Syeikh Al-Albani dan Sifat Shalat Nabi

Assalamualaikum ustaz,

saya ingin bertanya beberapa soalan kepada ustaz.

Saya belajar di sebuah pusat tahfiz. Ustaz saya di sana mengatakan bahawa cara meletakkan tangan semasa sembahyang adalah di atas pusat tetapi saya telah membaca buku karangan Nashrudin Albani "Sifatu Solatin Nabi", mengatakan bahawa termasuk dalam sunnah nabi ialah meletakkan tangan di atas dada semasa solat.

Saya berasa sungguh konpius@keliru yang manakah patut saya ikut serta amalkan?

Saya berharap ustaz boleh menjelaskan secara terperinci….

Wassalam

Assalamu ‘alaikum warahmatullahi wabarakatuh,

Kedua-duanya sama-sama boleh diamalkan, karena keduanya punya dasar yang benar dari sunnah Rasulullah SAW. Bahwa Syeikh Nasiruddin Al-Albani mengatakan bahwa yang benar itu yang di atas dada, hanyalah pendapat beliau saja. Di mana beliau beranggapan bahwa hadits yang lebih kuat adalah yang di atas dada.

Namun hadits yang menyebutkan di atas pusat juga tetap bisa dijadikan landasan. Tidak berarti bid’ah atau salah.

Dan inilah yang dikatakan sebagai khilaf di antara para ulama. Masing-masing berhak untuk menguraikan pendapat serta hujjahnya. Namun selama suatu pendapat itu merupakan hasil ijtihad dari seorang ulama yang punya kapasitas dalam keilmuan, maka pendapat itu berhak diikuti.

Memang merupakan ciri khas Syeikh Al-Albani dalam berpendapat, yaitu punya gaya bahasa yang lugas. Sehingga banyak orang terpengaruh terhadap apa yang ditulisnya itu. Seringkali beliau menggunakan kata bid’ah dan yang sejenisnya, seolah-olah kalau tidak sesuai dengan ijtihad beliau semua lantas salah.

Padahal bukan maksud beliau untuk melakukan hal itu. Beliau hanya ingin bahwa tiap amalan itu punya landasan berdasarkan hadits-hadits yang shahih. Dan sebagai ulama yang banyak menulis tentang derajat suatu hadits, pandangan beliau lebih banyak didasarkan pada seberapa shahih suatu hadits. Bila ada dua hadits yang sekilas saling bertentangan, beliau pilih yng lebih kuat.

Ini merupakan salah satu ciri manhaj beliau yang menjadi ciri khas. Terkadang apa yang beliau komentari terhadap suatu hal yang dianggapnya punya kelemahan dari sisi sanad, memang terasa agak membuat merah telinga.

Tetapi anda jangan berkecil hati. Sebab biar bagaimana pun seorang Al-Albani juga berijtihad juga. Semua hadits yang dinilainya shahih, ada kemungkinan juga untuk tidak disepakati oleh ulama hadits lainnya. Bahkan dalam beberapa kasus, kita mendapati ketidak-kosekuenan beliau dalam menilai suatu hadits. Di satu kitab beliau mengatakan hadits itu shahih, tapi di kitab lainnya tidak.

Semua ini menunjukkan bahwa beliau berijtihad dalam menilai derajat suatu hadits. Dan mungkin saja hasil ijtihad beliau berubah seiring dengan berjalannya waktu. Dan mungkin saja sebagai manusia, beliau pun tidak luput dari kesalahan atau kealpaan.

Namun semua ini sama sekali tidak mengurangi ketokohan beliau sebagai ahli hadits, juga tidak perlu membuat kita menjadi berkurang rasa hormat dan ta’dzim kepada beliau.

Kita menghormati, menyayangi dan menghargai beliau sebagai seorang ulama besar di abad ini. Tidak ada yang salah bila kita menerima pendapat beliau, sebagaimana tidak salah juga bila pendapat ulama lain yang kita ikuti.

Wallahu a’lam bishshawab, wassalamu ‘alaikum warahmatullahi wabarakatuh,

Ahmad Sarwat, Lc.