Menunaikan Amanat : Kekuasaan dan Jabatan

Ketika Nabi Shallahu Alaihi Wa Sallam membebaskan kota Makkah, dan menerima kunci-kunci Ka’bah dari Bani Syaibah, kunci-kunci tersebut diminta oleh Al-Abbas supaya berhimpun padanya, dan antara kemuliaan tugas memberi minum korang yang haji dan juru kunci Baitullah, kemudian Nabi menyerahkan kunci-kunci tersebut kepada Bani Syaibah. Karena itu, wajib atas pemimpin supaya mengangkat untuk semua tugas dari tugas-tugas umat Islam, orang yang paling layak (ashlah) untuk tugas tersebut.

Nabi Shallahu Alaihi Wa Sallam, bersabda :

“Barangsiapa memimpin sesuatu dari urusan umat Islam, lalu ia mengangkat seseorang padahal ia melihat ada orang yang lebih layak daripadanya, maka ia telah mengkhianati Allah dan Rasul-Nya”.

Dalam riwayat lainnya, Nabi Shallahi Alaihi Wa Sallam, bersabda :

“Barangsiapa mengangkat seseorang pada suatu jabatan padahal dia melihat pada jabatan itu ada orang yang lebih diridhai Allah daripadanya, maka dia telah mengkhianati Allah dan Rasul-Nya serta kaum beriman”. (HR, Al-Hakim dalam al-Musdharak).

Ibnu Umar meriwayatkan bapaknya, bahwa Umar Ibn Khaththab RA, berkata,

“Barangsiapa memimpin urusan umat Islam, lalu ia mengakat seseorang karena mawaddah (hubungan kasih sayang/kedekatan) atau karena hubungan kekerabatan diantara keduanya, maka ia telah mengkhianati Allah dan Rasul-Nya serta umat Islam”.

Maka, ketika Umar Ibn Khaththab, wajib mencari orang yang berhak mengisi berbagai jabatan, sebagai wakilnya untuk ditempatkan di berbagai negeri, seperti gubernur, yang merupakan wakil penguasa, qadhi, panglima pasukan, pejabat yang mengurusi harta negara (para menteri), pencatat, penjaga, pegawai pemungut pajak dan zakat serta harta-harta milik umat Islam lainnya.

Untuk semua tingkatan jabatan diangkat dan dipilih orang yang dilihatnya paling layak dan tepat. Bahkan, para imam shalat, muadzin, pembaca (al-Qur’an), pengajar, amir haji, pos, intelijen, penjaga harta negara, penjaga beteng, para pengawal beteng dan kota, kepala regu pasukan besar dan kecil, kepala suku, dan kepala desa.

Setiap orang yang memimpin urusan umat Islam, adalah orang paling kompeten (ahli/mengerti) untuk jabatannya. Umar RA tidak boleh mendahulukan seseorang, karena ia meminta jabatan, atau lebih dahulu meminta, bahkan karena itu menjadi faktor untuk ditolak.

Nabi Shallahu Alaihi Wa Sallam bersabda :

“Sesungguhnya kami tidak menyerahkan urusan kami ini kepada orang yang memintanya dan tidak pula pada orang yang berambisi mendapatkannya”.

Beliau berkata Abdurrahman bin Samurah :

“Wahai Abdurrahman bin Samurah, janganlah meminta jabatan. Sebab jika kamu diberi jabatan itu dengan meminta, maka bebannya diberikan kepadamu, sedangkan jika kamu diberi jabatan tanpa meminta-minta niscaya kamu akan ditolong”. (HR. al-Bukhari dan Muslim).

Selanjutnya, Beliau bersabda :

“Barangsiapa yang mencari jabatan qadhi (hakim) dan meminta bantuan supaya memperolehnya, maka semua itu diserahkan kepadanya, dan barangsiapa yang tidak meminta jabatan hakim dan tidak meminta bantuan supaya memperoleh jabatan itu, maka Allah menurunkan kepadanya malaikat yang menuntun langkahnya”. (HR. Ahlus Sunan).

Apabila jabatan itu diberikan bukan kepada orang yang lebih berhak dan lebih berkompeten, tetapi diberikan kepada selainnya, karena faktor kekerabatan diantara keduanya, karena faktor persahabatan (mawali), kesamaan negeri (suku), mazhab (ideologi), karena suap yang diterima darinya, baik berupa harta atau manfaat, atau sebab-sebab lainnya, atau karena kedengkian dalam hatinya kepada orang yang lebih berhak (menduduki jabatan), atau karena permusuhan diantara keduanya, maka ia telah mengkhianati Allah dan Rasul-Nya serta orang-orang beriman.

Allah berfirman :

“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengkhianati Allah dan Rasul (Muhammad) dan (juga) janganlah kamu mengkhianati amanat-amanat yang dipercayakan kepadamu, sedang kamu mengkhianati amanat-amanat yang dipercayakan kepadamu, sedang kamu mengetahui. Dan ketahuilah, bahwa hartamu dan anak-anakmu itu hanyalah sebagai cobaan, dan sesungguhnya disisi Allah-lah pahala yang besar”. (al-Anfal : 27-28)

Itulah prinsip-prinsip di dalam Islam, yang menjadi mabadi’ bagi para pemimpin yang memilih, orang-orang yang akan melaksanakan amanah.

Kemudian, di era modern ini, seperti sekarang ini, di mana kekuasaan/jabatan itu diperebutkan oleh berbgai golongan, kelompok, partai dan organisasi, dan bahkan mereka terang-terangan meminta jabatan, dan kemudian dikenal dengan ‘power sharing’ (pembagian kekuasaan), serta dikenal dengan : siapa mendapatkan apa.

Tanpa memperhatikan kompetensi/sikap amanah, dan jabatan itu dibagi-bagi berdasarkan kedekatan (partai/ideologi/kekerabatan, kronisme), kemudian muncul berbagai kemelut, yang merusak sistem kehidupan, yang berdampak sangat luas bagi rakyat, dan terjadi KKN (Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme), sebagai penyakit yang sangat akut bagi bangsa, serta merusak masa depannya.

+++

Kami mengharapkan tanggapan, pendapat dan sikap dari para pembaca. Kemudian, rubrik dialog sebelumnya tutup.