Haji dan Jihad

Bagi setiap Muslim, ibadah haji memang istimewa. Haji boleh dikatakan menjadi ‘puncak spiritual’ seorang Muslim. Di hadapan Baitullah, Ka’bah, kebanyakan Muslim yang menunaikan ibadah haji merasakan betapa dekat dirinya saat itu dengan Allah ‘Azza Wa Jalla.

Tidak aneh, meski kewajiban haji hanya sekali seumur hidup, kerinduan untuk pergi kembali ke Tanah Suci sering hinggap di kalbu setiap Muslim yang pernah merasakan ‘nikmat’-nya beribadah haji. Karena itu, bagi yang punya kemampuan finansial lebih, ia bisa menunaikan ibadah haji berkali-kali; tentu karena pengalaman spiritual haji yang ingin berkali-kali pula mereka alami.

Bagi sebagian orang, haji juga menjadi semacam ‘identitas sosial’ di masyarakat. Paling tidak, di negeri ini, gelar haji masih dianggap penting dan istimewa. Di beberapa daerah di Tanah Air, haji menjadi simbol dari ‘status sosial’ seseorang. Tidak aneh jika sebagian orang merasa bangga dan terhormat disebut dengan ‘Pak Haji’ atau ‘Bu Hajjah’.

Bagi kebanyakan Muslim, haji menjadi salah satu ‘puncak cita-cita’ hidupnya. Tidak aneh, di negeri ini, orang dari level ekonomi menengah ke bawah pun banyak yang berjuang mewujudkan mimpi dan cita-citanya berhaji. Seorang petani di Jawa, misalnya, dengan penuh kesabaran dan ketekunan, akhirnya bisa berangkat ke Tanah Suci tahun lalu setelah kurang-lebih 20 tahun ia menabung dari sisa hasil panen di sawahnya yang hanya beberapa petak.

*****
Sepantasnyalah setiap Muslim rindu untuk dapat menunaikan ibadah haji. Sebab, sebagaimana sabda Baginda Nabi saw., “Siapa saja yang menunaikan ibadah haji dan ia tidak berbuat maksiat dan kefasikan di dalamnya, ia telah keluar dari dosa-dosanya seperti hari saat ibunya melahirkan dirinya (dalam keadaan tak memiliki dosa.” (HR al-Bukhari).

Sewajarnya pula setiap Muslim yang berhaji rindu meraih haji mabrur. Sebab, sebagaimana sabda Baginda Rasulullah saw., “Haji mabrur itu, balasannya tidak lain adalah surga.” (HR Ahmad, Ibn Khuzaimah, ath-Thabrani, al-Hakim dan al-Baihaqi).

Siapakah yang dimaksud dengan haji mabrur? Para ulama mengatakan, “Haji mabrur adalah orang yang tidak bermaksiat kepada Allah saat menunaikannya.” Dinyatakan pula oleh al-Fira’, “Haji mabrur adalah orang yang setelah haji tidak lagi terbiasa bermaksiat kepada Allah.” (Abu Hayyan al-Andalusi, Bahr al-Muhith, II/263).

Al-Hasan pernah ditanya, “Apa itu haji mabrur?” Ia menjawab, “Ia yang kembali dari berhaji menjadi seorang yang zuhud terhadap dunia dan rindu terhadap akhirat.” (As-Suyuthi, Durr al-Mantsur, I/473; al-Qurthubi, Tafsir al-Qurthubi, II/408).

Imam an-Nawawi berkata, di antara tanda haji mabrur adalah kembali dari menunaikan haji dalam keadaan menjadi lebih baik perilakunya dan tidak membiasakan diri bermaksiat kepada Allah SWT (As-Suyuthi, Hasyiyah as-Suyuthi ‘ala Sunan an-Nasa’i, IV/98).

*****
Yang menarik, dalam beberapa riwayat, keutamaan ibadah haji disandingkan dengan kemuliaan jihad. Baginda Nabi saw., misalnya, pernah bersabda, “Duta Allah itu ada tiga: orang yang terlibat perang (di jalan Allah), orang yang beribadah haji dan orang yang berumrah.” (HR al-Hakim dan al-Baihaqi).

Beliau juga pernah ditanya, “Amal apa yang paling utama?” Beliau menjawab, “Iman kepada Allah.”

“Kemudian apa lagi?”

“Jihad fi sabilillah.”

“Lalu apa lagi?”

“Haji mabrur.” (HR al-Bukhari dan Muslim).

Dua hadis di atas menyandingkan keutamaan ibadah haji dengan kemuliaan jihad. Hadis pertama sama-sama menyebutkan orang yang pergi berjihad dan yang pergi berhaji sebagai duta-duta Allah SWT. Adapun hadis kedua malah menempatkan jihad di urutan pertama sebelum haji.

Pertanyaannya: Jika keutamaan jihad setara bahkan lebih tinggi daripada ibadah haji, mengapa kebanyakan Muslim hanya tertarik dengan ibadah haji dan cenderung tidak terlalu tertarik dengan jihad?

Terhadap ibadah haji kebanyakan kaum Muslim begitu antusias ingin menunaikannya, mengapa antusiasme yang sama tak banyak dijumpai di kalangan mereka terkait jihad fi sabilillah? Jika ibadah haji menjadi salah satu “cita-cita besar” dalam hidup kebanyakan individu Muslim, mengapa jihad dan menjadi mujahid tak dijadikan pula sebagai cita-cita besar kebanyakan dari mereka? Jika terkait haji begitu mudah individu Muslim berkorban harta, mengapa tak banyak dari mereka melakukan hal yang sama untuk kepentingan jihad fi sabilillah?

Benar, di negeri ini jihad dalam arti perang tidaklah berlaku, karena Indonesia bukan wilayah perang. Namun, sebetulnya ada amalan yang pahalanya menyamai amalan jihad, bahkan dinyatakan sebagai ‘jihad’ paling utama. Baginda Rasulullah saw. bersabda, “Jihad yang paling utama adalah menyatakan kebenaran di hadapan penguasa yang lalim.” (HR at-Tirmidzi dan Abu Dawud).

Beliau pun bersabda, “Pemuka para syuhada (mujahid yang wafat dalam jihad fi sabilillah) adalah Hamzah bin Abdul Muthalib dan seseorang yang berdiri di hadapan penguasa lalim, kemudian ia menasihatinya, lalu penguasa itu membunuhnya.” (HR al-Hakim dan ath-Thabrani).

Untuk aktivitas mulia di atas—menasihati penguasa lalim dan menyatakan kebenaran di hadapannya—sebetulnya tak perlu mengorbankan harta yang besar, sebagaimana dalam menunaikan ibadah haji, tinggal kemauan dan keberanian menanggung risiko kematian. Sayangnya, justru tidak banyak orang yang merindukan aktivitas mulia ini, apalagi menjadikannya sebagai ”cita-cita besar” hidupnya.

Bahkan ulama, yang sejatinya memiliki peluang besar untuk itu, juga tak banyak yang menunaikannya. Buktinya, saat banyak penguasa lalim berdiri langsung di hadapan mereka—dengan terus menzalimi rakyat; tetap menerapkan hukum-hukum kufur dan enggan menerapkan hukum-hukum Allah SWT secara kaffah; bahkan baru-baru ini dengan antusias menyambut ”tamu” (Obama, penguasa negara penjajah, AS) yang masih berlumuran darah ribuan kaum Muslim Afganistan, Irak dan Pakistan serta terus mendukung penjajahan Israel atas Palestina—sedikit sekali ulama yang secara berani, terus-terang dan tegas menasihati serta meluruskan penguasa lalim itu; kebanyakan justru tetap diam membisu.

Bagaimana dengan kita? Semoga kita bisa meraih dua keutamaan itu: keutamaan ibadah haji dan jihad fi sabilillah. Amin.

Wa mâ tawfîqî illâ billâh wa ’alayhi tawakkaltu wa ilayhi unîb. []

Arief B. Iskandar, Redaktur Al-Wa’ie