah.

Tapi kalau semangatnya sekedar cari-cari perbedaan dengan masyarakat, padahal ada dua pilihan yang keduanya sama-sama kuat, bahkan perbedaan itu malah dijadikan komoditas, silahkan saja berbeda dengan masyarakat. Tentu saja resikonya tetap ada.

Seorang da’i yang cerdas tentu akan bisa paham dengan fiqih prioritas dan pandai membedakan mana yang sifatnya prinsip dan mana yang sifatnya khilafiyah. Da’i yang berwawasan tidak akan membela mati-matian hasil ijtihad orang lain yang tingkat kebenarannya masih nisbi.

Seorang da’i yang lurus hanya akan memperjuangkan hal-hal yang sudah qath’i hukumnya. Misalnya prinsip tidak ada tuhan selain Allah. Tapi kalau urusan khilafiyah, di mana umat terbelah dua sikapnya, lalu dia bela salah satunya bahkan dijadikan tema utama dan dibelanya mati-matian, terlalu konyol rasanya. Sementara ada resiko lain yang menghadang di depan.

Para da’i, dewasalah…

Wallahu a’lam bishshawab, wassalamu ‘alaikum warahmatullahi wabarakatuh,

Ahmad Sarwat, Lc