Golput Pemenang Pemilu

Hasil rekapitulasi suara pemilu 2009 oleh KPU menunjukkan bahwa angka golput karena berbagai hal mencapai angka 67.187.657 orang (suara tidak sah digabung dengan masyarakat yang tidak memilih) dari total pemilih yang terdaftar sebesar 171.265.076 orang. Angka golput ini setara dengan 39,2 persen suara.

Angka 39,2 persen ini lebih besar dari gabungan perolehan suara partai-partai Islam yang mencapai hampir 30 persen. Atau, masih di atas 15 juta suara bila dibandingkan dengan gabungan antara Partai Demokrat, Golkar, dan PDIP.

Inilah perolehan angka golput terbesar sepanjang sejarah pemilu di Indonesia sejak tahun 1971. Daftar angka golput dari pemilu ke pemilu berikut ini setidaknya menguatkan hal tersebut.

• 1971 : 6.64 persen
• 1977 : 8.40 persen
• 1982 : 8.53 persen
• 1987 : 8.39 persen
• 1992 : 9.09 persen
• 1997 : 9.42 persen
• 1999 : 10.21 persen
• 2004 : 23.34 persen

Setidaknya ada 3 faktor utama meningkatnya Golput 2009, antara lain:

Karena hal teknis : Daftar Pemilih Tetap (DPT)
Salah satu tugas utama KPU dan Pemerintah adalah mensukseskan Pemilu 2009. Namun, ironisnya meski kita telah merdeka lebih 6 dekade dan telah menjalani reformasi lebih 10 tahun, masalah mekanisme pemungutan suara masih dipersulit oleh birokrasi. Banyak mahasiswa, buruh migran, dan warga pindahan yang seharusnya mendapat hak untuk memilih justru tidak difasilitasi dengan baik oleh KPU.

Lebih kurang 1 juta mahasiswa di perguruan tinggi, jutaan buruh migran beserta keluarganya di kota-kota, serta warga yang baru pindah tidak dapat memilih karena dipersulit dalam mengurus DPT.

Karena sikap apatis
Tidak sedikit masyarakat yang apatis terhadap Pemilu di negeri ini. Hal ini dikarenakan keyakinan mereka bahwa partai apa pun yang menang, kehidupan mereka tidak akan pernah berubah dan bahkan kehidupan mereka bertambah miskin atau dimiskinkan. Sehingga, golongan masyarakat ini lebih memilih bekerja daripada libur untuk mencontreng. Dan angka masyarakat apatis semakin tinggi, dikarenakan banyaknya politisi partai yang mementingkan kepentingan partai dan pribadinya daripada kepentingan rakyat. Ketika menjelang Pemilu, para petinggi partai gencar menghabiskan puluhan bahkan ratusan miliar untuk iklan janji dan janji. Namun ketika berkuasa, mereka asyik merekayasa kebijakan yang menghasilkan keuntungan partainya.

Karena alasan ideologis
Angka masyarakat yang golput dari ideologis tidak meningkat sepesat masyarakat apatis ataupun terkendala masalah teknis. Umumnya masyarakat golongan ideologis golput berasal dari kalangan cendekiawan level atas yang alasan sistem politik yang buruk hingga landasan religius. Kebobrokan dan skandal yang sering disiarkan media TV semakin menguatkan keyakinan ideologis rakyat ini yang mengatakan, “Memilih partai berarti memilih keburukan, karena tidak ada partai yang baik dan benar.”

Ada fenomena lain, perolehan suara golput yang begitu mencengangkan menunjukkan bahwa masyarakat yang mayoritas muslim ini tidak begitu menggubris seruan atau fatwa Majelis Ulama Indonesia tentang keharaman golput. Golput tetap menjadi pilihan mereka. Mereka juga tak dapat terlalu mengharapkan adanya perubahan kehidupan mereka dari hasil pemilu.

Bagaimana Dampaknya?
Besarnya angka golput akan mempengaruhi legitimasi pemerintahan yang akan datang. Karena, hasil pemilu ini akan menjadi indikator sikap rakyat terhadap pemilu yang menjadi salah satu bagian dari sistem demokrasi. Jika jumlah golput relatif besar (39.2 persen), dan tingkat kepercayaan rakyat rendah, bagaimana dampaknya terhadap sistem, dan anggota legislatif dan eksekutif mendatang?

+++
Redaksi mengucapkan terima kasih atas komentar para pembaca pada dialog sebelumnya. Semoga bermanfaat untuk kita semua.