Masihkah Ada Surga untuk Para Pencari Ilmu di Negeri Kita?

Bismillaahirrahmaanirrahmaanirrahiim,

Padahal masih segar dalam ingatan, atau mungkin bahkan kali inipun masih terlalu sering di dengung-dengungkan mengenai hal ini. Sebuah iklan layanan masyarakat yang berisikan informasi mengenai pelaksanaan sebuah program "Pendidikan Gratis" bagi generasi bangsa ini. Namun ternyata kenyataannya tak jarang selalu saja bertolak belakang bahkan bagai lengkung lingkaran
yang mengarah sebesar 180 derajat dari apa yang diharapkan.

Bangsa ini memang masih belajar, bahkan sampai kapanpun bangsa ini akan terus belajar. Belajar membenahi diri, bahkan juga seharusnya memang belajar untuk memberikan sebuah fasilitas kemerdekaan bagi warga-nya untuk menjadi para pembelajar.

Seiring dengan masuknya masa peralihan pemerintahan dari kabinet masa 5 tahun kebelakang dengan pemerintahan untuk masa 5 tahun kedepan, iklan pelaksanaan pendidikan gratis 9 tahun ini semakin sering saja muncul di layar kaca. Meski sebelumnya iklan ini ditenggarai sebagai salah satu bentuk untuk meningkatkan elektabilitas dari salah satu pasangan calon kepala pemerintahan yang baru saja bersaing dalam Pemilihan Presiden beberapa pekan ke belakang, namun diluar itu semua tentunya program ini telah menancapkan tonggak-tonggak harapan bagi masyarakat Indonesia.

Semua rakyat gegap gempita menyambut satu kebijakan baru ini. Bagaimana tidak, setidaknya satu beban bagi mereka yang memiliki anak-anak dalam masa usia sekolah untuk bisa memasukkan anak-anak mereka agar bisa mendapatkan pendidikan layak bisa terealisasi tanpa harus dihantui dengan beban dana pendidikan yang kian hari memang kian membumbung tinggi saja.

Tapi ternyata dari sini semuanya bermula.

Beberapa pekan ke belakang, sayapun dipaksa untuk merasa heran ketika mendengar beberapa keluhan dari para tetangga di kampung yang baru saja pulang dari acara rapat para calon siswa baru sebuah sekolah negeri disana. Mereka yang notabene tidak bisa berbuat banyak ketika dihadapkan dengan para "pemeras" negeri ini, lagi-lagi harus menyerah demi masa depan anak-anak mereka.

Pendidikan memang sudah gratis. Tidak ada seharusnya biaya apapun untuk meyertai seorang anak ketika mereka ingin mendapatkan pendidikan yang layak. Bukankah itu sebuah janji para pengurus negeri ini yang sudah lama dicantumkan bahkan dalam sebuah rangakaian kata-kata indah yang mereka sebut sebagai Undang-undang Dasar itu?

Namun ternyata kini kenyataannya entah siapa lagi yang mesti disalahkan.

Mereka yang berada di pelosok, para pejabat sekolah yang bersangkutan biasanya lebih pandai dari pemerintah pusat. Mereka para pejabat sekolah itu mencoba mengganti kata-kata biaya sekolah dengan kata lain seperti halnya SPP atau BP3 dengan Iuran Sumbangan lainnya, atau juga kejadian yang lalu di daerah saya itu ketika tidak diperbolehkan ada biaya pungutan Biaya Pendidikan bagi semua siswa baik itu siswa baru ataupun siswa lama, ternyata mereka dengan mahirnya menggantinya dengan membebankan biaya pembelian lahan untuk perluasan sekolah kepada semua siswa yang ada.

Aneh memang!!! Bukankah seharusnya semua biaya, baik itu untuk pengembangan sebuah sekolah itu sudah ada alokasinya dari pusat?

Dan ironisnya, mereka yang biasanya para orang tua/wali siswa yang bisa berbicara di depan khalayak, mereka telah didekati terlebih dahulu, mereka di iming-imingi serta dibujuk agar bisa meyakinkan orang tua/wali siswa lainnya, sehingga atas nama para orang tua siswa seolah-olah mereka menganggap setuju dengan kebijakan para pejabat sekolah itu.

Sedih, dan ini tentunya lagi-lagi berimbas pada masyarakat bawah yang tidak bisa mengeluarkan aspirasinya (atau mungkin juga memang tidak diberikan kesempatan untuk mengeluarkan aspirasinya disana), dimana telah berharap banyak dengan program pemerintah pusat ternyata hanya bisa menggigit jari saja.

Selesaikah sampai disana persoalan pendidikan kita? Ternyata belum. Lain ladang lain ilalang, sepertinya memang begitu adanya. Seiring dengan waktu berlalu masalah pendidikan inipun ternyata bertambah lagi.

Memasuki tahun ajaran baru di pekan ini, para siswa di sebuah Sekolah Menengah Atas serta sebuah Sekolah dasar di Pematang Siantar terpaksa harus menggelar kegiatan belajar mengajarnya di trotoar jalanan. Setelah itu mereka berteriak di depan gedung walikota atau bahkan di depan gedung wakil rakyat sana. Meski mereka tidak pernah tahu apakah teriakan tuntutan mereka didengar ataukah hanya dilirik sinis sebelah mata oleh mereka, wallahu’alam. Setelah sekolah mereka di-segel pemerintah setempat karena telah dilakukan tukar guling pada sekolah tersebut oleh pemerintahannya untuk dijadikan lahan sekolah tersebut sebagai kawasan bisnis serta hotel-hotel megah disana. Miris sekali saya kira!

Entah sampai kapan masalah pendidikan bagi anak negeri ini akan berakhir. Kepada siapa lagi pertanyaan ini harus disampaikan, karena kini kiranya tak layak lagi andai kitapun menanyakannya pada rumput yang bergoyang. Entahlah, masihkah ada surga bagi para pencari ilmu itu di negeri kita?

Wallahu’alam bish-shawab.

cid:203214802@22042009-02E8

Dikdik Andhika Ramdhan, alumnus Fakultas Ilmu Kompuer, Jurusan Manajemen Informatika, Universitas Nasional Pasim Bandung. Saat ini bekerja sebagai staff IT di PT. Colliers International Indonesia. Aktif sebagai ketua Unit Kegiatan Mahasiswa Kerohanian Islam, serta koordinator Bidang Diklat Himpunan Mahasiswa Manajemen Informatika. Blog : http://dik2.multiply.com <http://dik2.multiply.com/>