Intelijen Hitam, Di Balik Isu Terorisme

Diluar aneka hipotesis yang sedang berkembang di masyarakat, penulis ingin mengajak anda sekalian untuk sedikit berfikir out of the box. Perjalanan kasus terorisme di Indonesia bila dirunut dan ditelusuri dengan kepala dingin selalu menimbulkan teka-teki.

Seperti sebuah permainan yang telah di-setting kapan harus dimulai dan diakhiri. Aneh bin Ajaib! Tapi inilah yang terjadi. Banyak kalangan telah ikut ambil bagian dalam mengomentari rangkaian peristiwa tersebut. Salah satu pendapat menyatakan seolah memang ada permainan intelejen di dalamnya. Walaupun pada faktanya para pelaku merasa tidak pernah ditunganggi oleh pihak-pihak yang ingin memancing di air keruh.

Dalam kasus amal jihad teebut, penulis bukan ulama yang bisa menghukumi boleh atau tidaknya, syar’i atau tidaknya, jihad yang dilakukan oleh para pelakunya. Hal ini sudah dibahas oleh ‘ulama-‘ulama yang jujur dan kompeten di bidangnya. Penulis hanya ingin mengungkap tentang makar orang-orang yang tidak suka bila agama Allah menjadi mulia dan berkuasa di seluruh penjuru alam semesta.

Jihad adalah amalan puncak dalam Islam, pembuktian benar atau tidaknya iman, cinta dan loyalitas seorang muslim kepada diennya. “Apakah kamu mengira bahwa kamu akan masuk surga, padahal belum nyata bagi Allah orang-orang yang berjihad di antaramu, dan belum nyata orang-orang yang sabar.”

Jihad juga sebagai pembeda antar muslim, munafik dan kafir dalam waktu bersamaan. Tidaklah sama antara mukmin yang duduk (yang tidak turut berperang) yang tidak mempunyai udzur dengan orang-orang yang berjihad di jalan Allah dengan harta mereka dan jiwanya. Allah melebihkan orang-orang yang berjihad dengan harta dan jiwanya atas orang-orang yang duduk satu derajat. Kepada masing-masing mereka Allah menjanjikan pahala yang baik (surga) dan Allah melebihkan orang-orang yang berjihad atas orang yang duduk dengan pahala yang besar,

Jihad juga adalah perisai dakwah, pelindung eksistensi kaum muslimin dan pengawal dalam menyebarakn Islam sebagai rahmat untuk alam semesta. Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan carilah jalan yang mendekatkan diri kepada-Nya, dan berjihadlah pada jalan-Nya, supaya kamu mendapat keberuntungan.

Karena ketinggian dan kemuliaan amal jihad, musuh-musuh Islam mencoba dengan berbagai cara dan makar untuk menjauhkan kaum muslimin dari mengenalnya, mempelajarinya, dan mengamalkannya. Musuh-musuh Islam bekerja siang dan malam, mengeluarkan dana dan mengerahkan semua yang dimiliki agar umat tidak bangkit dan berjuang untuk membela agamanya dan menolong saudar-saudara mereka yang tertindas di belahan bumi manapun.

Salah satu cara mereka menjauhkan umat dari jihad adalah dengan menimbulkan konflik horizontal (baca: adu domba). Cara yang sudah usang sebenarnya, namun ternyata masih layak dan efektif untuk digunakan. Fenomena ini, terjadi hampir di seluruh belahan dunia tempat kaum muslimin berada, tak terkecuali di Indonesia. Pemandangan ini seringkali menghiasi berita-berita di aneka media nasional, baik di televisi, media cetak mapun elektronik. Para ulama pro jihad diadu dengan ulama yang alergi dengan jihad. Begitu juga seterusnya, dari media, pemikir dan intelektual semuanya diadu oleh orang yang mempunyai kapasitas yang sama.

Kegiatan tersebut dilakukan agar terjadi kerancuan berfikir secara meluas dan massal. Mereka ingin membuat label dan image yang saling bertabrakan agar masyarakat menjadi tidak percaya dengan semua pendapat dan analisis dari masing-masing kubu. Hal ini untuk menciptakan sikap apatis dan malas berfikir yang menurut masyarakat muslim awam terlalu berat dan sulit untuk dicerna.

Bagi mayoritas masyarakat Indonesia yang senang berfikir instan, dan berjiwa “legowo”, maka memaafkan dan melupakan sebuah kesalahan, permasalahan, dan hal-hal yang di luar jangakauan fikir mereka adaah hal yang mudah. Propaganda dengan menggunakan adu domba pakar bahwa Iswlam identik dengan teroris ini ternyata tidak cukup berhasil dan hanya bersifat musiman. Label dan image yang dihasilkan diingat kembali apabila ada berita terror dan dilupakan dengan cepat setelah semuanya mereda kembali dalam waktu yang singkat.

Karena cara pertama tidak begitu berhasil maka musuh-musuh Islam pun melakukan cara kedua. Cara kedua ini adalah menciptakan aksi jihad yang efeknya terasa di masyarakat bahwa hal ini bukan sekedar wacana tapi betul-betul ada. Cara kedua ini dilakuan untuk mendukung cara pertama agar cuci otak untuk menyesatkan masyarakat dari pemahaman jihad yang sesunguhnya tidak terhenti dan mudah dilupakan.

Pola ini bisa dibaca dari rangkaian kasus bom akhir-akhir ini. Saat bom buku menguncang Jakarta dan pada akhirnya membuat suatu phobia yang meluas secara massif di seantero nusantara, membuat hampir semua mata rakyat Indonesia tertuju ke sana. Terror bom buku menjadi komoditi perbincangan yang paling laris diangkat, dari kalangan artis hingga obrolan ringan rakyat jelata di kedai kopi. Pembicaraan akan hal ini, seolah menutup seluruh isu dan permasalahan lain yang lebih krusial yang sedang ataupun telah menimpa negeri ini. Orang-orang heboh membahas simbol-simbol Islam dan membuat stigma buruk terhadap simbol-simbol Islam tersebut.

Selang beberapa minggu kemudian, tanpa angin dan hujan, meledaklah bom di masjid Mapolres Cirebon. Hal ini semakin meneguhkan bahwa apa yang selama ini dituduhkan kepada para aktivis Islam itu benar adanya: mereka adalah para teroris.

Intelejen Hitam Bermain

Keterkaitan antara pembentukan opini dan serangkaian kasus yang terjadi makin membuka fikiran banyak orang bahwa banyak kepentingan yang bermain dalam setiap kasus yang menyudutkan umat Islam di Indonesia ini. Salah satu pemainnya adalah intelejen hitam yang dibiayai oleh negara-negara asing untuk membungkam dan membunuh kebangkitan Islam di Indonesia.

Ada kisah menarik tentang intelejen hitam yang pernah penulis dengar dari sumber terpercaya, yaitu tentang kasus Talangsari di Lampung. Sebelum penyerbuan dilakukan terhadap perkampungan yang dituduh hendak membuat makar terhadap negara Indonesia sebelumnya telah berkeliaran orang-orang yang tak dikenal berpura-pura menjajakan dagangan. Sambil berdagang mereka menyebarkan isu bahwa perkampungan yang dituduh hendak membuat makar adalah aliran sesat, dan berbagai tuduhan yang tak mendasar lainnya.

Setelah opini masyarakat sekitar terbentuk bahwa perkampungan di desa Talangsari itu adalah aliran sesat maka penyerbuan aparat sudah mendapat legitimasi dan bisa dibenarkan tanpa disadari oleh umat Islam sendiri bahwa mereka telah mendukung pembunuhan terhadap saudaranya. Hal ini lah yang harus diwaspadai oleh umat Islam bahwa tidak semua opini yang dilakukan oleh media adalah kebenaran. Ada kepentingan yang menungganginya dan hampir semua media tidak pro terhadap umat Islam.

"Ya Tuhan kami, janganlah Engkau jadikan kami (sasaran) fitnah bagi orang-orang kafir. Dan ampunilah kami ya Tuhan kami. Sesungguhnya, Engkaulah Yang Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana".(al mumtahanah:5)

Wallahu A’lam!

profile penulis:

Hanif Abdullah; Redaktur Majalah Online http://ansharullah.com