Masihkah Dapat Berharap Kepada Mereka?

Pada 26 Februari 2009, Pimpinan Partai-Partai Politik menandatangani Deklarasi Antikorupsi di Gedung KPK. Senin malam, lima hari sesudah deklarasi, KPK menangkap Abdul Hadi Jamal, anggota Komisi V, dari Fraksi Partai Amanah Nasional (PAN). Jamal ditangkap bersama Darmawati, pegawai negeri sipil Bagian Tata Usaha Direktorat Jendral Perhubungan Laut Departemen Perhubungan, dan dari tangannya disita oleh KPK uang 80.000 dolar dan Rp 54 juta. (Kompas 4/3/2009)

Pada 5 Desember 2007, KPK menahan mantan anggota DPR dari Fraksi Reformasi, Noor Adenan Razak, karena menerima Rp 1.5 milyar dalam kasus pengadaan tanah.

Pada 19 Maret 2008, Saleh Djasit, anggota Komisi VII dari Fraksi Golkar (FPG), ditangkap KPK, karena terlibat kasus pengadaan mobil pemadam kebakaran senilai Rp 4.7 milyar saat menjabat gubernur Riau.

Pada 9 April 2008, Al-Amin Nur Nasution, anggota Komisi IV dari Fraksi PPP, ditangkap KPK di Hotel Ritz Carlton, Jakarta, pukul 0.2.00 dini hari, karena menerima suap alih fungsi hutan lindung di Bintan, Kepulauan Riau, uang yang dijanjikan Rp 3 milyar.

Pada 17 April 2008, Antony Zeidra Abidin dan Hamka Yandhu, keduanya mantan Komisi IX dari Fraksi Golkar (FPG), ditangkap KPK, dan keduanya diduga terlibat kasus aliran dana BI sebesar Rp 31.5 milyar. Antony waktu itu masih menjabat wakil gubernur Jambi.

Pada 2 Mei 2008, Sarjan Taher, anggota Komisi IV, dari Fraksi Demokrat, ditangkap KPK terlibat kasus yang sama dengan Al-Amin Nur Nasution.

Pada 30 Juni 2008, Bulyan Royan, anggota Komisi V dari PBR (Partai Bintang Reformasi), tertangkap tangan di Plaza Senayan, Jakarta. Di tasnya, KPK mendapati uang uang 60 ribu dolar AS dan 10 ribu Euro, kasus ini terkait dengan pengadaan kapal patrol di Ditjen Perhubungan.

Pada 16 Juli 2008, Yusuf Amir Faisal, mantan Ketua Komisi IV, Fraksi FKB di tahan KPK, karena terlibat dalam kasus alih fungsi hutan lindung Tanjung Api-Api, Sumatra Selatan.

Pada 26 Agustus 2008, Agus Tjondro, anggota Komisi XI, dari FPDIP, ke KPK melaporkan dokumen aliran dana untuk pemilihan deputi gubernur BI, Miranda Gulton. Agus mengaku menerima uang Rp 500 juta. Tapi, kasus ini tidak dilanjutkan oleh KPK.

Sekarang, 2 Maret 2009, KPK menangkap Abdul Hadi Jamal, anggota Komisi V, Fraksi Reformasi, menerima uang suap 80.000 dolar Amerika,dan Rp 54 juta. (Republika 4/3/2009)

Dalam setiap persidangan di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi selalu muncul petunjuk bahwa praktik suap/korupsi itu selalu melibatkan anggota DPR lainnya. Mengapa pemberantasan korupsi yang begitu massif sama sekali tidak menimbulkan efek jera?

Padahal, salah satu fungsi DPR adalah sebagai alat kontrol terhadap pemerintah dan negara. Kenyataannya, DPR sangat lemah dan mudah disuap dan menerima suap. Sehingga, bukan hanya merugikan negara, tapi dapat menghancurkan masa depan kehidupan bangsa. Harapan terwujudnya ‘good governance’ (pemerintahan bersih) hanya menjadi utopis.

Apalagi, konon pemilu kali inipun, budaya ‘money politict’ (politik uang), masih menjadi sebuah gejala umum. Jika kondisi seperti itu, masihkah kita dapat berharap dengan anggota legislative yang akan datang?
***
Dengan ini rubrik dialog sebelumnya ditutup. Redaksi menyampaikan terima kasih atas partisipasi dan perhatiannya.