Saatnya Kembali ke Fitrah, Saatnya Untuk Berhenti Sejenak

Satu hal yang pasti menjangkiti hati seorang hamba yang mukmin ketika sang “Tamu Agung” akan segera meninggalkan kehidupannya. Rasa sedih, penyesalan, dan harapan bercampur-aduk menjadi satu. Berbeda dengan kebanyakan orang-orang biasa yang hanya memaknai hadirnya Ramadhan sebagai Tamu Agung dengan biasa-biasa saja, bahkan tidak dianggap dan dibairkan sama sekali.

Di dalam hati hamba-hamba Allah yang mukmin pastilah meninggalkan noktah dalam hatinya kala Ramadhan akan segera meninggalkan jenak kehidupannya. Noktah itu merupakan hasil dari penempaan, hasil dari tarbiyah, hasil dari pembiasaan di madrasah Ramadhan ini. Dan, noktah itu adalah sebuah kerinduan yang menyangat untuk senantiasa dekat dengan rahmat, dan maghfiroh-nya Allah ta’ala. Sedih rasanya bagi orang-orang mukmin ketika Ramadhan akan usai, dan yang ada adalah rasa harap untuk dapat dan segera menemui Ramadhan yang mendatang. Itulah mengapa, kerinduan yang menyangat itu benar-benar membekas di dalam benak orang-orang mukmin.

Ramadhan adalah bulan yang penuh dengan kebarokahan. Dari awal bulan hingga akhir bulan, Allah ta’ala menjanjikan pelipat-gandaan pahala yang melimpah ruah. Dan, masya Allah, Ramadhan di tutup dengan adanya hari istimewa bagi umat Islam. Hari raya Ied al-Fithri. Hari raya Ied al-Fithri mengajarkan kepada kita akan konsepsi kembali ke fitrah bagi seorang muslim. Kembali ke fitrah berarti kembali suci seperti seorang bayi yang baru lahir dan serta merta tidak memiliki dosa sama sekali. Kembali ke fitrah karena telah dihapuskan dosa-dosa seorang hamba, setelah satu bulan di tempa dalam madrasah tarbiyah Ramadhan. Kembali fitrahnya seorang hamba ini diperkuat oleh kewajiban bagi hamba tersebut untuk kemudian mengeluarkan zakat fithrah – bagi yang mampu – di bulan Ramadhan ini guna membersihkan harta seorang hamba.

Hari raya ied seperti titik terminasi bagi diri seorang hamba dalam menjalani kehidupannya. Mengapa demikian ?. Setidaknya ada beberapa hal yang memperkuat mengapa Hari raya Ied disebut sebagai titik terminasi dalam kehidupan manusia, sebagai momentum untuk berhenti sejenak, diantaranya adalah :

1. Hari raya Ied sebagai puncak keberhasilan Ramadhan dan permulaan keistiqomahan setelah Ramadhan

Ramadhan memberikan arti penting bagi seorang hamba, untuk senantiasa mendekatkan diri pada Illahi. Perintah untuk melaksanakan kewajiban dari Rabb-nya, di laksanakan dengan penuh sukacita, bahkan ibadah sunnah sekalipun, terjadi lonjakan kuantitatif dan kualitatif daripadanya. Biasanya seorang hamba di awal Ramadhan, bahkan sebelum menginjakkan kaki di bulan Ramadhan, membuat semacam planning, target amalan yang akan dikerjakan selama bulan mulia ini. Dari mulai target-target ringan seperti rutin mengikuti shalat tarawih, hingga target berat seperti menghafal ayat-ayat quran ataupun hadist.

Sudah sewajarnya seorang hamba menginginkan untuk mendapatkan kebaikan di akhir Ramadhannya. Seorang hamba pastinya ingin melewatkan Ramadhannya dengan khusnul khatimah . Oleh karena itu yang dibutuhkan adalah keistiqomahan dalam melaksanakan amalan-amalan yang sudah di targetkan maupun yang belum sekalipun.

Keistiqomahan yang dibangun tidak hanya berujung pada akhir Ramadhan saja, akan tetapi keistiqomahan itu dapat tetap bertahan hingga bertemu dengan Ramadhan di kesempatan berikutnya. Oleh karena itu Hari raya layaknya sebagai tempat pemberhentian sejenak, setelah berhasil menorehkan prestasi-prestasi amal di satu bulan Ramadhan dan segera siap kembali untuk melanjutkan kehidupan penuh prestasi amal di sebelas bulan berikutnya.

2. Hari raya Ied sebagai momentum kontemplasi dan evaluasi diri
Banyak dari hamba Allah yang kemudian memandang Hari raya hanya sebagai momentum perayaan tanpa ada pemaknaan-pemaknaan yang itu sebenarnya menjadi sangat penting bagi kelangsungan hidup manusia untuk menapaki kehidupan di masa mendatang. Tiada gading yang tak retak, semboyan inilah yang sejatinya melabeli manusia sebagai makhluk yang padanya terletak kesalahan-kesalahan yang itu tak dapat dihindarinya, bahkan seorang yang dianggap sholeh sekalipun, pasti tidak akan luput dari yang namanya kesalahan.

Oleh karena itu sangatlah penting bagi seorang hamba untuk dapat melihat kebelakang sejenak atas apa yang telah dilakukannya selama ini.

“Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan hendaklah Setiap diri memperhatikan apa yang telah diperbuatnya untuk hari esok (akhirat); dan bertakwalah kepada Allah, Sesungguhnya Allah Maha mengetahui apa yang kamu kerjakan.’’(Q.S. Al-Hasyr 18)

Manusia di minta untuk memperhatikan apa yang telah dilakukannya untuk hari esok. Seorang hamba pada titik ini sepantasnya dapat mengevaluasi diri akan apa yang telah dilakukannya selama Menjalani Ramadhan, melihat kemudian apakah Ramadhan sudah dilaluinya dengan kegemilangan pencapaian amalan ataukah, jauh dari pada itu, banyak yang perlu di penuhi hingga akhir Ramadhan. Berhenti sejenak untuk melihat kebelakang untuk pengambilan intisari hakikat pembelajaran dari apa yang telah terjadi di masa lampau.

3. Hari raya Ied sebagai momentum perencanaan masa depan
Hari Ied tidak hanya sebagai saat-saat untuk melihat ke belakang saja. Akan tetapi juga merupakan saat yang tepat untuk mempersiapkan masa depan, mempersiapkan segala sesuatu yang akan seorang hamba lakukan ke depan. Bisa jadi seorang hamba telah mencanangkan jalur kehidupan yang akan ditempuhnya kelak, dan momen pemberhentian sejenak ini dapat seorang Hamba Allah gunakan sebagai momentum rearrange atasa apa yang telah di rencakannnya, mungkin saja dari beberapa poin perencanaan ada yang tidak sesuai dengan realitas pribadi, mungkin karena ketidaksanggupan yang itu di pengaruhi oleh faktor internal dari dalam diri seorang hamba, maupun faktor eksternal yang itu berasal dari lingkungan sekitar yang boleh jadi itu menghambat tercapainya ekspektasi.

Momentum Ied bisa jadi memberikan inspirasi bagi seorang hamba dalam mendesign masa depannya. Kesempatan bersilaturahim dengan banyak orang dan mendapakan banyak petuah-petuah dari sesepuh. Mungkin, beberapa dari kita memandang itu sebagai hal yang biasa terjadi ketika Hari Raya, akan tetapi seorang yang cerdas melihat kesempatan pastinya akan jauh memberikan pemaknaan akan hal sederhana itu. Mereka dapat menggali pengalaman dari para kerabat yang lebih tua, mendengarkan cerita tentang cita-cita polos dari adik-adik kecil mereka. Saatnya di momentum Ied untuk seorang Hamba untuk memvisualisasikan mimpi untuk selanjutnya di-ikhtiar-kan agar menjadi kenyataan.

4. Hari raya Ied sebagai momentum pencanangan tekad
Perencanaan yang matang di momentum Hari Raya belumlah lengkap ketika belum disertai dengan tekad kuat membaja yang itu menyelimuti perencanaan-perencanaan yang sudah sedemikan rupa dirancang. Tekad, saat ini benar-benar dibutuhkan. Tanpa adanya tekad yang kuat maka perjalanan menuju ekspektasi itu seakan-akan berat dan penuh dengan gangguan-gangguan yang padahal itu tidak sepatutnya dipikirkan terlampau besar, sehingga berdampak pada probabilitas akan ketercapaian suatu perencanaan akan mengecil.

Tekad di sini berfungsi sebagai salah satu stimulator untuk tercapainya berbagai perencanaan-perencanaan yang telah disiapkan sebelumnya. Tentu ditambah dengan tawakalnya seorang hamba terhadap Rabbnya, menjadikan apa-apa yang dilakukannya sebagai tahapan menuju cita-cita seorang hamba tersebut.
…kemudian apabila kamu telah membulatkan tekad, Maka bertawakkallah kepada Allah. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertawakkal kepada-Nya.” (Q.S. Ali Imran 159)

Dengan berbagai energi positif yang ada ketika Hari Raya, rasa-rasanya akan lebih mudah seorang hamba untuk dapat menyelaraskan hati dan pikiran untuk merealisasi perencanaan-perencanaan dalam kehidpuan seorang hamba yang telah di rancang. Energi besar yang ditimbulkan ketika kita bersilaturahim lagi-lagi dapat seorang hamba rasakan sebagai salah satu nuansa positif tersendiri untuk lebih semangat dalam melakukan suatu perubahan.

Itulah beberapa poin, mengapa kemudian Hari Raya Ied al-Fithri adalah sebagai momentum untuk berhenti sejenak. Berhenti sejenak di sini bukan diartikan lantas berhenti secara total dan tidak mengindahkan hal-hal lain yang itu menjadi kewajiban seorang hamba pada-Nya. Tidak seperti itu. Berhenti sejenak yang dimaksud adalah bagaimana kemudian di tengah hingar bingar perayaan Ied, seorang hamba yang cerdas dapat memberi pemaknaan yang lebih atas sebuah momentum-momentum yang terjadi dalam hidupnya yang bisa jadi itu membawa ia pada transformasi individu ke arah yang lebih baik.

Hari Raya ini bukanlah, hari yang seorang hamba lewatkan begitu saja dengan perayaan tanpa makna. Tapi Hari Raya yang penuh dengan harapan dan cita-cita, untuk individu dan juga kehidupan sosial. Dan pada akhirnya senyum ikhlas menyambut fajar kebaikan dalam hidup dapat seorang hamba tampakkan dengan rona kebahagiaan dan kekhusyukan yang mendalam untuk senantiasa loyal kepada sang Maha Pencipta.

Profil penulis:

Aqil Wilda Arief, Mahasiswa Teknik Industri UGM 2007 , Ketua LDK Jama’ah Shalahuddin UGM 1431 H