Adakah Pemerintah Berbohong?

Bermula dari laporan Sidang Kabinet di bidang Ekuin, yang menyajikan berbagai keberhasilan pemerintah, termasuk menurunnya angka kemiskinan, di tahun 2010, yang berlangsung di Istana Bogor. Namun, laporan dari Sidang Kabinet di bidang Ekuin itu yang dipimpin Presiden SBY itu, diragukan kebenaranannya.

Kemudian, beberapa media memberikan sikapnya atas keberhasilan pemerintah, terutama dibidang Ekuin, dan mengurangi angka kemiskinan. Hal itu diantara seperti yang dikungkap tajuk Kompas, Rabu, 12 Januari 2011, dengan judul “Kritik atas Kebohongan Publik”. Diantara bunyi tajuk itu, “Begitu liat-rakusnya kekuasaan sampai kebenaran data pun dinafikan. Kebohongan demi kebohongan dilakukan (pemerintah) tanpa sadar sebagai bagian dari praksis kekuasaan tidak prorakyat”, demikian tulis tajuk ini.

Tak hanya Kompas yang mengkritik pemerintah melalui tajuknya, tetapi juga tajuk Media Indonesia (MI), tanggal yang sama, mengkritik pemerintah denghan judul pedas “Kritik Keras Tokoh Agama.” MI menulis, “Sudah terlalu banyak kebohongan yang dilakukan pemerintah atas nama rakyat”, tulis media itu.

Memasuki tahun 2011, pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) mendapat sambutan dari kalayak, terutama yang diwakili oleh media dengan kritik yang tajam. Media yang mewakili kepentingan-kepentingan publik telah melontarkan kritikannya yang tajam terhadap pemerintahan yang dipimpin oleh Presiden SBY, selama 2010 yang lalu.

Kalangan partai oposisi, pidato Ketua Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP), Megawati Soekarnoputri, pada perayaan ke-38 harlah PDIP, menyatakan dengan tegas bahwa pemerintahan “SBY-Boediono Pamer Keberhasilan Semu.” Bahkan, dalam pidatonya, Megawati juga mengatakan, "Pemerintahan SBY gagal, meningkatkan kesejahteraan rakyat", ujar Mega.

Selain kecaman Megawati, pemerintahan SBY juga diberi kritik pedas oleh sejumlah tokoh lintas agama Indonesia. Pertemuan tokoh lintas agama yang digagas tokoh Muhammadiyah, Syafii Maarif, pada Senin (10/1/) mengeluarkan kecaman keras terhadap sikap tidak JUJUR alias suka BEBOHONG yang dipertontonkan pemerintahan SBY selama ini. Pemerintah SBY dinilai tidak komitmen dalam persoalan mendasar bangsa ini, seperti penegakan hukum, pemberantasan korupsi, masalah tenaga kerja Indonesia, dan peningkatan kesejahteraan rakyat.

Ada sembilan tokoh agama dalam pertemuan itu, yakni Syafii Maarif, Andreas A. Yewangoe, Din Samsudin, Uskup D. Sitomorang, Biksu Pannyavanro, Salahuddin Wahid, I NyomanUdayana Sangging, Franz Magnis-Suseno, dan Romo Benny Susetyo. Para tokoh masyarakat ini adalah reprensentasi publik. Apa yang mereka suarakan adalah sikap sesungguhnya dari masyarakat. Itu sebab, apa yang mereka utarakan adalah hal serius yang sejatinya dipandang penting oleh pemerintah SBY.

Jatuhnya Soerharto mestinya menjadi pelajaran penting pemerintah SBY, khususnya dalam melihat sikap kritis para pemuka agama. Menjelang diturunkan paksa pada tanggal 21 Mei 1998, Soeharto terlebih dahulu kehilangan legitimasi kepemimpinannya di mata tokoh agama (tokoh masyarkat) pada waktu itu.

Setelah para tokoh masyarakat menarik dukungannya, Soeharto pun langsung dipaksa mundur. Kondisi itu menghantui posisi SBY hari-hari ini. Menurut data Lingkaran Survei Indonesia (LSI), dari tahun ke tahun kepercayaan publik terhadap kepemimpinan SBY kian merosot, dan itu pun tercermin dari gugatan para tetua publik kita itu. Jika tidak berhati-hati, posisi SBY akan kian mirip dengan Soeharto.

Seruan bersama tokoh agama ini memang masih sebatas panggilan moral-etis. Namun, gerakan masif massa bisa dimunculkan dari seruan itu. Apalagi apa yang mereka wacanakan adalah persoalan mendasar, yakni soal ketidakpercayaan, akibat kebohongan. Nalar mana yang mau untuk terus dibohongi? Adalah naif bagi siapa saja untuk terus dipimpin oleh mereka yang suka bebohong, bahkan suka menipu?

Kita tau bahwa para tokoh agama di atas adalah wakil dari umat, yang sekaligus adalah masyarakat pemilik hak kekuatan politik. Kita juga patut ingat, bahwa bangsa ini masih sangat kental dengan nilai-nilai keagamaan, dan berimplikasi kepatuhan pada tokoh agama. Sikap abai terhadap seruan mereka adalah kesalahan yang pasti fatal.

Tajuk Kompas dan Media Indonesia telah mengantarkan publik, dan terutama Presiden SBY, untuk sungguh-sungguh memerhatikan seruan moral dari para “wakil rakyat” atau pemuka masyarakat itu.

Jika SBY masih terus ingin bertahan memimpin negeri ini, maka seruan dan kritik tokoh agama, termasuk Megawati harus diterima dengan penuh ‘kesadaran’, dan mulai bersikap jujur dalam berkebijakan. Pengalaman turunnya Soeharto adalah cerita pahit.

Sebagai contoh tentang adanya kebohongan, Presiden SBY, mengatakan, pada sidang kabinet, 7 Oktober 2010, Presiden SBY menyatakan akan mengeluarkan inpres dan perpres tentang penghementan anggaran, khususnya belanja perjalanan pada APBN dan APBD, nyatanya dari tahun ke tahun, terus naik. Anggaran APBN tahun 2011, belanja perjalanan naik menjadi Rp 24,5 triliun. Ini fakta pemerintah berbohong, ujar Yuna Farhan dari Fitra (Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran).

+++

Dengan ini rubrik dialog sebelumnya kami tutup, dan kami menyampaikan terima kasih atas partisipasi para pembaca.