Akankah DPR Mempertanyakan Amdocs?

Amdocs, a clear and present danger. Akankah DPR (dan partai berbasis massa Islam) mengambil tindakan?

Dalam rubrik analisa sebelumnya, Eramuslim sudah membuka sejelas-jelasnya identitas dan asal perusahaan Amdocs Ltd dari sumber-sumber dan dokumen-dokumen resmi pemerintah Amerika dan Israel. Sehingga memang jelas, shahih dan (mestinya) tak terbantahkan bahwa Amdocs Ltd adalah perusahaan Israel.

Bukti-bukti itu mematahkan pernyataan publik dari beberapa pejabat di Indonesia, setidaknya yang dicatat oleh berbagai media adalah direktur utama Telkomsel Sarwoto Atmosutarno dan menkominfo Tifatul Sembiring, dan tentu saja dubes AS untuk Indonesia Cameron Hume yang menyampaikan "klarifikasi" bahwa Amdocs adalah perusahaan Amerika.

Bahkan melalui wawancara yang dikutip dari Detikinet tanggal 22 Juli 2010, Sarwoto Atmosutarno menyatakan "Amdocs itu perusahaan besar bertaraf internasional, tentu saja kami sudah mengkajinya sebelum memilih mereka sebagai pemenang tender billing system kami,"

Menurut Sarwoto, kajian yang dilakukan pihaknya terhadap asal-usul Amdocs juga diperkuat surat pernyataan dari Kedutaan Besar Amerika Serikat di Jakarta, yang juga ditembuskan kepada Menkominfo Tifatul Sembiring.

"Jadi sekarang sudah very clear, Amdocs bukan dari Israel." ujar Sarwoto.

Sungguh aneh, kalau pemerintah Israel menyatakan Amdocs adalah perusahaan Israel, kalau pemerintah AS menyatakan Amdocs adalah perusahaan Israel (melalui dokumen-dokumen di Securities Exchange Commission), bahkan Amdocs sendiri menyatakan mereka berasal dari Israel, tapi pejabat penting di Indonesia malah bersikeras menyatakan Amdocs bukan perusahaan Israel. Sungguh patut dipertanyakan, ada apa?

Mungkin ada di antara pembaca bertanya-tanya, mengapa Eramuslim beberapa kali mengangkat masalah ini. Ada setidaknya empat alasan, pertama adalah masalah solidaritas dengan perjuangan rakyat Palestina. Israel jelas sebuah negara dan bangsa yang sebelumnya tidak ada di tempatnya sekarang. Pendirian negara Israel sendiri sarat dengan berbagai pelanggaran hukum dan HAM terhadap rakyat Palestina, mulai dari menggusur paksa pemukiman, mengusir, ethnic cleansing, menggunakan senjata kimia terlarang, dll. Adanya lebih dari 200 resolusi dewan keamanan PBB (kalau tanpa veto Amerika akan jauh lebih banyak lagi), yang rata-rata berisi pernyataan "deplore israel" atau "strongly condemn israel", terlepas bahwa resolusi itu menjadi macan ompong, cukuplah menjadi bukti bagi setiap manusia yang memiliki nurani, apapun agamanya, untuk bersimpati terhadap penderitaan dan perjuangan rakyat Palestina. Selain itu ada setidaknya lima resolusi dari sidang umum PBB yang bernada kurang lebih sama.

Kedua konsistensi dengan Quran dan Sunnah. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

إِنَّمَا الْمُؤْمِنُونَ إِخْوَةٌ

Orang-orang beriman itu sesungguhnya bersaudara. (Al Hujuraat: 10).

Sementara Rasulullah shallallahu alaihi wassalam bersabda:

مَثَلُ الْمُؤْمِنِينَ فِي تَوَادِّهِمْ وَتَرَاحُمِهِمْ وَتَعَاطُفِهِمْ مَثَلُ الْجَسَدِ إِذَا اشْتَكَى مِنْهُ عُضْوٌ تَدَاعَى لَهُ سَائِرُ الْجَسَدِ بِالسَّهَرِ وَالْحُمَّى

"Orang-Orang mukmin dalam hal saling mencintai, mengasihi, dan menyayangi bagaikan satu tubuh. Apabila ada salah satu anggota tubuh yang sakit, maka seluruh tubuhnya akan ikut terjaga (tidak bisa tidur) dan panas (turut merasakan sakitnya)" (HR Muslim)

Meskipun ada golongan minoritas non muslim di Palestina, mayoritas mereka adalah orang-orang beriman kepada Allah Ta’ala dan nabi shallallahu alaihi wassalam. Berarti mereka saudara seakidah mayoritas rakyat Indonesia. Idealnya, antara rakyat Indonesia dan rakyat Palestina ibarat satu tubuh, di mana kita akan merasakan sakit jika ada bisul kecil di kaki.

Ketiga konsistensi dengan konstitusi RI. Mukaddimah UUD 45 menjelaskan bahwa kemerdekaan adalah hak segala bangsa oleh karena itu maka segala bentuk penjajahan di muka bumi ini harus dihapuskan. Indonesia adalah negara yang mendapatkan kemerdekaannya melalui perang (bukan hadiah), pernah merasakan berada di bawah penjajahan dengan segala penghinaan seperti yang didapat bangsa Palestina sekarang. Kalau mau konsisten dengan konstitusi, selayaknya kita (paling tidak) bersimpati terhadap bangsa yang sedang mengalami nasib yang sama.

Keempat masalah keamanan nasional. Tidak adanya hubungan diplomatik dengan Israel, berarti Israel bukanlah sebuah negara sahabat, yang sama sekali tidak memiliki kewajiban menjaga etika hubungan bilateral dengan Indonesia. Fakta menunjukkan, dengan negara-negara sekutunya saja pun, Israel sanggup menipu atau menusuk dari belakang. Kita ambil contoh kasus pemalsuan paspor Inggris, Australia dan negara-negara sekutu Israel oleh agen-agen Mossad dalam kasus pembunuhan pimpinan Hamas Mahmoud al-Mabhouh di Dubai. Israel sanggup menipu negara sekutunya sendiri. Apalagi dengan Indonesia yang bukan sekutu, jauh lebih lemah dari sisi militer dan tidak ada hubungan diplomatik, tapi pada saat yang sama amat strategis sebagai negara berpenduduk muslim terbesar dunia. Sudah sering terdengar, salah satu ukuran kesuksesan kedubes Israel di Singapura adalah seberapa berhasil mereka "kontak" dengan Jakarta.

Untuk menolong langsung ke Palestina dengan jihad fisik, sudah amat sulit untuk dilakukan, terlebih dengan kondisi medan yang keras. Tanpa latihan militer yang memadai, pergi ke sana malah hanya akan merepotkan para pejuang yang ada di sana. Yang paling mungkin adalah dengan jihad harta. Tapi inipun tidak mudah, karena di Indonesia juga masih amat banyak bagian tubuh kaum muslimin yaitu para fuqara dan masakin yang juga harus dibantu, dan sesuai petunjuk Quran dan sunnah, kita harus terlebih dahulu membantu orang-orang terdekat.

Nah, dalam keadaan kita sulit membantu rakyat Palestina, atau hanya bisa membantu ala kadarnya saja, jangan pula sampai kita (entah sengaja atau tidak) membantu musuh rakyat Palestina. Dengan kata lain, sudahlah membantu tidak bisa, jangan pula membantu musuhnya.

Oleh karena itu, kita harus berusaha untuk tidak memberikan tambahan kekuatan ekonomi sebesar apapun terhadap Israel, (tentu) dalam batas kemampuan kita. Tidak bisa dipungkiri, Israel adalah salah satu pemimpin teknologi dunia saat ini, sadar atau tidak, kita sedikit banyak juga mungkin menggunakan teknologi mereka. Tapi ketidakmampuan kita untuk memboikot semua produk mereka, bukan berarti kita membiarkan semua produk itu bablas masuk begitu saja. Allah tidak membebani kita di luar kemampuan kita.

Kalau orang-orang di Amerika sendiri sudah mulai ada yang berani memboikot produk Israel, kalau orang-orang di Eropa sudah mulai memboikot produk Israel, semua karena simpati kepada perjuangan rakyat Palestina, apakah tidak memalukan kalau kaum muslimin Indonesia justru apatis dengan masalah ini?

Kalau produk itu berupa free software dan open source (seperti PHP), masih tidak masalah. Kita bahkan bisa mempelajari keunggulan pencapaian teknologi mereka, tanpa memberikan manfaat ekonomi langsung kepada mereka, kita juga tidak khawatir di dalamnya disisipkan spyware, karena kita mengetahui source codenya.

Kalau software-nya free dan bersifat closed source/proprietary, maka kita harus berhati-hati karena kita tidak tahu apa yang ada di dalamnya (tidak bisa melihat source codenya). Tapi jika softwarenya proprietary, berbayar pula, seperti Amdocs, maka sungguh amat celaka kalau kita menggunakan produk mereka, kecuali dengan alasan kedaruratan yang kuat, atau betul-betul tidak ada pilihan yang lain.

Pertama, kita memberikan manfaat ekonomi amat besar kepada musuh / pembantai rakyat Palestina. Seperti dilaporkan Gatra edisi Januari 2010, nilai proyek Amdocs di Telkomsel adalah sebesar 1.2 trilyun atau 120 juta dollar AS. Seandainya angka itu tidak akurat pun, tetap saja sebuah proyek billing system di perusahaan telekomunikasi sebesar Telkomsel tidak akan murah, tetap minimal dalam rentang puluhan juta dollar AS. Dengan pajak perusahaan sebesar 35% (di Israel), tinggal kita perkirakan saja berapa uang yang akan masuk ke negara Israel dari operator telekomunikasi terbesar Indonesia (per tahun 2009, 82 juta pelanggan), yang pelanggannya mayoritas saudara seakidah dari rakyat Palestina. Maka secara tidak sadar, berperanlah umat Islam di Indonesia dalam membantu Israel membiayai peluru untuk merobek tubuh saudara-saudara seakidahnya di Palestina. Na’udzubillah min dzalik.

Kedua, masalah keamanan nasional. Software billing system boleh dibilang salah satu jantung operasi sebuah operator telekomunikasi. Software ini yang membuat operator seperti Telkomsel bisa melakukan penagihan atau pengurangan pulsa bagi 82 juta pelanggan mereka. Software ini mencatat jam berapa sebuah call/sms dilakukan, kepada siapa, berapa lama, dari lokasi mana, dll. Ini adalah sebuah informasi yang amat berharga bagi siapapun yang ingin menyelidiki atau memata-matai.

Dengan teknik-teknik data mining tertentu, seorang engineer pada billing system bisa mengetahui pola-pola hubungan telekomunikasi di antara siapapun, siapa yang ditelepon oleh siapa, dst. Dengan cara ini, amat mudah bagi engineer Amdocs untuk mengetahui siapa yang sering dihubungi oleh seseorang, jam berapa, berapa lama, dst. Seperti yang sudah dijelaskan dalam dua rubrik analisa terkait Amdocs sebelumnya, seluruh pegawai Amdocs yang berkebangsaan Israel (terutama yang pria) adalah tentara Israel. Sebagian petinggi Amdocs bekas tentara Israel, atau pegawai pemerintah Israel, atau peneliti militer Israel.

Dengan begini, akan terbuka lebar akses buat kekuatan zionis Israel untuk masuk dan mengumpulkan informasi intelijen yang amat berharga, memata-matai komunikasi aktivis dakwah di Indonesia, tanpa repot-repot "menanam" agen (mungkin juga sudah mereka lakukan), tanpa repot-repot membuka hubungan diplomatik.

Membeli software proprietary billing system seperti Amdocs, tidak bisa disamakan dengan membeli software paket proprietary lain seperti Microsoft Office. Selain harganya yang jauh lebih mahal, dari waktu ke waktu customer Amdocs tetap akan memperoleh technical support langsung dari Amdocs. Ini dinyatakan sendiri oleh Amdocs di dalam laporan keuangannya, bahwa mereka menempatkan pegawai di berbagai negara di mana mereka memiliki customer. Technical support untuk software sepenting billing system, sering kali tidak semata hanya konsultasi teknis, tapi juga terkadang akses langsung oleh support engineer (dalam hal ini pegawai Amdocs), seperti untuk keperluan troubleshooting dan maintenance. Siapa yang bisa menjamin bahwa support engineer yang mungkin saja tentara cadangan Israel itu tidak memiliki "kepentingan lain" ketika men-support Telkomsel dan mengakses data-data billing record?

Jadi selain masalah solidaritas Palestina, ini adalah ancaman yang amat nyata – "a clear and present danger" – bagi keamanan nasional negara kita.

Semua itu terjadi ketika pemegang otoritas telekomunikasi Indonesia berasal dari partai berbasis Islam, Menkominfo Tifatul Sembiring yang selama ini juga dikenal sebagai da’i, membiarkan begitu saja perusahaan raksasa Israel menguasai jantung operasi operator telekomunikasi terbesar Indonesia (dan juga XL), dengan alasan Telkomsel berada di bawah menneg BUMN. Alasan itu memang betul, tapi jangan pula lupa, bahwa kekuasaan atas izin operasional sebuah operator telekomunikasi berada di bawah menkominfo, seperti yang pernah dijelaskan oleh humas kemenkominfo sendiri. Artinya, sebetulnya menkominfo memiliki wewenang untuk menghentikan proses masuknya produk ini ke Telkomsel sejak awal.

Padahal sudah banyak suara yang memperingatkan akan keisraelan perusahaan ini sejak tahun lalu, kalau mau tidak sulit membuktikan keisraelan perusahaan ini dari sumber-sumber resmi seperti yang sudah dilakukan Eramuslim. Tapi nasih sudah menjadi bubur, kita harus melihat ke depan, apa yang bisa kita lakukan.

Pagi ini melalui akun Twitternya, Tifatul Sembiring malah lepas tangan. Seorang netter bertanya "aslm pak tifatul sy mau konfirmasi ttg perushn pemenang tender telkomsel, bnr itu dr israel?"

Tifatul Sembiring menjawab "telkomsel dibawah telkom dibawah kemeneg bumn, mungkin infonya lebih banyak disana."

Padahal dalam rubrik analisa sebelumnya, Eramuslim mengutip pernyataan kahumas Kemenkominfo, Gatot S. Dewa Broto, yang menyatakan bahwa ada pelarangan menggandeng perusahaan asal Israel di industri telekomunikasi Indonesia seperti yang sudah diatur dalam Pasal 21 UU Telekomunikasi.

"Untuk kerja sama dengan perusahaan Israel sendiri sudah jelas dilarang karena mengancam keamanan. Jika ada yang melanggar sanksinya berat, bisa pencabutan izin," terang Gatot.

Sehingga "pembiaran" oleh Tifatul Sembiring dengan mempercayai begitu saja klarifikasi dari dubes AS, lalu melepas tangan dengan alasan itu di bawah Menneg BUMN, sama saja dengan "melegitimasi atau mengizinkan" perusahaan Israel beroperasi di Indonesia meskipun tidak secara langsung.

Selengkapnya pasal 21 UU Telekomunikasi (UU 36 Tahun 1999) yang dimaksud oleh Gatot S. Dewa Broto adalah sebagai berikut, "Penyelenggara telekomunikasi dilarang melakukan kegiatan usaha penyelenggaraan telekomunikasi yang bertentangan dengan kepentingan umum, kesusilaan, keamanan, atau ketertiban umum."

Dalam pasal 45 disebutkan bahwa melanggar pasal 21 bisa dikenakan sanksi administrasi. Dalam pasal 46 disebutkan bahwa sanksi administrasi adalah pencabutan izin setelah diberi surat peringatan.

Lalu siapa yang bisa memberi sanksi administrasi atau surat peringatan? Tentu saja menteri yang menjadi penanggung jawab, seperti dijelaskan dalam pasal 6, "Menteri bertindak sebagai penanggung jawab administrasi telekomunikasi Indonesia."

Siapa menteri yang dimaksud dalam pasal 6, ini dijelaskan dalam pasal 1 ayat 17, "Menteri adalah Menteri yang ruang Iingkup tugas dan tanggung jawabnya di bidang telekomunikasi.", tidak lain dan tidak bukan menteri Kominfo Tifatul Sembiring dari Partai Keadilan Sejahtera.

Tentu tidak mudah, bahkan mungkin bisa menimbulkan mudharat yang lebih besar, kalau izin operasi perusahaan sebesar Telkomsel dicabut. Telkomsel sudah terlanjur menjadi bagian dari "keseharian" sebagian masyarakat Indonesia. Tapi paling tidak, mestinya bisa dilakukan tindakan memberi surat peringatan, paling tidak menkominfo memiliki kekuasaan berdasarkan UU untuk menyelesaikan masalah ini. Pun ini tidak dilakukan oleh menkominfo. Malah dari fakta-fakta yang ada yang dinyatakan sendiri oleh Tifatul, beliau hanya pernah meminta klarifikasi dari Telkomsel, lalu menerima dan mempercayai penjelasan dubes AS, lalu belakangan jika ditanya akan "melempar bola" ke menneg BUMN, lalu hari ini malah terkesan lepas tangan ke menneg BUMN.

Sebuah website informasi politik alternatif Amerika malah lebih tegas mempertanyakan hal ini, dalam artikel pendek berjudul "Indonesia is about to install Amdocs billing systems that will allow this Israeli company to know everything that is going on in their government", website ini berkomentar: "Is the Indonesian Government stupid, or what! Amdocs is a Israeli owned company. Maybe their US subsidery is a US company, but they report to Israel. It has been reported that Amdocs has a back door that permits Israel to listen to every phone call from anyone once there software is installed."

Terlepas benar atau tidak adanya backdoor yang dimaksud oleh artikel itu, tapi Eramuslim sudah mengupas banyak tentang identitas perusahaan ini, dan potensi ancaman keamanan nasional, dan lepas tangannya menkominfo. Cukuplah semua informasi itu untuk membuat kita menjadi prihatin.

Eramuslim berharap, gerakan yang sudah mulai diperlihatkan di DPR untuk mempertanyakan masalah ini kepada pemerintah, tidak masuk angin. Mungkin tidak mudah, karena tender sudah usai, kemungkinan kontrak secara hukum sudah terjadi. Tapi akan ada selalu jalan keluar jika memang semua pihak memiliki political will, dan menyadari masalah ini. Kita mengharapkan para politisi dari partai berbasis massa Islam, masih memiliki jati diri sebagai bagian dari satu tubuh kaum muslimin. Bahkan kepada partai nasionalis pun, kita masih bisa mengharapkan, karena mereka bagaimanapun mayoritas kaum muslimin, yang mewakili mayoritas pemilih kaum muslim pula.

Eramuslim mengajak pembaca untuk berdiskusi dan membuka pikiran, apa tindakan yang mungkin dilakukan, apa implikasinya. (sd)

+++

Dengan ini rubrik dialog sebelumnya kami tutup, dan kami menyampaikan terima kasih atas perhatiannya, dan kami tetap mengharapkan partisiipasi dari para pembaca.