Menakar Kekuatan Ekonomi Cina

Banyak pengamat menilai, sebentar lagi Cina akan menjadi salah satu negara adidaya dunia, yang bahkan bisa mengancam AS, baik dari segi militer dan terutama dari segi ekonomi. Secara militer, menurut Robyn Meredith dalam The Elephant and the Dragon (Quacana, 2008) hingga 2025, Cina akan memiliki sumberdaya pertahanan sebanding dengan yang digunakan militer AS kini.

Hal itu bisa dilihat dari anggaran pertahanan yang dikeluarkan Pemerintah Cina. Pada awal 2006, misalnya, Cina telah mengeluarkan anggaran sebesar 35 miliar dolar AS atau sekitar Rp 560 triliun yang dialokasikan untuk membangun angkatan bersenjatanya. Pada tahun 2008 Cina menganggarkan 121,9 miliar dolar AS (Rp 1219 triliun; 8,28% APBN) (Bandingkan dengan Indonesia yang hanya menganggarkan 3,6 miliar dolar AS [Rp 36 triliun; 0,24% APBN] pada tahun yang sama.

Adapun secara ekonomi, dengan pertumbuhan ekonomi selalu di atas 10 persen (sebelum krisis global), Pemerintah Cina berhasil mengentaskan kemiskinan sekitar 200 juta penduduknya. Pada 2004, pendapatan perkapita penduduk Cina adalah 1290 dolar AS.

IMF memperkirakan Cina akan menyumbang sekitar dua pertiga pertumbuhan ekonomi global dari tahun 2008-2010, sementara perekonomian AS justru menyusut 2.6% pada tahun yang sama dengan angka pengangguran yang merangkak naik menjadi 9.5%—angka tertinggi sejak 1983. Banyak pihak menilai kesejahteraan ekonomi Cina akan mengungguli Amerika.

Awal Kebangkitan Cina

Republika Rakyat Cina (RRC) dideklarasikan tanggal 1 Oktober 1949 oleh tokoh komunis Cina terkemuka saat itu, Mao Zedong. Kemudian, sejak Deng Xiaoping naik ke tampuk kekuasaan Cina, dilakukanlah reformasi ekonomi pada tahun 1978. Sejak itu Cina terus menunjukkan pertumbuhan ekonomi yang mengesankan, rata-rata sebesar 10%.

Belum lagi besarnya produk domestik bruto (GDP) yang menunjukkan bahwa Cina menjadi negara terbesar ketiga setelah AS dan Jepang, serta tidak menutup kemungkinan untuk menggeser posisi Jepang menjadi nomor dua setelah AS.

Naiknya Deng Xiaoping ke tampuk kepemimpinan Cina pada 1978 membawa sejumlah perubahan besar di dalam negeri Cina. Langkah pertama yang dilakukan Deng Xiaoping adalah persiapan kerangka kekuasaan agar dapat menjalankan Empat Modernisasi:

Modernisasi ilmu pengetahuan, teknologi, industri dan pertahanan-keamanan. Langkah-langkah berani yang sudah dimulai sejak 1976 tersebut diresmikan dalam Sidang Komite Pusat Partai Komunis Cina (PKC) ke-11 pada Desember 1978. Sidang tersebut dianggap sebagai turning point yang mengawali suatu proses demistifikasi Mao (Soebagio, 1990).

Cina Pasca Reformasi 1978

Apa yang dirintis Deng sejak 1978 ternyata merupakan titik balik Cina menjadi sebuah kekuatan ekonomi global yang patut diperhitungkan. Meskipun sempat menimbulkan pertentangan di dalam negeri mengenai arah reformasi, berkat kepemimpinan Deng yang mampu mengatasi pertentangan ideologis yang terjadi, reformasi ekonomi Cina yang berkaitan dengan lima proses—yaitu desentralisasi, marketisasi, diversifikasi kepemilikan, liberalisasi dan internasionalisasi—dapat dijalankan.

Titik penting lainnya dalam melihat “perubahan” Cina ini adalah naiknya Hu Jintao menggantikan Jiang Zemin, yang berkuasa di Cina pasca Deng, pada Kongres PKC ke-16.

Secara formal, Kongres PKC ke-16 menggarisbawahi kesadaran akan Marxisme serta ide-ide Mao Zedong dan Deng Xiaoping. Pada waktu yang sama juga dibuat kebijakan xiaokang, yaitu konsep pembangunan yang didasarkan pada pertumbuhan ekonomi.

PKC kemudian hadir dengan slogan politik yang baru, yang berusaha untuk menyediakan basis ideologi bagi perannya dan memberikan harapan kepada sejumlah kalangan yang menginginkan pertumbuhan ekonomi pasar, dukungan integrasi terhadap ekonomi dunia serta menikmati akses terhadap jaringan komunikasi global.

Pilihan pragmatis Cina ini ternyata membuahkan hasil. Hasil pembangunan ekonomi Cina terus menunjukkan angka yang mengesankan. Cina juga berhasil menunjukkan daya tahan ekonomi negaranya ketika seluruh negara terguncang akibat krisis keuangan global tahun 2008.

Selama sembilan bulan pertama tahun 2009, perekonomian Cina tumbuh sebesar 7,7%. Cina juga sukses menjalankan program stimulus ekonomi. Bahkan Robert Zoelick, Direktur Bank Dunia, mengungkapkan bahwa krisis global saat ini hanya dapat diselesaikan oleh G-2, yaitu AS dan Cina.

Sebelum dilanda krisis global, Cina telah membukukan pertumbuhan tahunan dua digit selama 2003-2007. Setelah pertumbuhannya merosot menjadi 6,1 persen pada kuartal pertama tahun 2009 (laju paling lambat dalam 20 tahun), Cina pulih pada kuartal kedua dengan tumbuh 7,9 persen dan diharapkan melebihi delapan persen untuk keseluruhan 2009. Pembalikan Cina diperkuat oleh paket stimulus senilai empat triliun yuan (586 miliar dolar AS) dan pinjaman bank dalam paruh pertama mencapai 7,4 triliun yuan (Berita2.com, 19/10/2009).

Kekuatan Semu Ekonomi Cina

Tiga puluh tahun yang lalu, Cina punya jejak kaki yang kecil sekali dalam ekonomi global dan pengaruh yang sama kecilnya di luar batas negeri itu, kecuali di beberapa negara yang mempunyai hubungan politik dan militer yang dekat dengannya.

Sekarang, Cina merupakan kekuatan ekonomi yang luar biasa; pusat industri manufaktur di dunia, penyedia dana paling terkemuka, investor utama di seantero dunia dari Afrika sampai Amerika Latin, serta sumber riset dan pengembangan utama yang semakin luas.

Pemerintah Cina berada di puncak cadangan devisa yang mencengangkan—lebih dari US$ 2 triliun. Tidak ada satu bisnis di mana pun di dunia yang tidak merasakan dampak pengaruh Cina, baik sebagai pemasok barang-barang yang murah maupun, yang lebih mengancam lagi, sebagai pesaing yang mahatangguh.

Semua ini menimbulkan pertanyaan, akankah Cina pada akhirnya bakal menggantikan Amerika Serikat sebagai hegemon dunia, peletak dan penentu arah ekonomi global?
Faktanya, kemajuan ekonomi Cina yang pesat bukan tanpa dampak. Kesenjangan terjadi di Cina antara kaya dan miskin serta antara kota dan desa yang semakin lebar.

Kesenjangan ekonomi, tingginya tingkat pengangguran, penanganan buruh migran yang buruk, tindakan kekerasan dan kebrutalan serta fitnah terhadap kaum minoritas kini menjadi isu nasional di Cina.

Pertumbuhan ekonomi Cina memang selalu di atas 10 persen sejak akhir 2005. Namun, tingkat pertumbuhan ekonomi Cina turun menjadi 9,0 persen pada kuartal ketiga 2008 akibat krisis keuangan global yang mulai terasa dampaknya di negara itu. Sejak itu, penurunan pertumbuhan ekonomi merupakan yang pertama kali terjadi.

Hal itu merupakan indikasi paling kuat bahwa ekonomi Cina juga ikut terpengaruh memburuknya ekonomi internasional saat ini. ”Di Cina, setiap pertumbuhan di bawah 10 persen merupakan sebuah sinyal bahwa ekonomi menjadi melempem,” kata Ren Xianfang, ekonom di firma konsultan Global Insight yang berbasis di Beijing.

Sampai bulan November 2008 sekitar 4,85 juta tenaga kerja dari kota-kota wilayah industri di negara Tirai Bambu itu harus kembali ke kampung halamannya. Di tempat asal para pekerja itupun tidak tersedia pekerjaan yang dapat menampung mereka. Secara keseluruhan 6,7 juta orang telah kehilangan pekerjaan. Selain itu 670 usaha kecil telah gulung tikar menjelang akhir tahun ini.

Menurut banyak kalangan di Cina, angka PHK itu jauh lebih besar karena yang tercatat hanya dari daerah perkotaan. Yang paling terkena dampak adalah tenaga kerja baru tamatan perguruan tinggi. Tingkat pengangguran sarjana sudah mencapai 12 persen. Sebanyak 1,5 juta orang tidak punya pekerjaan, ditambah 6,1 juta yang akan memasuki pasar kerja tahun depan (Antara, 21/12/2008).

Cina adalah satu-satunya negara di dunia yang jika pertumbuhannya kurang dari 8 persen dari tahun ke tahun dianggap berbahaya, karena ia bakal memicu keresahan sosial yang menunjukkan dengan gamblang kerapuhan mendasar sistem yang berlaku di Cina. Padahal sebagian besar negara lainnya di dunia cuma bisa bermimpi mengalami pertumbuhan sebesar itu. Sifat rezim politik otoriter itulah yang merupakan titik kerapuhan sistem yang berlaku di Cina.

Tentu semakin sulit bagi Cina mempertahankan laju pertumbuhan yang sudah terbiasa dialaminya pada tahun-tahun terakhir ini. Pasalnya, pertumbuhan ekonomi Cina saat ini terutama bersandar pada surplus perdagangan yang besar. Semua ini tidak bisa dipertahankan. Cepat atau lambat ia akan memicu konfrontasi yang serius dengan Amerika (dan Eropa). Tidak ada jalan keluar dari dilema ini. Cina harus menerima laju pertumbuhan yang lebih lamban (Dani Rodrik, Koran Tempo, 18/1/2010).

Ancaman Kebangkrutan

Akhir-akhir ini muncul beberapa pengamat yang kritis terhadap apa yang terjadi di Cina dan memanfaatkan data-data ekonomi yang lebih detail. Ini diwakili sebuah buku yang amat kontroversial, tulisan Gordon Chang, The Coming Collapse of China (2001). Buku ini menunjukkan sederetan masalah yang dihadapi Cina saat ini, yang semua ini akan mendorong keruntuhan Cina.

Yang pertama diangkat Chang adalah terjadinya suasana tidak puas terhadap rezim yang berkuasa sekarang, baik di kalangan petani maupun di kalangan buruh. Dicatatkan kasus-kasus yang tersebar di seluruh Cina, petani-petani yang marah terhadap kader-kader di desa. Sedemikian marah sehingga petani-petani itu tidak ragu-ragu untuk menyerang, memukul, bahkan membakar kantor-kantor pejabat desa. Ini terjadi hampir setiap minggu di seluruh Cina.

Ketidakpuasan serupa juga muncul di kalangan buruh yang mengalamipemutusan hubungan kerja di kota. Memang, privatisasi perusahaan milik negara masih jauh dari selesai, tetapi dari sejumlah perusahaan yang telah mengalami privatisasi, buruh-buruh benar marah dan mengadakan aksi-aksi destruktif seperti para petani.

Mereka menuduh pemerintah hanya mementingkan para kapitalis, kelompok yang semestinya dilawan Partai Komunis Cina, partai yang berkuasa kini. Demonstrasi yang disusul kerusuhan marak di hampir semua kota di seluruh Cina.

Belum lagi bila menghitung angka pengangguran, baik di desa maupun di kota. Karena itu, munculnya ketidakpuasan yang merata di seluruh Cina saat ini sungguh mudah dipahami. Meski demikian, Chang tidak hanya bersandar pada satu data ini saja untuk menunjukkan kerapuhan Cina.

Data kedua yang jauh lebih mendasar adalah fakta bahwa bank-bank Cina saat ini dalam keadaan insolvent. Ini yang amat berbahaya bagi ekonomi Cina secara keseluruhan. Ramalan Chang, entah bagaimana, entah kapan, seandainya rakyat Cina tahu keadaan ini, lalu mengadakan rush terhadap bank-bank, maka tamatlah ekonomi Cina, sekaligus politik Cina.

Persoalan dengan bank-bank di Cina (semua milik negara) adalah, bank-bank ini dikuras untuk menutup kerugian yang diderita perusahaan-perusahan milik negara yang berjumlah sekitar 300.000 di seluruh Cina. Menurut sebuah analis, lebih dari 50 persen perusahaan milik negara itu ada dalam keadaan bangkrut.

Mengingat begitu besar dampak sosial yang ditimbulkan oleh kebangkrutan perusahaan milik negara, Pemerintah Cina tidak mempunyai pilihan lebih baik selain menuangkan uang ke perusahaan-perusahaan itu, berapa pun yang diminta. Pemerintah lebih memilih "stabilitas politik" ketimbang membiarkan perusahaan itu bangkrut atau diprivatisasi.

Karena itu, pertanyaan kritis yang sering dilemparkan oleh Gordon Chang dan kawan-kawannya adalah sejauh mana pertumbuhan ekonomi yang tinggi ini dapat dipertahankan dengan situasi perbankan yang amburadul seperti itu. Sulit untuk tetap memprediksikan bahwa ekonomi Cina akan terustumbuh dengan angka tujuh persen pertahun.

Pendapat Chang itu sejajar dengan yang dikemukakan oleh laporan WorldBank yang ditulis tahun 1997, berjudul, China 2020. Laporan yang sarat dengan angka statistik ini mula-mula menggambarkan prestasi ekonomi Cina yang luar biasa.

Misalnya, untuk melipatduakan income percapita, Cina hanya membutuhkan waktu sembilan tahun (1978-1987), sementara Inggris membutuhkan 100 tahun, Amerika Serikat 47 tahun, Jepang 34 tahun, dan Korea Selatan 11 tahun.

Namun, World Bank cepat memberi peringatan adanya enam masalah besar yang menghadang Cina saat ini, yaitu transisi yang tidak lengkap, lingkungan yang rusak, tak ada sumber pendapatan yang tetap, melebarnya jurang kaya dan miskin, tidak cukup persediaan makan, dan sengketa perdagangan dengan negara-negara lain.

Enam masalah itu sebenarnya tidak khas Cina, banyak negara sedang berkembang juga menghadapi masalah-masalah itu. Ada masalah lain yang sifatnya jangka panjang, dan ini menyangkut hal-hal yang sifatnya mendasar. Dikatakan, tahun 2020 Cina akan mengalami kekurangan tanah, modal maupun buruh terdidik. Belum lagi masalah-masalah berat yang muncul bila nanti Cina benar-benar telah terintegrasi dengan sistem perdagangan internasional di bawah WTO.

Dari bahasan yang amat singkat ini tampak, bahwa yang terjadi saat ini di Cina sebenarnya lebih kompleks dan rumit daripada yang tampak dari luar. World Bank condong mengambil pelajaran dari pengalaman Brasil dan Meksiko yang mengalami pertumbuhan ekonomi tinggi antara tahun 1950-1980, lalu jatuh pada dekade berikutnya. Bila tidak hati-hati, Cina akan mengalami hal serupa, dan hal ini tidak akan ditolerir oleh rakyat yang selama ini selalu diberi mimpi-mimpi akan masa depan gemilang (I Wibowo, 2009).

Tak Akan Pernah Menjadi Adidaya

Menurut Adnan Khan dalam tulisannya di Khilafah.com, model pembangunan Cina menunjukkan bahwa negara manapun akan mampu untuk berkembang ke arah manapun.

Namun, suatu pembangunan pada hakikatnya adalah kemampuan untuk memiliki pandangan hidup (worldview) yang khas yang berperan sebagai fondasi semua aspek dari suatu negeri baik dari sisi ekonomi, hukum, politik luar negeri, energi, integrasi, pemerintahan dan relasi pria dan wanita.

Dengan pandangan hidup yang khas, suatu negeri akan menyelesaikan semua isu secara konsisten, terarah dan menciptakan kemajuan. Tanpa ideologi, suatu negeri mungkin akan maju, tetapi akan mendapatkan dirinya dalam suatu dilema yang tidak bisa ia selesaikan.

Dalam 5000 tahun sejarahnya, Cina tidak pernah menjadi kekuatan adidaya dan tidak pernah mempengaruhi politik internasional. Bahkan ketika Cina mengadopsi Komunisme, ia tidak mampu mengembannya lebih jauh dari batas negerinya sendiri apalagi mempengaruhi negara lain. Selama 5000 tahun, Cina lebih sering berperang dengan dirinya sendiri dan sibuk untuk menyatukan wilayah.

Kebijakan politik luar negeri Cina juga berpusat pada pembangunan ekonomi domestik dan menguasai sumber daya alam untuk memenuhi kebutuhannya. Cina memang melawan strategi AS untuk mengisolasi dirinya dengan melemahkan negeri-negeri yang dirancang AS sebagai alatnya. Misalnya, Cina juga menawarkan kerjasama bilateral dengan Australia, India, Jepang dan Korea Selatan agar hubungan negeri-negeri ini dengan AS menjadi lebih kendor.

Realita ini membuat Cina terlalu fokus pada wilayah regional dan tidak memiliki ambisi untuk lebih dari itu. Hal ini akan berubah apabila Cina mengubah ambisi regionalnya menuju ambisi global. Tanpa adanya perubahan ambisi, maka Cina tidak akan menjadi kekuatan global. Dengan pandangan regional yang sempit, Cina tidak akan mampu menandingi AS.

Apa yang dilakukan Cina di Afrika sebenarnya tidak untuk menantang AS, tetapi sekadar usaha mendapatkan akses pada energi minyak, karena Cina akan semakin bergantung padanya. Di sinilah Cina menghadapi isu penting yang akan menentukan status masa depannya.

Cina juga menghadapi berbagai masalah yang memerlukan solusi. Tanpa ideologi yang jelas, Cina tidak akan mampu menyelesaikan masalahnya secara konsisten.
Secara domestik Cina memang diperintah oleh ideologi Komunisme, karena memang Cina masih dipimpin oleh sistem 1 partai (PKC).

Akan tetapi, Cina mulai beranjak ke sistem pasar bebas. Pada saat yang sama, Cina juga bersikap nasionalistik yang memancing seruan disintegrasi dari beberapa wilayah, dan AS dalam hal ini berperan dalam memberikan dukungan diam-diam secara konsisten terhadap wilayah-wilayah tersebut.

Walhasil, sampai pada satu titik Cina memutuskan apa ideologi sekaligus jatidirinya, negeri ini akan terus ditarik ulur ke arah yang berbeda-beda. Pada akhirnya, Cina tidak akan pernah mampu bangkit untuk menandingi adidaya manapun! []

Arief B. Iskandar, Alumnus UNPAD, Redaktur Pelaksana Media Politik dan Dakwah AL-WAIE, tinggal di Bogor.

Apendiks:

Susutnya Kekayaan Orang-orang Terkaya di Cina Saat Krisis

Krisis keuangan global yang ditandai dengan amburadulnya bursa saham ikut menyeret lunturnya kekayaan para konglomerat. Kekayaan konglomerat di Cina pun susut seiring kejatuhan bursa saham.

Berdasarkan survei yang dipublikasi Forbes, Kamis (30/10/2008), disebutkan kekayaan 400 konglomerat Negeri Tirai Bambu, Cina, anjlok menjadi USD173 miliar dari USD288 miliar. Bahkan 40 konglomerat papan atas harus mengalami penyusutan kekayaan hingga 57 persen atau USD68 miliar.

Data Forbes juga menyatakan akibat krisis, jumlah miliader di negeri itu jumlah turun dari 66 orang pada tahun lalu, kini tinggal 24 miliader.

Konglomerat real estate Yang Huiyan yang tahun lalu disebut sebagai orang terkaya, pada tahun ini harus mengalami kerugian paling besar. Kekayaannya susut USD14 miliar menjadi USD2,2 miliar dan dia harus puas di rangking tiga daftar orang kaya di Cina.

Bos Nine Dragons Paper Yan Cheung, yang pada Maret 2007 lalu masuk daftar orang terkaya di Cina, kini juga mengalami nasib kurang bagus. Jika pada tahun lalu dia sempat masuk daftar 10 wanita miliader di dunia, kini kekayaannya tinggal USD265 juta.

Konglomerat lainnya yang alami kemerosotan kekayaan antara lain Larry Yung yang harus menanggung kerugian dari Citic Pacific hingga USD2 miliar. Cheung Chung Kiu, bos C.C, harus kehilangan kekayaan hingga 98 persen. Jika tahun lalu Cheung masuk rangking 26, tahun ini dia harus rela terdepak dari daftar orang terkaya di Cina.

Kemerosotan para konglomerat Cina itu memang bagian dari imbas lesunya perekonomian dunia. Negeri itu juga tidak luput dari himpitan krisis global. "Ekspor kelihatannya masih akan memburuk. Tahun depan, pertumbuhan ekonomi 4-5 persen sudah sangat bagus," ujar Horst Geicke, yang mengelola dana investasi USD6 miliar melalui Vina Capital Hong Kong.

Stimulus ekonomi yang dikeluarkan oleh Perdana Menteri Wen Jiabao tidak akan cukup untuk mengompensasi penurunan ekspor. Tak heran jika Merrill Lynch menurunkan proyeksi target pertumbuhan ekonomi Cina pada 2009 di kisaran 8,5-9 persen. (Okezone.com, 30/10/2008). []