Akhlaq Jujur di Dunia Tanpa Batas

Akhir-akhir ini masyarakat Indonesia dikagetkan dengan video panas yang diperankan oleh orang-orang yang mirip (atau memang benar) para “public figure”. Keresahan pun dirasakan oleh banyak kalangan. Karenanya, banyak media (baik elektronik maupun cetak) menghadirkan diskusi membahas fenomena ini yang secara tanpa disadari merupakan “promosi gratis” bagi mereka yang sebelumnya tidak pernah mengetahui.

Video yang meresahkan masyarakat tersebut sebenarnya hanyalah satu dari sekian banyak video-video mesum yang berserakan di dunia maya. Jika anda membaca sebuah artikel mengenai data statistika pornografi di dunia internet yang ditulis Jerry Ropelato di alamat http://internet-filter-review.toptenreviews.com/internet-pornography-statistics.html, mungkin anda akan terkaget.

Dalam artikel tersebut, Jerry mengungkap: setiap detik $3.075.64 telah digunakan untuk pornografi. Setiap detik, 28,258 pengguna internet melihat situs-situs pornografi. Dalam detik yang sama, 372 pengguna internet mencari terma-terma “dewasa” di search engine. Dan setiap 39 menit, sebuah video porno baru telah dibuat di Amerika Serikat.

Lebih lanjut, Jerry mengatakan bahwa ternyata bisnis pornografi di dunai maya bukanlah bisnis yang kecil. Industri pornografi mendapatkan pendapatan yang lebih besar dibanding Microsoft, Google, Amazon, eBay, Yahoo, Apple and Netflix. Pada tahun 2006 saja, Pendapatan dunia pornografi mencapai angka $97.06 miliar. Kita bisa bayangkan, berapa banyak pundi-pundi emas yang telah dihasilkan oleh industri pornografi pada tahun 2010 ini?

Apa yang sebenarnya terjadi?

Yasraf Amir Piliang dalam bukunya Sebuah Dunia yang Dilipat; Realitas Kebudayaan Menjelang Millenium Ketiga dan Matinya Posmodernisme mencoba mengurai permasalahan ini. Menurutnya, apa yang terjadi saat ini adalah salah satu item yang terdapat dalam “parsel” besar bernama Globalisasi Ekonomi dan Informasi. Disadari atau tidak, kita masyarkat Indonesia dan seluruh masyarakat yang ada di dunia ini telah memilih, atau bahkan membuat sendiri parsel besar tersebut untuk kita nikmati bersama.

Apa yang terjadi di masyarakat yang menikmati parsel globalisasi ekonomi dan informasi dewasa ini tidak hanya sebatas hilangnya batas-batas teritorial, batas-batas kesukuan dan kepercayaan, batas-batas politik dan kebudayaan, tetapi juga lenyapnya batas sosiologis antara dunia anak-anak dan dunia orang dewasa, batas filosofis antara kebenaran dan kepalsuan, batas psikologis antara normalitas dan abnormalitas.

Parsel globalisasi ekonomi dan informasi telah menawarkan berbagai keterbukaan dan kebebasan: ekonomi pasar bebas, komunikasi bebas (internet), seks bebas.

Masih menurut Piliang, setelah semua batas-batas tersebut di atas lenyap, yang kemudian terbentuk adalah jaringan-jaringan transparan global dalam berbagai diskursus: jaringan transparansi informasi, tranparansi komunikasi, transparansi ekonomi dan transparansi seksual. Dalam kelimpahruahan informasi, dalam hipersirkuit komunikasi, dalam hutan rimba citraan yang bersifat transparan, apa yang diperolah oleh umat manusia justru bukan peningkatan kualitas kemanusiaan dan spiritualitas, sebaliknya sebuah ironi kemanusiaan dan spiritual.

Lantas bagaimana menjadi muslim di dunia tanpa batas ini?

Untuk menjawab pertanyaan diatas, penulis ingin mengajak para pembaca untuk kembali ke masa dimana Rosulullah S.a.w lahir. Suatu masa yang masyarakatnya dijuluki “jahiliyyah”. Julukan jahiliyyah tentunya bukan hanya merujuk pada masalah akademis tapi jahiliyyah secara sosiologis. Kita tau, pada masa itu, perang adalah solusi pertikaian, balas dendam merupakan hal turun temurun, diskriminasi perempuan merupakan kesepakatan dan banyak lagi masalah-masalah sosiologis yang kalau kita bandingkan dengan permasalahan umat sekarang tidaklah jauh berbeda, hanya saja di zaman kita permasalahan tersebut telah ter-computerized

Di tengah arus kebejatan yang deras itu, Muhammad kecil menjalani kehidupan. Hingga sampai pada saat yang memang sudah digariskan oleh Allah, Muhammad harus mulai melawan arus tersebut dengan menjadi utusan Allah menyampaikan pesan-pesan langit.

Apa gerangan senjata utama yang Allah berikan kepada utusan-Nya untuk melawan arus itu? Tidak lain adalah akhlaq mulia. Dengan akhlaq mulia, Rosulullah S.a.w mendapatkan kepercayaan. Dengan akhlaq mulia, Rosulullah S.a.w mampu membongkar kebuntuan pertikaian etnis di kalangan umatnya. Dengan akhlaq mulia, Rosulullah S.a.w dapat menghapus cap “jahiliyyah’ dari bangsa Arab.

Dalam konteks masyarakat tanpa batas ini, sebagai muslim, mari kita mengaplikasikan paling tidak satu macam dari akhlaq mulia yang Rosulullah S.a.w ajarkan kepada kita, yaitu jujur. Menurut penulis, jujur dalam konteks zaman ini, berarti jujur terhadap naluri suci yang terdapat dalam diri kita sendiri. Siapapun kita, jabatan apapun yang kita miliki, dalam kondisi apapun kita, mari jujur kepada kepada naluri suci kemanusiaan kita.

Sesungguhnya beragam masalah yang terjadi di masyarkat kita berakar kepada ketidak jujuran kita kepada naluri suci kemanusiaan kita sendiri. Mari bertanya tentang kasus korupsi, mari bertanya tentang ketidak adilan, mari bertanya tentang pornografi mari bertanya tentang permasalahan-permasalahan masyarakat kita kepada diri naluri suci kita. Lalu apa reaksi kita? Seringkali kita mengingkari jawaban yang diberikan oleh naluri suci kemanusiaan kita.

Jika kita sudah mampu berbuat jujur terhadap diri kita, maka kemudian kita akan mampu untuk jujur kepada Pencipta kita. Jika itu yang terjadi, niscaya zaman akan berubah menjadi lebih baik. Amin.

Fazlul Rahman; Mahasiswa Pasca Sarjana UIN Syarif Hidayatullah konsentrasi Dakwah dan Komunikasi; [email protected]