Maulid Nabi SAW: Simbol Kelahiran Masyarakat Baru

Tak terasa, kita kembali ada di bulan Rabiul Awwal, yang diyakini oleh kaum Mjuslim sebagai bulan kelahiran Baginda Rasulullah saw. Seperti biasa, Peringatan Hari Kelahiran Baginda Rasulullah saw. Muhammad—atau dikenal dengan Peringatan Maulid Nabi saw.—ramai diselenggarakan oleh kaum Muslim di berbagai tempat, khususnya di Tanah Air.

Namun demikian, tanpa mengurangi sikap pengagungan kita terhadap Baginda Rasulullah saw., kelahiran seorang manusia—termasuk beliau—sebetulnya merupakan perkara yang biasa saja. Bagaimana tidak? Setiap hari, setiap jam, bahkan setiap menit dunia ini tidak henti-hentinya menyambut kelahiran bayi-bayi manusia yang baru. Karena perkara yang biasa-biasa saja, tidak terasa bahwa dunia ini telah dihuni lebih dari 6 miliar jiwa.

Karena itulah, barangkali, Nabi kita, Rasulullah Muhammad saw. tidak menjadikan hari kelahirannya sebagai hari yang istimewa, atau sebagai hari yang setiap tahunnya harus diperingati. Keluarga beliau, baik pada masa Jahiliah maupun pada masa Islam, juga tidak pernah memperingatinya. Padahal beliau adalah orang yang sangat dicintai oleh keluarganya. Mengapa? Sebab, dalam tradisi masyarakat Arab, baik pada zaman Jahiliah maupun zaman Islam, peringatan atas hari kelahiran seseorang tidaklah dikenal.

Bagaimana dengan para Sahabat beliau? Kita tahu, tidak ada seorang pun yang cintanya kepada Nabi Muhammad saw. melebihi kecintaan para Sahabat kepada beliau. Dengan kata lain, di dunia ini, para Sahabatlah yang paling mencintai Nabi Muhammad saw.

Namun demikian, peringatan atas kelahiran (maulid) Nabi Muhammad saw. juga tidak pernah dilakukan para Sahabat beliau itu; meskipun dengan alasan untuk mengagungkan beliau. Wajar jika dalam Sirah Nabi saw. dan dalam sejarah otentik para sahabat beliau, sangat sulit ditemukan fragmen Peringatan Maulid Nabi Muhammad saw., baik yang dilakukan oleh Nabi saw. sendiri maupun oleh para Sahabat beliau.

Bahkan ketika Khalifah Umar bin al-Khaththab bermusyawarah mengenai sesuai yang sangat penting dengan para sahabat, yakni mengenai perlunya penanggalan Islam, mereka hanya mengemukakan dua pilihan, yakni memulai tahun Islam dari sejak diutusnya Muhammad sebagai rasul atau sejak beliau hijrah ke Madinah. Akhirnya, pilihan Khalifah Umar—yang disepakati para sahabat—jatuh pada yang terakhir. Khalifah Umar beralasan, Hijrah adalah pembeda antara yang haq dan yang batil. (Ath-Thabari, Târîkh ath-Thabari, 2/3). Saat itu tidak ada seorang sahabat pun yang mengusulkan tahun Islam dimulai sejak lahirnya Nabi Muhammad saw.

Demikian pula ketika mereka bermusyawarah tentang dari bulan apa tahun Hijrah dimulai; mereka pun hanya mengajukan dua alternatif, yakni bulan Ramadhan dan bulan Muharram. Pilihan akhirnya jatuh pada yang terakhir, karena bulan Muharram adalah bulan ketika orang-orang kembali dari menunaikan ibadah haji, dan Muharram adalah salah satu bulan suci. (Ath-Thabari, ibid.). Saat itu pun tidak ada yang mengusulkan bulan Rabiul Awwal, bulan lahirnya Rasulullah saw., sebagai awal bulan tahun Hijrah.

Realitas tersebut, paling tidak, menunjukkan bahwa para sahabat sendiri tidak terlalu ‘memandang penting’ momentum hari dan tahun kelahiran Nabi Muhammad saw., sebagaimana orang-orang Kristen memandang penting hari dan tahun kelahiran Isa al-Masih, yang kemudian mereka peringati sebagai Hari Natal.

Itu membuktikan bahwa para sahabat bukanlah orang-orang yang biasa mengkultuskan Nabi Muhammad saw., sebagaimana orang-orang Nasrani mengkultuskan Isa as. Hal itu karena mereka tentu sangat memahami benar sabda Nabi Muhammad saw. sendiri yang pernah menyatakan:

لاَ تُطْرُوُنِى كمَا أَطْرَتِ النَصَارَى إِبْنَ مَرْيَمَ فَإِنَّمَا أَنَا عَبْدُهُ

Janganlah kalian mengkultuskan aku sebagaimana orang-orang Nasrani mengkultuskan putra Maryam (Isa as.), karena sesungguhnya aku hanya sekadar seorang hamba-Nya. (HR al-Bukhari dan Ahmad).

Memang, sebagaimana manusia lainnya, secara fisik atau lahiriah, tidak ada yang istimewa pada diri Muhammad saw. sebagai manusia, selain beliau adalah seorang Arab dari keturunan yang dimuliakan di tengah-tengah kaumnya. Wajarlah jika Allah Swt., melalui lisan beliau sendiri, berfirman:

قُلْ إِنَّمَا أَنَا بَشَرٌ مِثْلُكُمْ…

Katakanlah, “Sungguh, aku ini manusia biasa seperti kalian…” (QS Fushshilat [41]: 6).

Lalu mengapa setiap tahun kaum Muslim saat ini begitu antusias memperingati Maulid Nabi Muhammad saw.; sesuatu yang bahkan tidak dilakukan oleh Nabi saw. sendiri dan para sahabat beliau?

Berbagai jawaban atau alasan dari mereka yang memperingati Maulid Nabi Muhammad saw. biasanya bermuara pada kesimpulan, bahwa Muhammad saw. memang manusia biasa, tetapi beliau adalah manusia teragung, karena beliau adalah nabi dan rasul yang telah diberi wahyu; beliau adalah pembawa risalah sekaligus penebar rahmat bagi seluruh alam. Karena itu, kelahirannya sangat layak diperingati.

Peringatan Maulid Nabi Muhammad saw. sendiri tidak lain merupakan sebuah sikap pengagungan dan penghormatan (ta‘zhîman wa takrîman) terhadap beliau dalam kapasitasnya sebagai nabi dan rasul; sebagai pembawa risalah sekaligus penebar rahmat bagi seluruh alam.

Walhasil, jika memang demikian kenyataannya, kita dapat memahami makna Peringatan Maulid Nabi Muhammad saw. yang diselenggarakan setiap tahun oleh sebagian kaum Muslim saat ini, yakni sebagai bentuk pengagungan dan penghormatan beliau dalam kapasitasnya sebagai nabi dan rasul Allah.

Itulah yang menjadikan beliau sangat istimewa dibandingkan dengan manusia yang lain. Keistimewaan beliau tidak lain karena beliau diberi wahyu oleh Allah Swt., yang tidak diberikan kepada kebanyakan manusia lainnya. Allah Swt. berfirman (masih dalam surah dan ayat yang sama):

قُلْ إِنَّمَا أَنَا بَشَرٌ مِثْلُكُمْ يُوحَى إِلَيَّ أَنَّمَا إِلَهُكُمْ إِلَهٌ وَاحِدٌ فَاسْتَقِيمُوا إِلَيْهِ

Katakanlah, “Sungguh, aku ini manusia biasa seperti kalian. (Hanya saja) aku telah diberi wahyu, bahwa Tuhan kalian adalah Tuhan Yang Maha Esa. Karena itu, tetaplah kalian istiqamah pada jalan yang menuju kepada-Nya. (QS Fushshilat [41]: 6).

Makna Kelahiran Muhammad saw.
Kelahiran Muhammad saw. tentu tidaklah bermakna apa-apa seandainya beliau tidak diangkat sebagai nabi dan rasul Allah, yang bertugas untuk menyampaikan wahyu-Nya kepada umat manusia agar mereka mau diatur dengan aturan apa saja yang telah diwahyukan-Nya kepada Nabi-Nya itu.

Karena itu, Peringatan Maulid Nabi saw. pun tidak akan bermakna apa-apa—selain sebagai aktivitas ritual dan rutinitas belaka—jika kaum Muslim tidak mau diatur oleh wahyu Allah, yakni al-Quran dan as-Sunnah, yang telah dibawa oleh Nabi Muhammad saw. ke tengah-tengah mereka. Padahal, Allah Swt. telah berfirman:

وَمَا ءَاتَاكُمُ الرَّسُولُ فَخُذُوهُ وَمَا نَهَاكُمْ عَنْهُ فَانْتَهُوا

Apa saja yang diberikan Rasul kepada kalian, terimalah; apa saja yang dilarangnya atas kalian, tinggalkanlah. (QS al-Hasyr [59]: 7).

Lebih dari itu, pengagungan dan penghormatan kepada Rasulullah Muhammad saw., yang antara lain diekspresikan dengan Peringatan Maulid Nabi saw., sejatinya merupakan perwujudan kecintaan kepada Allah, karena Muhammad saw. adalah kekasih-Nya.

Jika memang demikian kenyataannya maka kaum Muslim wajib mengikuti sekaligus meneladani Nabi Muhammad saw. dalam seluruh aspek kehidupannya, bukan sekadar dalam aspek ibadah ritual dan akhlaknya saja. Allah Swt. berfirman:

قُلْ إِنْ كُنْتُمْ تُحِبُّونَ اللهَ فَاتَّبِعُونِي

Katakanlah, “Jika kalian benar-benar mencintai Allah, ikutilah aku.” (QS Ali Imran [3]: 31).

Dalam ayat di atas, frasa fattabi‘ûnî (ikutilah aku) bermakna umum, karena memang tidak ada indikasi adanya pengkhususan (takhshîsh), pembatasan (taqyîd), atau penekanan (tahsyîr) hanya pada aspek-aspek tertentu yang dipraktikkan Nabi saw.
Di samping itu, Allah Swt. juga berfirman:

وَإِنَّكَ لَعَلى خُلُقٍ عَظِيمٍ

Sesungguhnya engkau berada di atas khuluq yang agung. (QS al-Qalam [68]: 4).

Di dalam tafsirnya, Imam Jalalin menyatakan bahwa kata khuluq dalam ayat di atas bermakna dîn (agama, jalan hidup) (Lihat: Jalalain, Tafsîr Jalâlayn, 1/758). Dengan demikian, ayat di atas bisa dimaknai: Sesungguhnya engkau berada di atas agama/jalan hidup yang agung.

Tegasnya, menurut Imam Ibn Katsir, dengan mengutip pendapat Ibn Abbas, ayat itu bermakna: Sesungguhnya engkau berada di atas agama/jalan hidup yang agung, yakni Islam (Lihat: Ibn Katsir, Tafsîr Ibn Katsîr, 4/403). Ibn Katsir lalu mengaitkan ayat ini dengan sebuah hadis yang meriwayatkan bahwa Aisyah istri Nabi saw. pernah ditanya oleh Sa’ad bin Hisyam mengenai akhlak Nabi saw. Aisyah lalu menjawab:

كَانَ خُلُقُهُ الْقُرْآنَ

Sesungguhnya akhlaknya adalah al-Quran. (HR Ahmad).

Dengan demikian, berdasarkan ayat al-Quran dan hadis penuturan Aisyah di atas, dapat disimpulkan bahwa meneladani Nabi Muhammad saw. hakikatnya adalah dengan cara mengamalkan seluruh isi al-Quran, yang tidak hanya menyangkut ibadah ritual dan akhlak saja, tetapi mencakup seluruh aspek kehidupan manusia.

Artinya, kaum Muslim dituntut untuk mengikuti dan meneladani Nabi Muhammad saw. dalam seluruh perilakunya: mulai dari akidah dan ibadahnya; makanan/minuman, pakaian, dan akhlaknya; hingga berbagai muamalah yang dilakukannya seperti dalam bidang ekonomi, sosial, politik, pendidikan, hukum, dan pemerintahan.

Sebab, Rasulullah saw. sendiri tidak hanya mengajari kita bagaimana mengucapkan syahadat serta melaksanakan shalat, shaum, zakat, dan haji secara benar; tetapi juga mengajarkan bagaimana mencari nafkah, melakukan transaksi ekonomi, menjalani kehidupan sosial, menjalankan pendidikan, melaksanakan aktivitas politik (pengaturan masyarakat), menerapkan sanksi-sanksi hukum (‘uqûbat) bagi pelaku kriminal, dan mengatur pemerintahan/negara secara benar. Lalu, apakah memang Rasulullah saw. hanya layak diikuti dan diteladani dalam masalah ibadah ritual dan akhlaknya saja, tidak dalam perkara-perkara lainnya? Tentu saja tidak!

Jika demikian, mengapa saat ini kita tidak mau meninggalkan riba dan transaksi-transaksi batil yang dibuat oleh sistem Kapitalisme sekular; tidak mau mengatur urusan sosial dengan aturan Islam; tidak mau menjalankan pendidikan dan politik Islam; tidak mau menerapkan sanksi-sanksi hukum Islam (seperti qishâsh, potong tangan bagi pencuri, rajam bagi pezina, cambuk bagi pemabuk, hukuman mati bagi yang murtad, dll); juga tidak mau mengatur pemerintahan/negara dengan aturan-aturan Islam? Bukankah semua itu justru pernah dipraktikan oleh Rasulullah saw. selama bertahun-tahun di Madinah dalam kedudukannya sebagai kepala Negara Islam (Daulah Islamiyah)?

Kelahiran Nabi saw.: Kelahiran Masyarakat Baru
Sebagaimana diketahui, masa sebelum Islam adalah masa kegelapan, dan masyarakat sebelum Islam adalah masyarakat Jahiliah. Akan tetapi, sejak kelahiran (maulid) Muhammad saw. di tengah-tengah mereka, yang kemudian diangkat oleh Allah sebagai nabi dan rasul pembawa risalah Islam ke tengah-tengah mereka, dalam waktu hanya 23 tahun, masa kegelapan mereka berakhir digantikan dengan masa ‘cahaya’; masyarakat Jahiliah terkubur digantikan dengan lahirnya masyarakat baru, yakni masyarakat Islam. Sejak itu, Nabi Muhammad saw. adalah pemimpin di segala bidang. Ia memimpin umat di masjid, di pemerintahan, bahkan di medan pertempuran.

Karena itu, kita bisa menyimpulkan bahwa makna terpenting dari kelahiran Nabi Muhammad saw. adalah keberadaannya yang telah mampu membidani kelahiran masyarakat baru, yakni masyarakat Islam; sebuah masyarakat yang tatanan kehidupannya diatur seluruhnya oleh aturan-aturan Islam.

Renungan
Walhasil, Peringatan Maulid Nabi saw. sejatinya dijadikan momentum bagi kaum Muslim untuk terus berusaha melahirkan kembali masyarakat baru, yakni masyarakat Islam, sebagaimana yang pernah dibidani kelahirannya oleh Rasulullah saw. di Madinah. Sebab, siapapun tahu, masyarakat sekarang tidak ada bedanya dengan masyarakat Arab pra-Islam, yakni sama-sama Jahiliah. Sebagaimana masa Jahiliah dulu, saat ini pun aturan-aturan Islam tidak diterapkan.

Karena aturan-aturan Islam—sebagaimana aturan-aturan lain—tidak mungkin tegak tanpa adanya negara, maka menegakkan negara yang akan memberlakukan aturan-aturan Islam adalah keniscayaan. Inilah juga yang disadari benar oleh Rasulullah saw. sejak awal dakwahnya. Rasulullah saw. tidak hanya menyeru manusia agar beribadah secara ritual kepada Allah dan berakhlak baik, tetapi juga menyeru mereka seluruhnya agar menerapkan semua aturan-aturan Allah dalam seluruh aspek kehidupan mereka.

Sejak awal, bahkan para pemuka bangsa Arab saat itu menyadari, bahwa secara politik dakwah Rasulullah saw. akan mengancam kedudukan dan kekuasaan mereka. Itulah yang menjadi alasan orang-orang seperti Abu Jahal, Abu Lahab, Walid bin Mughirah, dan para pemuka bangsa Arab lainnya sangat keras menentang dakwah Rasulullah saw. Akan tetapi, semua penentangan itu akhirnya dapat diatasi oleh Rasulullah saw. sampai beliau berhasil menegakkan kekuasaannya di Madinah sekaligus melibas kekuasaan mereka.

Walhasil, dakwah seperti itulah yang juga harus dilakukan oleh kaum Muslim saat ini, yakni dakwah untuk menegakkan kekuasaan Islam yang akan memberlakukan aturan-aturan Islam, sekaligus yang akan meruntuhkan kekuasaan rezim kafir yang telah memberlakukan aturan-aturan kufur selama ini. Hanya dengan itulah Peringatan Maulid Nabi saw. yang diselenggarakan setiap tahun akan jauh lebih bermakna. Wallâhu a‘lam bi ash-shawâb. []

Arief B. Iskandar, Redaktur Al-Wa’ie