Kesalahan Paradigma: Awal Kegagalan Penanganan Epidemi HIV-AIDS di Dunia dan Indonesia

Indonesia merupakan salah satu negara di Asia yang mengalami epidemi HIV/AIDS dengan prevalensi meningkat tajam. Berbagai langkah dan strategi –pada berbagai level- sudah dilakukan untuk mengendalikan dan menghilangkan epidemi HIV/AIDS di dunia. Namun ternyata hingga kini ’perang melawan HIV/AIDS’ ini tidak juga berhasil kita menangkan. Alih-alih berkurang atau minimal stagnant hingga akhirnya rudimenter (menghilang), ternyata jumlah penderita HIV/AIDS ini justru bertambah dari tahun ke tahun.

Apa yang salah dari kebijakan penanganan epidemi HIV/AIDS selama ini?

Mendudukkan HIV/AIDS

HIV (Human Imunodefisiensi Virus) adalah virus penyebab lumpuhnya sistem kekebalan tubuh. Kumpulan gejala akibat lumpuhnya sistem kekebalan tubuh ini dikenal sebagai AIDS (Acquired Immune Deficiency Syndrome). Selanjutnya penyakit ini dikenal dengan nama HIV/AIDS yang didefinisikan sebagai salah satu penyakit yang ditularkan melalui hubungan seksual (sexual transmited disease), karena hubungan seksual merupakan penularan pertama dan utamanya.
Infeksi HIV/AIDS pertama kali ditemukan di kalangan gay San Fransisco, tahun 1978.

Dan pada tahun 1981, kasus AIDS yang pertama ditemukan di kalangan gay ini. Selanjutnya AIDS merebak di kota-kota besar Amerika seperti New York, Manhattan juga di kalangan homoseksual. Inilah yang menjadi bukti bahwa penyakit berbahaya ini berasal dari kalangan berperilaku seks bebas dan menyimpang. Selanjutnya, budaya seks bebas pula yang menjadi sarana penyebaran virus HIV/AIDS secara cepat dan meluas di Amerika hingga ke seluruh penjuru dunia. Peranan seks bebas dalam penularan HIV/AIDS ini dibenarkan oleh laporan survey CDC Desember 2002 dan hal ini semakin jelas terlihat dari pola penularan HIV/AIDS ke seluruh dunia.

Pola pertama, ditemukan pada kalangan homoseksual, biseksual, dan pencandu obat bius. Ini terjadi di Amerika Utara, Eropa Barat, Australia, New Zealand dan sebagian Amerika. Hingga akhir tahun 2005 di Amerika Serikat, transmisi melalui kontak seksual tetap menempati urutan teratas (72%). Pola kedua, ditemukan di kalangan heteroseksual dan ini terjadi di Afrika Tengah, Afrika Selatan, Afrika Timur, dan beberapa daerah Karibia. Kasus AIDS pada daerah ini sejalan dengan adanya perubahan sosial dan maraknya industri prostitusi. Sementara pola ketiga ditemukan di Eropa Timur, daerah Mediteranian Selatan, dan Asia Pasifik. Di sini penularan terjadi melalui kontak homoseksual dan heteroseks.

Sangat jelaslah bagi kita yang ’jujur’ melihat realitas, bahwa epidemi HIV-AIDS adalah penyakit yang muncul dan menyebar karena adanya penyimpangan perilaku, apakah itu seks bebas (homoseks, atau heteroseks dengan bergonta-ganti pasangan) maupun penyalahgunaan narkoba (utamanya narkoba suntik). Meski saat ini trend penularan HIV/AIDS di kalangan remaja dikatakan lebih banyak berasal dari penggunaan jarum suntik tidak steril di kalangan pengguna jarum suntik atau IDU (intravena drug user),namun hal itu tidak bisa kita lepaskan dari adanya perilaku seks bebas yang dilakukan penasun (pengguna narkoba suntik) karena hilangnya pengendalian diri sebagai akibat penggunaan obat yang mempengaruhi mental dan perilaku mereka.

Sementara, adanya kelompok “baik-baik” (anak-anak, korban transfusi darah tercemar HIV dan tidak melakukan penyimpangan perilaku) yang kemudian tertular HIV/AIDS, tidaklah menunjukkan bahwa penyakit ini bukanlah penyakit akibat penyimpangan perilaku, karena pada hakekatnya tertularnya mereka yang ’baik-baik’ ini pun berawal dari ’dibiarkan dan dipeliharanya’ perilaku menyimpang (seks bebas dan penyalahgunaan NAPZA) di tengah masyarakat. Sungguh suatu kebodohan yang menyesatkan, menyatakan bahwa “Masalah HIV hanyalah masalah medis semata yang tidak berkaitan dengan perilaku seks bebas” dengan menjadikan korban-korban tak bersalah tersebut sebagai dalih. 

Strategi Penanggulangan HIV-AIDS di Dunia dan Indonesia

Penanggulangan HIV/AIDS di Indonesia secara umum mengadopsi strategi yang digunakan oleh UNAIDS dan WHO. Kedua lembaga internasional ini menetapkan beberapa langkah penanggulangan HIV/AIDS di dunia dengan beberapa area prioritas. Karena penyakit ini hingga sekarang belum ada obat untuk menyembuhkannya, maka area pencegahan adalah salah satu prioritas yang harus dilakukan.

Diantara program-program yang masuk dalam area pencegahan pada Strategi Nasional Penanggulangan HIV-AIDS adalah: kondomisasi, Subsitusi Metadon dan Pembagian Jarum Suntik Steril. Upaya penanggulangan HIV/AIDS versi UNAIDS ini telah menjadi kebijakan nasional yang berada di bawah koordinasi KPAN (Komisi Penanggulangan AIDS Nasional).

a.Kondomisasi

Kondomisasi (100% kondom) sebagai salah satu butir dari strategi nasional tersebut telah ditetapkan sejak tahun 1994 hingga sekarang. Kampanye pengunaan kondom awalnya dipopulerkan melalui kampanye ABCD. ABCD, yaitu A: abstinentia; B: be faithful; C: use Condom dan D: no Drug. Saat ini kampanye penggunaan kondom semakin gencar dilakukan melalui berbagai media, seperti buklet-buklet, melalui stasiun TV nasional, seminar-seminar, penyebaran pamflet-pamflet dan stiker dengan berbagai macam slogan yang mendorong penggunaan kondom untuk ‘safe sex’ dengan ‘dual protection’ (melindungi dari kehamilan tak diinginkan sekaligus melindungi dari infeksi menular seksual).

Kampanye kondom tak jarang dilakukan dengan membagi-bagikan kondom secara gratis di tengah-tengah masyarakat seperti mall-mall dan supermarket. Kampanye tentang kondom pun telah masuk ke perguruan tinggi dan sekolah-sekolah. Terakhir, demi memperluas cakupan sasaran penggunaan kondom (utamanya para ABG/remaja yang masih segan kalau harus membeli di apotik), kini telah diluncurkan program ATM (Anjungan Tunai Mandiri) kondom.

Cukup dengan memasukkan 3 koin lima ratus perak, maka akan keluar 3 boks kondom dengan 3 rasa.

Apakah kondomisasi ini berhasil memutus mata rantai penularan HIV-AIDS? Kenyataan berbicara bahwa kondomisasi ini tidak terbukti mampu mencegah penyebaran HIV/AIDS. Di saat budaya kebebasan seks tumbuh subur, ketaqwaan yang kian tipis (bahkan mungkin tidak ada), kultur yang kian individualistis, kontrol masyarakat semakin lemah, kemiskinan yang kian menghimpit masyarakat, maraknya industri prostitusi, dan ketika seseorang tidak lagi takut dengan ancaman ’azab’ Tuhan, melainkan lebih takut kepada ancaman penyakit mematikan ataupun rasa malu karena hamil di luar nikah, maka kondomisasi dengan propaganda dual proteksinya jelas akan membuat masyarakat semakin berani, ’nyaman dan aman’ melakukan perzinahan. Sekalipun sebenarnya kondisi ’nyaman dan aman’ tersebut adalah semu.

Di AS, kampanye kondomisasi yang dilaksanakan sejak tahun 1982 bahkan terbukti menjadi bumerang. Hal ini dikutip oleh Hawari, D (2006) dari pernyataan H. Jaffe (1995), dari Pusat Pengendalian Penyakit Amerika Serikat (US:CDC:United State Center of Diseases Control). Evaluasi yang dilakukan pada tahun 1995 amat mengejutkan, karena ternyata kematian akibat penyakit AIDS menjadi peringkat no 1 di AS, bukan lagi penyakit jantung dan kanker.  Selain itu, kondom memang dirancang hanya untuk mencegah kehamilan, itupun dengan tingkat kegagalan mencapai 20%.

Meskipun secara empiris dan kajian ilmiah telah nampak irrasionalnya strategi ini namun hingga sekarang strategi ini masih dianggap dan dinyatakan sebagai satu-satunya strategi pencegahan penularan HIV-AIDS yang terbukti efektif, sebagaimana dinyatakan dalam Stranas Penanggulangan HIV-AIDS 2007-2010.

b.Subsitusi Metadon dan Pembagian Jarum Suntik Steril

Saat ini, strategi subsitusi metadon dalam bentuk Program Terapi Rumatan Metadon (PTRM) dan pembagian jarum suntik steril telah menjadi salah satu layanan di rumah-rumah sakit, puskesmas-puskemas dan di klinik-klinik VCT (voluntary Counseling and Testing). DepKes menyediakan 75 rumah sakit untuk layanan CST (Care Support and Treatmen), tercatat 18 Puskesmas percontohan, 260 unit layanan VCT yang tersebar di seluruh Indonesia. Namun benarkah upaya ini akan mengurangi risiko penularan HIV/AIDS? Jawabannya jelas tidak. Mengapa?

Subsitusi adalah mengganti opiat (heroin) dengan zat yang masih merupakan sintesis dan turunan opiat itu sendiri, misalnya metadon, buphrenorphine HCL, tramadol, codein dan zat lain sejenis.  Subsitusi pada hakekatnya tetap membahayakan, karena semua subsitusi tersebut tetap akan menimbulkan gangguan mental, termasuk metadon. (Hawari, D. , 2004) Selain itu metadon tetap memiliki efek adiktif. (Bagian Farmakologi. FK. UI. Jakarta.2003).

Sementara itu mereka yang terjerumus pada penyalahgunaan NARKOBA termasuk para IDU pada hakikatnya sedang mengalami gangguan mental organik dan perilaku, dimana terjadi kehilangan kontrol diri yang berikutnya menjerumuskan para pengguna NARKOBA dan turunannya tersebut pada perilaku seks bebas. 

Adapun pemberian jarum suntik steril kepada penasun agar terhindar dari penularan HIV/AIDS, jelas merupakan strategi yang sangat absurd. Ketika seorang pemakai sedang ’on’ atau ’fly’ karena efek narkoba suntik tersebut, mungkinkah masih memiliki kesadaran untuk tidak mau berbagi jarum dengan teman ’senasib sepenanggungannya’?! Di saat seperti itu, masihkah mereka memiliki kesadaran yang bagus tentang bahaya berbagi jarum suntik bersama, padahal pada saat yang sama mereka sudah lupa (baca: tidak sadar lagi) bahwa memakai narkoba suntik sebagaimana yang mereka lakukan sekarang -dengan atau tanpa berbagi jarum suntik- adalah hal yang membahayakan kesehatannya?!

Lagi pula, sudah menjadi hal yang dipahami bahwa mereka-mereka yang sudah terlanjur ’terperangkap’ dalam jerat gaya hidup yang rusak ini biasanya memiliki rasa kebersamaan dan solidaritas yang sangat tinggi dengan teman-temannya sesama pemakai. Dari temanlah mereka pertama kali mengenal narkoba, dan bersama teman jugalah mereka kemudian bersama-sama berpesta narkoba. Hal ini dibuktikan oleh tingginya angka kekambuhan akibat bujukan teman-teman. 

Dan biasanya setiap pemakai memiliki peer group dengan anggota 9-10 orang.
Dengan demikian, memberikan jarum suntik meskipun steril, di tengah-tengah jeratan mafia NARKOBA sama saja menjerumuskan anggota masyarakat kepada penyalahgunaan NARKOBA. Terlebih lagi, para pengguna narkoba ini tetap berisiko terjerumus pada perilaku seks bebas akibat kehilangan kontrol, meskipun mereka telah menggunakan jarum suntik steril. 

Paradigma Sekuler-Liberal dalam Strategi Penanggulangan AIDS

Telah jelas bahwa penanggulangan HIV/AIDS melalui kondomisasi, subsitusi metadon dan pembagian jarum suntik steril sebenarnya tidak realistis dan tidak rasional. Kedua perilaku (free sex dan penyalagunaan NAPZA) yang kita semua sudah sepakat menyebutnya sebagai ’penyimpangan perilaku’ sebenarnya menunjukkan kesepakatan yang seharusnya kita ambil bahwa sebuah penyimpangan adalah kesalahan.

Sebuah penyimpangan atau kesalahan adalah sesuatu yang harus kita luruskan dan kembalikan kepada jalan yang benar. Pembenaran terhadap sebuah penyimpangan perilaku/kesalahan meniscayakan munculnya kerusakan. Sehingga upaya yang kita lakukan seharusnya all out dalam mengupayakan pelurusan terhadap penyimpangan yang terjadi, sembari menutup celah ’muncul dan terpeliharanya’ penyimpangan perilaku tadi di tengah-tengah masyarakat.

Ketidaktegasan strategi ini untuk menjadikan perilaku seks bebas dan penyalahgunaan narkoba sebagai suatu tindakan menyimpang, salah dan harus diluruskan, menunjukkan dengan sangat jelas bahwa paradigma yang melandasi strategi ini adalah paradigma sekuler dan liberal. Dikatakan sekuler karena paradigma ini berupaya menjauhkan pengaturan kehidupan dunia dari agama atau sebaliknya. Sehingga standard untuk menilai apapun (termasuk perbuatan manusia) bukanlah halal-haram, baik-buruk ataupun terpuji-tercela sebagaimana yang diajarkan oleh agama, melainkan ’kemanfaatan (yang lebih bersifat fisik/materi)’ yang dijadikan ukuran sebuah perbuatan itu baik atau buruk, dilakukan atau ditinggalkan, dibolehkan atau dilarang.

Dikatakan liberal karena paradigma ini menjadikan kebebasan individu (termasuk didalamnya kebebasan seksual) sebagai hal yang diagung-agungkan, dan harus dijamin oleh negara secara mutlak atas nama hak asasi manusia. Tidak ada yang membatasi kebebasan individu ini kecuali kebebasan individu yang lain. Dan tugas negara adalah menjadi penjamin atas terpenuhinya semua kebebasan individu tadi.

Inilah yang meniscayakan negara pengusung liberalisme senantiasa mengambil kebijakan yang bersifat ’jalan tengah’. Dalam paradigma sekuler-liberal, kita tidak boleh melarang seseorang untuk tidak bergonta-ganti pasangan atau membatasi orientasi seksualnya agar tidak kepada sesama jenis dengan alasan hal itu adalah perbuatan menyimpang dan akan menyebabkan dia beresiko terkena infeksi menular seksual. Karena sekali lagi, kebebasan seksual ini adalah bagian dari kebebasan individu yang harus dijamin.

Gampangnya, seseorang mau jadi sakit atau tidak, baik atau menyimpang, adalah hak asasi dia (kebebasan dia untuk memilih) yang harus kita hargai dan hormati, dengan tidak memaksakan pilihan kita kepada dia. Akan tetapi kita boleh keberatan dengan perilaku seks bebas seseorang tersebut, kalau kita merasa terganggu. Misalnya, kita merasa risih melihat aktivitas seks bebas tersebut di lakukan di tempat umum atau di tengah keramaian yang membuat kita terganggu melakukan aktivitas kita. Maka dalam keadaan dua hak kebebasan ini meminta jaminan pemenuhan, sementara kalau dibiarkan meniscayakan adanya benturan, maka negara akan turun tangan dengan kebijakan ’jalan tengah’nya.

Dalam hal ini, kebijakan yang mungkin diambil adalah menetapkan dimana area seseorang boleh melakukan free sex secara legal (lokalisasi prostitusi) dan dimana area yang terlarang, tanpa harus mengatakan bahwa free sex adalah perbuatan yang salah, dan seks dalam bingkai pernikahan adalah yang benar. Karena karakter kebijakan ’jalan tengah’ pada sistem berbasis paradigma sekuler-liberal ini adalah tidak menghukumi mana yang benar sehingga harus dibela, dan mana yang salah sehingga harus dilarang. Akan tetapi dia harus mengakomodasi dua kutub tersebut tanpa harus ada kejelasan sikap tentang benar atau salah.

Sebaliknya, ketika suatu saat terjadi perilaku -yang umumnya dipandang- menyimpang dan merugikan akan tetapi tidak ada pihak lain yang merasa terampas hak/kebebasannya, maka negara dalam kondisi ini tidak bisa turun tangan untuk melarang perilaku tersebut. Misalnya fenomena ’swinger sex’ atau saling bertukar pasangan suami/istri dengan orang lain atas dasar suka sama suka (baca: sepakat dan saling menyetujui untuk berselingkuh dengan bertukar pasangan dengan orang lain) adalah sesuatu yang dipandang ’baik-baik’ saja oleh sistem ini karena kebebasan individu adalah sesuatu yang harus dijamin, sementara tidak ada yang merasa terampas hak/kebebasannya dengan perilaku ini.

Beberapa Hal Untuk Direnungkan

Seringkali diisampaikan sebagai dalih, bahwa kebijakan (kondomisasi dan harm reduction) yang sepertinya ’memelihara’ eksistensi penyimpangan perilaku tersebut adalah strategi yang disiapkan bagi mereka-mereka yang ’ndhableg’ dan tidak bisa berhenti dari perilaku beresiko yang selama ini mereka lakukan. Karena dikatakan kita jangan menutup mata bahwa akan selalu ada orang-orang seperti mereka itu di tengah masyarakat kita. Sehingga bagi mereka yang tidak bisa berhenti melakukan seks bebas, kondomisasi akan membantu mencegah penularan yang lebih luas.

Sementara bagi mereka yang tidak bisa berhenti ’nge-drug’, maka beralih ke metadon (substitusi narkoba oral) atau tetap ’nyuntik’ tapi tidak dengan bertukar jarum suntik adalah lebih rendah resikonya. Pertanyaan berikutnya bagi mereka yang senantiasa mendalihkan hal ini: Benarkah bahwa orang-orang ’dengan perilaku beresiko’ tersebut tidak bisa berhenti? Ataukah ini adalah asumsi yang justru kalau kita pertahankan akan mengalahkan upaya kita mewujudkan hal ideal yang seharusnya kita wujudkan? Betulkah strategi dan kebijakan yang kita ambil sudah ’all out’ mengupayakan agar mereka para pelaku free sex dan drug user tersebut segera tobat dan menghentikan perilaku ’beresiko’ mereka?

Bagaimana bisa dikatakan sudah ’all out’ kalau menjadikan abstinensia (no sex before married) sebagai satu-satunya pilihan saja tidak bisa dengan tegas kita lakukan?! Mungkinkah free sex dan penyalahgunaan narkoba ini bisa rudimenter (lambat laun menghilang) kalau upaya pencegahan dan pelurusan yang kita lakukan lebih mengandalkan kepada upaya edukasi yang bersifat seruan moral oleh para pendidik dan pemuka agama semata, sementara minus tindakan tegas yang bersifat ’memaksa’ oleh negara?!

Lepas dari bahwa akan selalu ada penyimpangan perilaku di tengah masyarakat, kita semua sepakat bahwa sistem yang digunakan secara umum untuk mengatur urusan masyarakat ini haruslah sistem yang ’memerangi penyimpangan perilaku (bukan pelaku)’ dan bukannya ’memelihara’ nya. Pertanyaannya sekarang: Bisakah paradigma sekuler-liberal yang menjadi landasan setiap kebijakan yang dilahirkan saat ini melakukannya? Atau jangan-jangan justru paradigma sekuler-liberal inilah yang menjadi awal kegagalan penanganan epidemi HIV-AIDS di dunia, termasuk Indonesia, saat ini. Wallahu A’lam.***

Penulis:
dr. Faizatul Rosyidah
Dokter Klinik Kampus IAIN Sunan Ampel Surabaya
Konsultant pendidikan anak, remaja dan keluarga Radio el Victor Surabaya
Jl. A. Yani 117 Surabaya 60237