Gaji Besar Tidak Menghilangkan Korupsi

Selama ini orang berasumsi lahirnya korupsi yang berlangsung di birokrasi  Indonesia, akibat kecilnya gaji yang mereka terima. Sehingga perlu langkah kebijakan menaikan gaji pegawai negeri, yang tujuannya meningkatkan kesejahteraan mereka, dan tidak lagi tergoda melakukan korupsi.

Tetapi, sebuah diskusi yang diselenggarakan sebuah radio swasta di Jakarta, mengambil kesimpulan yang menegaskan, bahwa berapapun besarnya gaji pegawai negeri ternyata tidak menjamin untuk tidak korup. Berapapun besarnya gaji, jika mentalnya sudah bobrok (rusak), korupsi tetap akan terjadi. Peningkatan remunerasi (peningkatan) tunjungan seperti yang dilakukan Departemen Keuangan, sebagai cara reformasi birokrasi terbukti gagal.

Hal itu, disimpulkan oleh Rizal Ramli (mantan Menkeu), bahwa kenyataannya, paket remunerasi yang mengiringi reformasi birokrasi tidak berhubungan dengan perbaikan birokrasi dan pemberantasan korupsi. “Asumsi bahwa gaji naik akan meningkatkan kinerja ternyata tidak terjadi”, ucap Rizal. 

Sementara itu, Wakil Ketua Umum Partai Persatuan Pembangunan (PPP), Chozin Chumaidy, juga mengatakan, peningkatan remunerasi sebagai cara melakukan reformasi birokrasi telah gagal. Korupsi yang dilakukan Gayus Tambunan merupakan bukti nyata kegagalan methode itu”, ucapnya. Selanjutnya, masih menurut Chozin, reformasi birokrasi tidak hanya dapat dilakukan dengan memenuhi tingkat kesejahteraan aparatur pemerintahan saja. Hal yang lebih penting dilakukan adalah dengan mereformasi budaya aparat peemerintah dengan mengambalikan roh pengabdian dan jiwa kejuangan pada diri mereka. “Ini memang tidak mudah, tetapi harus terus menerus dilakukan sebagai pencerahan dan cuci otak bagi para aparatur pemerintah,” tambah Chozin.

Dibagian lain, Achsanul Qosasih (Partai Demokrat) menambahkan, “Jangan-jangan, kalau PPATK (Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan), lebih aktif menelusuri, bisa jadi ada banyak kasus seperti Gayus lainnya”, ucap Achsanul.

Sebenarnya, kasus mafia hukum di Markas Besar Polri, yang melibatkan pegawai Direktorat Jendral Pajak Kementerian Keuangan, Gayus HP Tambunan, berangkat dari suap. Dan, kasus Gayus Tambunan seperti puncak gunung es. Sogok dan suap itu sudah sistemik, dan meliputi hampir seluruh aparat penegak hukum di Indonesia. Bagaimana Gayus yang hanya pegawai Ditjen Pajak golongan III A, memiliki uang Rp 28 milyar, rumah mewah, apartemen, dan mobil mewah?

Seandainya pegawai Ditjen Pajak jumlahnya 32.000, lalu asumsinya 10 persen adalah 3.200, dan kalau bermental seperti Gayus, maka potensi kerugian negara, 3.200 dikalikan Rp 28 milyar, kira-kira akan mencapai Rp 89,6 triliun. Dan, seandainya dari 32.000 pegawai Ditjen Pajak itu, 80 persen bermental seperti Gayus, maka potensi kerugian negara, 25.600 dikalikan Rp 28 milyar, kerugian negara akan mencapai Rp 716,8 triliun.

Menanggapi kondisi seperti ini, Rektor Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah, Jakarta, menegaskan, maraknya korupsi, sogok dan suap, karena gaya hidup mewah para pejabat sulit dihilangkan. Gaya hidup mewah pejabat itu merupakan warisan Orde Baru. Selama pemerintahan Orde Baru, kata Komaruddin, para pejabat dimanjakan dan dilindungi. Pejabat diperbolehkan melakukan apapun, termasuk penyelewenangan, asal tetap loyal kepada penguasa. Pejabat yang loyal kepada penguasa pun akan dimanjakan dengan materi, sehingga mereka terbiasa hidup mewah, ucap Komaruddin.

Selanjutnya, masih menurut Komaruddin, asas pembuktian terbalik adalah upaya paling memungkinkan untuk menekan praktik korupsi atau suap di Indonesia. Kekayaan pegawai yang didapat, baik dari korupsi maupun suap, seharusnya bisa disita oleh negara.

Pembuktian terbalik itu terutama diberlakukan bagi presiden, wakil presiden, menteri, pemimpin badan usaha milik negara, Kepala Polisi, Jaksa Agung, Ketua Mahkamah Agung, da pejabat strategis lainnya. “Jadi, kalau pejabat memiliki rumah mewah, mobil mewah, dan kekayaan lain, harus siap menjelaskan dari mana mereka dapatkan (harta) itu”, tegas Komaruddin. (Kompas, 5/4).

+++

Kami mengharapkan pendapat,pandangan, dan sikap dari para pembaca. Sebelumnya kami menyampaikan terima kasih atas partisipasinya. Dengan ini rubrik dialog sebelum kami tutup.