Asset Politik Da'wah

Asset adalah segala sesuatu yang dapat memberikan nilai tambah dari waktu ke waktu. Lawan dari asset adalah liabilities atau beban. Dalam politik, terlebih lagi politik da’wah kita perlu mendefinisikan mana yang disebut sebagai asset dan mana yang disebut sebagai beban. Hal ini penting agar sebuah partai dapat meningkatkan kemampuannya dalam memenangkan persaingan.

Selama ini, selain asset fisik organisasi seperti kantor, mobil dan lain-lain, yang disebut sebagai asset dalam konteks politik adalah kader, struktur partai, pimpinan partai, anggota DPR DPRD, Kepala Daerah, Menteri dan posisi-posisi publik lainnya. Hal ini sesungguhnya belum lengkap, karena semua itu hanyalah posisi dan jabatan yang masih bersifat potensi. Semuanya belum bisa dikatakan sebagai asset sebelum dapat terlihat apa yang bisa dihasilkan dalam konteks politik da’wah.

Parameter yang paling sederhana untuk menentukan posisi-posisi tersebut sebagai asset atau beban adalah apakah keberadaan masing-masing dapat memberikan nilai tambah dari waktu ke waktu atau justru menggerogoti modal partai secara terus menerus. Apakah keberadaan masing-masing dapat menambah energi da’wah partai atau sebaliknya menyerap energi partai, sehingga partai kelelahan dan da’wah berantakan.

Politik da’wah sesungguhnya adalah implementasi da’wah itu sendiri di medan politik. Sebagaimana karakteristiknya, da’wah adalah jalan panjang yang penuh dengan godaan, fitnah dan ujian. Terlebih lagi dalam politik, dimana jubahnya selalu berwarna abu-abu. Godaan-godaan untuk melakukan pembenaran atas setiap tindakan menjadi sangat mudah dilakukan. Karena pada wilayah ini maqoshidusysyariah seringkali mudah terabaikan dengan tantangan kekikinian yang sulit terjawab oleh kitab-kitab fiqh klasik yang dianggap telah ketinggalan zaman.

Tujuan tertinggi dari da’wah adalah sebagaimana di ungkapkan dalam surat alfath, yakni ketika manusia berbondong-bondong masuk ke dalam agama Allah. Politik da’wah adalah upaya untuk menciptakan infrastruktur masyarakat dan Negara yang memungkinkan manusia berbondong-bondong masuk ke dalam Islam. Hal ini berarti politik harus diarahkan untuk menciptakan ketertarikan pada Islam melalui kerja-kerja partai yang meliputi agenda, program, kader dan pemimpin-pemimpinnya. Tentu tidak mungkin semua orang akan masuk ke dalam Islam, namun tugas politik da’wah adalah berusaha agar paling tidak mereka tidak memusuhi Islam dan kaum muslimin.

Para pengelola partai seringkali berbangga dengan banyaknya kader. Kader yang banyak sesungguhnya hanya akan menjadi asset ketika partai mampu memberdayakan mereka sehingga mereka dapat berkontribusi dalam pencapaian tujuan-tujuan da’wah di medan politik. Sebaliknya, jika kader yang banyak malah membuat partai menjadi lambat karena terlalu banyak keragaman yang harus dikelola, maka kader yang banyak justru menjadi beban. Gejala apatisme dan pembangkangan diam-diam dari kader terhadap agenda-agenda partai merupakan gejala awal dimana kader mulai menjadi beban.

Pimpinan partai sesungguhnya berpotensi besar untuk menjadi asset. Posisinya yang strategis di dalam partai, bukan hanya bermanfaat untuk melakukan konsolidasi internal dan memperkuat kerja struktur, tetapi juga berpeluang untuk menyampaikan fikiran, gagasan dan kepribadian Islam ke tengah publik. Pimpinan partai umumnya menjadi rujukan media massa, karena memang mereka sering memainkan peran sentral sebagai juru bicara.

Fikiran, gagasan dan kepribadian pimpinan partai da’wah sedianya mampu membangun daya tarik massa, sehingga banyak orang yang ingin tahu lebih jauh tentang Islam dan keindahan konsep-konsepnya. Semakin banyak masa yang tertarik, semakin besar simpati publik maka semakin bertambah dukungan terhadap partai. Pimpinan yang mampu memberikan nilai tambah seperti inilah yang dapat disebut sebagai asset politik da’wah.

Namun, pimpinan partai yang sering salah statemen, kata-katanya menyebabkan musuh da’wah bertambah, tentu lebih banyak menjadi beban dari pada asset. Da’wah menyebar rahmah dan persahabatan, sehingga objek da’wah mudah memberi dukungan, bukan sebaliknya memancing permusuhan dari tindakan yang semestinya tidak dilakukan. Rosulullah memiliki banyak musuh bukan karena perilaku dan kepribadiannya, melainkan karena ajarannya yang dianggap dapat mengancam otoritas kezaliman.

Pejabat publik seperti anggota dewan, kepala daerah maupun menteri sedianya dapat menjadi asset partai yang sangat berharga. Mereka sedianya tidak hanya tampil sebagai penyandang dana partai, namun jauh lebih besar dari itu mereka harus dapat mengkapitalisasi citra partai dengan success story yang mereka miliki. Tentu harus ada keberhasilan yang mereka ciptakan untuk bisa menuliskan sejarah kesuksesan.

Perilaku politik para pejabat publik akan memberikan pengaruh langsung terhadap partai. Oleh karenanya pejabat publik harus dapat menampilkan diri sebagai teladan dari kepribadian da’wah. Mereka harus tampil dengan penuh amanah yang sejalan dengan citra partai da’wah. Tampil kompeten di muka publik namun tetap tawadhu dengan kesederhanaannya, baik ketika didepan publik terlebih lagi di depan kader, tentu hal ini dapat memberikan dampak yang luar biasa bagi citra partai dan da’wah itu sendiri.

Salah besar jika partai da’wah hanya melihat asset pada kader-kadernya yang mampu menjadi mesin uang, tanpa mau tahu bagaimana mereka menciptakan uang. Apalagi jika partai sampai tutup mata atas kadernya yang terindikasi korupsi hanya karena mereka sering “memberi”. Efek negatif kader partai yang terindikasi korupsi bukan hanya terkena pada partai sebagai institusi politik, melainkan juga pada da’wah secara keseluruhan.

Kita mungkin sering mendengar anekdot tentang pak Kyai dan anaknya yang suka main judi. Suatu hari ada orang melapor ke pak Kyai mengenai anaknya yang main judi. Kata pak Kyai “masyaAllah, panggil itu anak, memalukan saja”, lalu orang tadi pergi dan kembali melapor “pak Kyai anaknya menang”. Pak Kyai mengatakan “Alhamdulillah bisa untuk bangun kelas di pesantren”. Dalam jangka pendek mungkin pak Kyai merasa untung dapat uang, namun dalam jangka panjang ia akan kehilangan segalanya, karena tidak ada lagi orang yang percaya.

Jangan sampai suatu hari ada wartawan atau masyarakat yang lapor ke partai “pak, ada kader di parlemen yang korupsi” kemudian partai menjawab ”masyaAllah, pasti kita pecat kader yang korupsi”. Lalu masyarakat lapor lagi “pak, kader tadi banyak biayai partai”, kemudian dijawab “jadi kantor dibeli dari infaq dia? Syukur deh kalau begitu”. Jangan sampai anekdot seperti ini terjadi pada partai yang didirikan sebagai instrumen da’wah. Dalam jangka pendek mungkin kebutuhan pembiayaan partai mudah dipenuhi, namun dalam jangka panjang insyaAllah partai akan kehilangan segalanya.

Sudah saatnya partai da’wah menilai kembali secara teliti, mana-mana yang dapat menjadi asset politik da’wah dan mana-mana yang sesungguhnya hanya akan menjadi beban, baik beban hari ini maupun beban masa depan. Dengan begitu partai dapat memutuskan mana yang perlu dirawat agar tumbuh dan berkembang untuk memperkuat da’wah dan mana yang perlu ditangani sejak dini agar tidak menjadi beban dikemudian hari. Wallohu’alam.