Uang Mahar Pilkada

Seperti sebuah trend baru, partai-partai politik sibuk menjajakan tiket pencalonan calon kepala daerah. Dengan tiket ini, siapa pun bisa maju menjadi calon kontestan yang akan berebut di ajang pilkada. Syaratnya tergolong mudah, siapkan uang, maka partai penjual akan menyiapkan tiket ke babak pilkada. Siapa saja, tua, muda, lintas agama dan ideologi, orang baik atau koruptor, termasuk artis ‘hot’. Sekali lagi, yang penting harga cocok.

Inilah trend baru di era reformasi saat ini. Alih-alih partai bisa memproduksi calon-calon pemimpin yang kredibel untuk memberikan pelayanan kepada rakyat, justru, semua partai sibuk berjualan tiket.

Hal ini sudah dipahami semua calon kontestan dan partai yang akan mengusung sang calon. Tidak heran jika menjelang pilkada, gerilya makelar calon begitu gencar. Seperti di Jember misalnya, seorang calon bisa dipertemukan oleh partai pengusung dengan tarif di atas 2 milyar rupiah. Itu tidak langsung jadi, karena partai akan melelang harga. Siapa yang berani bayar lebih mahal, dialah calonnya.

Ada dua tiket yang ditawarkan, menjadi orang nomor satu, atau nomor dua. Tentu, harga pada dua posisi itu berbeda. Karena kekuasaan yang bisa diraih pun jelas akan berbeda.

Kalau partai pengusung tidak cukup kuat mengusung sang calon sendiri, maka uang tiket akan dibagi-bagi ke partai lain yang lebih rendah kekuatannya untuk bisa memenuhi syarat pencalonan.

Harga tiket berbeda-beda tergantung pada ‘basah kering’nya daerah yang akan diperebutkan. Untuk Jakarta misalnya, tarif bisa mencapai lebih dari seratus milyar rupiah. Untuk daerah tingkat satu, berbeda harganya dengan daerah tingkat dua.

Kalau uang mahar dirasa tidak cukup, maka partai akan mengkompensasi dalam bentuk proyek di daerah tersebut setelah sang calon menang. Tentunya, proyek bukan atas nama partai, tapi atas nama elit atau kroninya di partai yang bersangkutan.

Untuk mengungkap jual beli tiket atau yang biasa disebut mahar ini memang tidak mudah. Karena transaksi tidak melalui perbankan. Tapi, cash atau tunai. Uang diserahterimakan dalam bentuk fisiknya yang utuh. Bisa dengan tas koper, karung, kantong plastik, dan lain-lain. Satu hal lagi, tidak ada bukti tanda terima. Semua berdasarkan kesepakatan tidak tertulis.

Inilah rahasia umum yang terjadi di semua partai politik saat ini ketika pilkada, pemilu akan dimulai. Para elit partai pun akan senyum lebar.

Mereka pun seperti bersuara kompak, kalau saja kaderku tahu betapa nikmatnya ajang pilkada, tentu, mereka akan memohon agar pilkada setiap hari.

Karena untuk dua tahun ini saja, tidak kurang 300 pilkada akan digelar. Itu artinya, hampir setiap hari ada pilkada. Asyik! mnh
**

Redaksi mengundang pembaca untuk menyampaikan pendapatnya pada tema edisi Dialog kali ini. Semoga masukan bisa bermanfaat untuk kita semua.