Mavi Marmara dan Munashoroh Aqua

Matahari masih memanggang Tel Aviv, Sabtu 29 Mei lalu, ketika sebuah rapat darurat dihelat pemerintah Israel. Hampir semua pejabat penting Negeri Yahudi itu hadir. Ada Perdana menteri Benyamin Netanyahu, Panglima Angkatan Bersenjata, dan Panglima Angkatan Laut. Agendanya: menyikapi rencana kedatangan relawan kemanusiaan ke Gaza melalui jalur laut, yang tergabung dalam Freedom Flotilla.

“Biarkan mereka masuk ke wilayah perairan kita. Setelah itu kita serang,” usul salah seorang peserta rapat.

“Mengapa harus menunggu mereka masuk?” Tanya Netanyahu.

“Agar kita tidak dikecam oleh dunia internasional.”

“Saya tak setuju,” ujar pejabat lainnya. “Jauh lebih baik kita menyerang mereka saat masih berada di luar wilayah perairan kita,” usulnya.

“Kita tak perlu takut dikecam atau dikutuk. Biasalah, dunia hanya bisa mengecam. Negara-negara Islam hanya bias mengutuk. Dunia Arab tak perlu ditakuti. Apalagi PBB. Kita adalah Negara adidaya sesungguhnya,” lanjut pejabat tersebut.

“Saya setuju. Usulan yang cerdas. Jangan khawatir, AS di belakang kita. Malam ini juga siapkan pasukan untuk menyerang mereka,” kata Netanyahu.

**************************

Matahari masih malu-malu menampakkan wajahnya saat pasukan AL Israel menyerbu kapal Mavi Marmara, Senin, 31 Mei. Selanjutnya, kita sudah mengetahui apa yang terjadi. Korban meninggal berjatuhan; banyak yang terluka; barang bantuan kemanusiaan untuk rakyat Gaza disita.

Dan dunia pun seperti berlomba mengutuk Israel. Dan persis seperti rapat imajiner yang saya tuliskan di atas, Negara-negara muslim, PBB dan lainnya hanya mengecam. Hanya mengutuk.

Mengapa Israel begitu percaya diri menyerang aktivis kemanusiaan? Kita semua pasti sudah tahu sebabnya. Karena Israel didukung AS; karena Israel kuat secara ekonomi; karena kutanya lobi Yahudi di AS, dan sebagainya. Atau meminjam istilah Faisal Assegaf, wartawan Tempo, karena Israel adalah negara adidaya sejati.

Tentu saja ini sudah jadi rahasia umum. Ribuan analisis tentang hal tersebut sudah dibuat.. Tapi jujur, itu semua telah meninabobokan kita: umat Islam. Ibarat pepatah: semut di seberang lautan terlihat, sedangkan gajah di pelupuk mata tak tampak. Ya, semua faktor penyebab itu lebih bersifat outward looking; tidak inward looking.

Lebih jelasnya, saya akan kisahkan sedikit pengalaman saya mengikuti aksi kepedulian (munashoroh) Palestina. Di setiap aksi, saya selalu melihat banyak peserta unjuk rasa mereguk Aqua saat haus mendera.

Tentu saja ini sebuah adegan menggelikan. Kita berteriak-teriak “Hancurkan Israel!”, tapi tangan kita menggemgam botol Aqua, salah satu merk minuman yang harus diboikot karena produk Yahudi. Tadinya saya menduga itu karena ketidaktahuan mereka.

Namun, mungkinkah jumlahnya sebanyak itu? Dan wajah mereka tampak terpelajar. Mungkinkah mereka tak tahu, padahal kampanye dan sosialisasi memboikot produk-produk Yahudi telah lama berlangsung?

Untungnya saya tak menemukan peserta yang berkoar-koar “Boikot produk Yahudi!” tapi disaat yang sama mulutnya asyik menyeruput Fanta; didalam tasnya tersimpan Mc Donalds ;dan Levis membungkus kedua kakinya yang jenjang.

Itulah yang ingin saya katakan: kita kerap kali melakkan outward looking dibandingkan inward looking. Kita senang kali memberikan argumentasi-argumentasi intelektual, agamis terkait aksi Israel sambil menunjuk pihak luar sebagai penyebabnya. Tapi, disaat yang sama kita penikmat produk Yahudi. Kita asyik melihat keluar, tapi lupa bercermin.

Saya teramat yakin, itulah salah satu sebab mengapa Israel begitu berani menyerang relawan kemanusiaan. Karena umat ini hanya sibuk mencaci; berlomba mengutuk, namun sesungguhnya hati mereka terpecah. Kita lebih memilih barang-barang Yahudi dibandingkan buatan negeri sendiri atau sesama muslim.

Padahal, bisa jadi peluru yang dimuntahkan untuk menembak para relawan kemanusiaan, hasil dari rupiah yang kita belanjakan untk membeli produk Israel.

Bukankah kita lebih sering berbelanja kebutuhan pokok sehari-hari di hypermarket atau supermarket—yang bias jadi dimiliki oleh perusahaan yang berafiliasi dengan Yahudi– dibandingkan di toko-toko kelontong milik umat Islam?

Tak melulu soal kualitas yang jadi pertimbangan, tapi juga harga. Hanya selisih Rp 100,- membuat kita lebih memilih membeli barang di tempat lain dibandingkan di toko yang dimiliki pribumi. Bahkan, lucunya, kita kerap kali bangga ketika berhasil membel sesuatu di pedagang kaki lima atau toko kelontong dengan harga yang murah, setelah melalu proses tawar menawar.

Ya, saat kita membeli rambutan di pinggir jalan, misalnya, kita akan menawar agar harga bisa turun setengahnya atau berkurang seribu-dua ribu. Jika berhasil, kita “umumkan” ke tetangga-tetangga bahwa harga yang kita dapatkan jauh lebih murah.

Ironisnya, di saat yang sama, kita tak pernah menawar saat berbelanja di hypermarket atau supermarket. Dengan santainya kita ambil setiap barang yang kita inginkan.

Berbeda dengan kisah seorang Yahudi yang sedang menunggu taksi di salah satu sudut kota Tokyo, Jepang. Ia hendak kembali ke hotel, tempatnya menginap. Baru beberapa menit ia menanti, sebuah taksi datang. Sesaat terjadi dialog antara Si Yahudi dan supir taksi, hingga akhirnya taksi tersebut bergerak menjauh.

Orang Yahudi itu kembali menunggu taksi berikutnya. Tak lama berselang sebuah taksi menghampirinya. Seperti yang pertama, taksi tersebut lantas pergi setelah terjadi percakapan singkat antara Si Yahudi dan supir taksi. Kejadian serupa terus berulang sampai sembilan kali. Baru pada taksi ke-10, adegan tersebut berakhir.

Apa yang terjadi? Ternyata ia hanya mau naik taksi yang dimiliki oleh sejawatnya: orang Yahudi. Sembilan taksi yang ia berhentikan tak mau dinaikinya karena bukan dipunyai oleh orang Yahudi. Ia rela menunggu cukup lama dan berkorban waktu cuma untuk mendapatkan taksi Yahudi. Sebuah ukhuwah yang luar biasa.

Apa yang dilakukan oleh orang Yahudi di atas merupakan salah satu rahasia dibalik suksesnya mereka menguasai dunia. Uang yang ia bayar saat naik taksi tak akan lari kemana-mana. Just for Yahudi! Bayangkan jika itu dilakukan oleh beberapa juta orang Yahudi di segala sektor bisnis. Yang akan terjadi adalah efek domino luar biasa.

Uang akan berputar-putar di antara mereka yang kemudian keuntungannya dikembangkan untuk memajukan perusahaan dan membuka bisnis baru. Terus begitu hngga akhirnya menggurita. Dan hasilnya seperti yang kita saksikan saat ini. Hampir tak ada perusahaan besar di dunia yang tidak dimiliki atau berafiliasi dengan kaum Yahudi.Dan akhirnya mereka menjadi Negara adidaya sejati. Tak takut meski harus menyerang Mavi Marmara di perairan internasional.

Tahukah Anda jika apa yang dilakukan oleh orang Yahudi itu juga dilakukan oleh Ustadz Ferry Nur, salah seorang relawan Freedom Flotilla. Sekitar Februari lalu saya bertemu dengannya dalam acara reuni pengurus LDK Nurul ‘Ilmi Universitas Nasional. Saat disodorkan Aqua, ia menolak dan lebih memilih air putih tak bermerk.

Jika hal semacam ini diikuti oleh ratusan juta umat Islam di Tanah Air, dapat dibayangkan dampak yang terjadi.

Terakhir, mengapa Israel begitu berjaya? Salah satu sebabnya tercermin di situs eramuslim yang kita cintai ini. Jika kebetulan Anda membaca rubrik Pemuda dan Mahasiswa, dan melihat komentar yang masuk, terlihat jelas betapa rapuhnya tubuh umat ini.

Ketika ada penulis yang memberikan solusi khilafah Islamiyah untuk menghentikan agresi Israel, langsung dihujat. Disaat ada penulis yang menawarkan konsep lain selain khilafah, juga langsung dicaci.

Kita begitu asyik memberikan analisa mengapa Israel tak bisa disentuh, dari sisi luar, ternyata kita punya persoalan di dalam tubuh diri kita sendiri, yang boleh jadi jauh lebih akut dibandingkan faktor eksternal. Ternyata kita tak memiliki rasa ukhuwah; hati kita tak bersatu; ada jarak yang memisahkan antarumat.

Percayalah, Israel akan terus merajalela jika telunjuk kita masih saja menunjuk ke Barat (AS) sebagai penyebabnya dan disaat yang sama kita tidak berintropeksi. Saatnya kita melakukan hal-hal kecil dan sederhana: mencari produk yang bukan buatan Yahudi dan tidak egois—merrasa kelompoknya paling benar sendiri. Mulailah dari diri kita sendiri agar menjadi teladan bagi orang di sekitar kita.

*******************

Matahari masih memanggang Tel Aviv, Sabtu, 5 Juni saat sebuah rapat evaluasi digelar pemerintah Israel. Agendanya: menyikapi reaksi dunia internasional, termasuk Indonesia, terhadap penyerangan relawan kemanusiaan.

“Betulkan apa yang saya katakan. Mereka cuma bisa mengutuk,” kata Netanyahu dengan pongahnya.

“Di Indonesia lebih lucu Mr Prime Minister. Mereka berdemo mengutuk kita, tapi sambil minum dan makan buatan perusahaan kita. Mereka juga saling menghujat dan merasa benar sendiri,” kata seorang intelijen Mossad.

Ha…ha…ha…,” suasana rapat dipenuhi gelak tawa tak berkesudahan.

Erwyn Kurniawan; Editor Maghfirah Pustaka, email: [email protected]