Hadapi Produk Makar Mereka Minimal dengan Hal yang Serupa

Produk Sebuah Makar

Nampaknya tema yang satu ini masih tetap akan menarik untuk terus dikaji dan juga dicarikan solusinya.

Membicarakan kondisi umat Islam hari ini sama halnya dengan membicarakan aib sendiri yang semestinya harus ditutupi dan tidak boleh diumbar-umbarkan. Akan tetapi, jika semuanya (tepatnya sebagian besar kaum Muslimin) terus-terusan berdiam diri seperti saat ini, maka akan semakin ngakak-lah musuh-musuh Islam melihat realitas yang terjadi pada kaum Muslimin. Musuh-musuh Islam akan semakin tertawa lepas meyaksikan kerapuhan dan keterpurukan kaum Muslimin saat ini.

Adalah benar ketika semasa hidupnya Rasulullah Saw. pernah mensabdakan bahwa suatu saat nanti (yaitu hari ini) umat Islam akan mengahdapi sebuah kondisi yang digambarakan laksana sebuah bejana berisi makanan yang dekelilingi oleh banyak orang.

Masing-masing orang yang mengelilingi bejana itu bebas mengambil bagiannya masing-masing1. Sangat memprihatinkan. Umat Islam hari seakan-akan sedang berada di persimpangan jalan. Bingung kemana hendak melangkahkan kakinya, dan bahkan mereka tidak mengetahui kemana musuh-musuh Islam hendak mengarahkannya.

Saudaraku fillah, ketahuilah sesungguhnya sebagian besar umat Islam hari ini tengah berhasil diarahkan afiliasi pemikirannya ke arah kepentingan musuh-musuh Islam. Dan sungguh kita telah menyaksikan realitas itu. Masih sangat hangat di telinga kita, ketika belakangan media memberitakan bahwa Usamah Bin Laden telah tewas dibunuh oleh tentara Amerika.

Dan kita pun menyaksikan sendiri respon sebagian besar kaum Muslimin ketika mereka mendengar berita burung itu. Ada sesuatu hal yang teramat miris untuk disaksikan dari kebanyakan kaum Muslimin ketika mereka mendenagar berita itu. Mereka serta merta membenarkannya tanpa mau meng-cross check nilai keabsahannya terlebih dahulu.

Mereka langsung membenarkannya tanpa mau menelisiki apa misi musuh-musuh Islam di balik pemberitaan itu. Konspirasi macam apa lagi yang hendak direncanakan oleh Amerika? Makar macam apa lagi yang hendak diwacanakan oleh para pengikut setia musuh Allah itu?

Menyaksikan realitas ini, terbesitlah sebuah pertanyaan di dalam benak kami, apakan perang pemikiran yang selama ini digencarkan oleh musuh-musuh Islam telah berhasil menuai sebuah kegemilangan? Teramat berat rasanya untuk mengatakan kata ‘Ya’, meskipun realitas yang ada memberikan konfirmasi positif terhadap kata itu.

Saudaraku fillah, ketahuilah bahwa sesungguhnya salah satu sarana ghazwul fikri (baca: perang pemikiran) yang digunakan oleh musuh-musuh Islam saat ini adalah media informasi. Musuh-musuh Islam sangat menyadari urgensi penguasaan media agar bisa menjadikan umat Islam ini terperosok ke dalam kubangan keterpurukan.

Melalui medialah mereka membuat pencitraan opini yang jelek tentang Islam, dan melalui media pulalah mereka memprovokasi dan mengadu domba kaum Muslimin. Tujuannya hanya satu, supaya kaum Muslimin menjadi beralih mengikuti millah-millah mereka. Kita berlindung kepada Allah dari yang demikian itu.

Titik tekan permasalahan kita hari ini adalah sebagain besar kaum Muslimin memperoleh berita dan hiburan dari stasiun televisi dan media masa lainnya yang dikuasai oleh orang-orang yang tidak memiliki afilisai sama sekali terhadap Islam. Bahkan mereka adalah orang-orang yang memusuhi Islam.

Informasi yang disajikan berfisat profokatif dan teramat subjektif. Satu pihak –yang hanya segelitir orang saja– diuntungkan dan pihak lain –yang jumlahnya banyak– dirugikan. Dan yang lebih parahnya lagi adalah pihak yang banyak ini tidak menyadari bahwa seseungguhnya mereka sedang dirugikan besar-besaran.

Jika kita menilik sejarah perkembangan dunia berita, kita akan dapati bahwa pada awalnya berita-berita yang disajikan di televisi ataupun media masa lainnya bukanlah tambang emas yang akan menghasilkan berjuta, bahkan bermilyar-milyar uang.

Hal ini pernah dianalisis oleh seorang penulis kebangsaan Amerika bernama Jerry D. Gray (penulis buku Dosa Dosa Media Amerika: Mengungkap Fakta Tersembunyi Kejahatan Media Barat). Dia menulis –di dalam bukunya– sebagai berikut, “Sebelum Perang Teluk Pertama, berita-berita televisi bukanlah tambang uang bagi jaringan-jaringan televisi.

Bahkan banyak program berita televisi yang menderita kerugian. CNN-lah yang mengambil kesempatan selama Perang Teluk Pertama yang membuktikan bahwa berita besar dapat menghasilkan banyak uang. Sejak saat itu, organisasi-organisasi TV berita lainnya mulai memperhatikan rating atau pemeringkatan program. Pertanyaan seperti program apakah yang akan mendapat rating tertinggi menjadi sangat penting.”

Ya benar, kata rating menjadi sesuatu yang teramat penting untuk diperhatikan. Stasiun televisi lebih banyak menyiarkan berita-berita yang memiliki rating tinggi yang disinyalir akan menjadi tambang harta karun penghasil uang yang banyak. Syahdan kebenaran beritanya pun masih dipertanyakan, tak peduli!. Yang penting konsumen suka. Kita lihat saja program televisi yang ada di negeri kita tercinta ini (Indonesia).

Dini hari ada gosip, paginya ada, siangnya ada, sorenya juga ada. Kesimpulan yang bisa kita tarik adalah, bahwa meng-ghibah (baca: gosip) telah menjadi sebuah program televisi yang mempunyai rating tinggi di Indonesia.

Padahal jika kita pikirakan sesaat saja, apa sih untungnya kita mengetauhi bahwa si anu (artis) telah melakukan sebuah anu, telah membeli anu, berpacaran dengan si anu? Jawabanya adalah, tidak ada untungnya sama sekali!. Yang jelas kaum Muslimin –secara tidak sadar– malah dirugikan oleh kehadiran acara tersebut. Acara televisi semacam itu hanya akan mengkontaminasi pemikiran penontonnya. Outputnya adalah penonton acara itu jadi banyak berandai-andai. Tidak mau berpikir realistis dan banyak meng-ghibah.

Saudaraku fillah, kita pun sudah bisa memastikannya siapa penikmat acara-acara semacam itu, mereka kebanyakan adalah umat Islam yang tidak punya aktivitas lain selain nongkrongin televisi. Acara semacam itu disaksikan di tiap pelosok negeri dan seluruh seluruh penjuru daerah. Inilah realitas yang terjadi hari ini.

Dulu, kami masih merasakan riuhnya masjid di kampung halaman dengan suara-suara para pencari ilmu yang masih berusia cilik, raut muka ustdaz yang ramah namun tetap disegani murid-muridnya, keceriaan anak perempuan kecil berkerudung mungil yang sedang becengkrama dengan temannya, dan seorang anak laki-laki kecil yang sarungnya lusuh dan kebesaran namun tetap semangat mengeja huruf-huruf hijaiyah dalam buku Iqra yang sedang dipelajarinya. Semuanya nampak semerbak selepas shalat Magrib berjama’ah di masjid kampung halaman.

Namun, lihatlah apa yang terjadi sekarang. Perhatikanlah realitas yang terjadi hari ini. Selepas shalat Magrib anak-anak kecil kita–yang seringkali dikatakan sebagai calon pewaris peradaban–malah asik menonton film kartun dunia khayalan yang sama sekali jauh dari realitas kehidupan. Orang tua mereka pun membiarkanya dengan dalih rasa sayang. Ah, sungguh memilukan.

Usia yang sangat pas untuk dididik dasar-dasar keagamaan yang kuat (tauhid) malah dididik dengan kesyirikan, dunia khayalan, kejahilah, kebencinan, dan juga kebodohan oleh film-film yang mereka saksikan.

Berikutnya ketika menjelang shalat Isya. Target serangan media televisi selanjutnya adalah adalah kaum remaja (bahkan orang tua pun tidak mau kelewatan).

Ditayangkanlah sinetron-sinetron murahan yang akhir kisahnya sudah bisa dipastikan. Isi ceritanya mesti tentang kisah percintaan, perebutan harta, perselingkuhan, dan konflik-konflik lainnya yang sama sekali tidak memberikan didikan yang baik. Seolah-olah dunia ini hanya berisi dengan permaslahan yang demikian. Ujungnya, jadilah semua hal yang disaksikan di televisi itu sebagai sesutu yang legal untuk di contoh dan diejawantahkan dalam kehidupan nyata oleh remaja-jemaja kita. Mengerikan!

Di waktu-waktu yang khusus pun kita juga bisa menyaksikan berita-berita yang ditayangkan oleh stasiun televisi. Isninya adalah tentang penagkapan seorang teroris, pemojokan aktivis-aktivis dakwah yang sedang ikhlas berjuang, kasus korupsi yang tak kunjung selesai, carut marutnya kondisi moral para pemeran dunia perpolitikan di Indonesia, dan masih bayak lagi.

Semua isinya benada provokasi, upaya peraguan umat terhadap kefitrahan Islam, dan juga afilisi kepada satu pihak (yang sebetulnaya salah).

Umat Islam dibuat bingung. Ujungnya, distorsi pemahaman terhadap Islam yang benar pun mulai menjangkit para penonton sandiwara pementasan ini. Siapakah para penonton itu? Ya tepat, kebanyakan dari mereka adalah kaum Muslimin.

Menuju Solusi

Saudaraku fillah, ketahuilah sungguh semua ini adalah produk makar musuh-musuh Islam yang harus ‘kita’ pikirkan ‘bersama-sama’ solunsinya. Sesunggunya dalang dari semua pementasan itu adalah orang-orang yang sangat menginginkan kehancuran kita, mereka adalah kaum Yahudi dan Nasrani. Semenjak dulu Allah Swt. telah mengabarkan kepada kita melaui firman-Nya dalam QS. Al-Baqarah ayat 120 berikut,
“Orang-orang Yahudi dan Nasrani tidak akan senang kepadamu sebingga kamu mengikuti millah (agama) mereka..” (QS. Al-Baqarah: 120)

Ibnu Jarir rahimahullah mengatakan maksud ayat itu adalah sebagai berikut, ‘Hai Muhammad Saw, orang-orang Yahudi dan Nasrani tidak akan pernah rela kepadamu selamanya, karena itu tidak usah lagi kau cari hal yang dapat menjadikan mereka rela dan sejalan dengan mereka. Akan tetapi arahkan perhatianmu untuk mencapai ridha Allah Swt. dengan mengajak mereka kepada kebenaran yang kamu diutus dengannya.’2
Cukuplah tafsiran dari QS. Al-Baqarah ayat 102 oleh seorang ulama di atas membuka penyadaran kita terkait akar pangkal dari semua permaslahan ini. Semoga Allah melindungi kita dari makar jahat musuh-musuh Islam.

Solusi. Inilah yang kita butuhkan. Bagaimanakah semestinya kita menyikapi permasalahan itu?

Sengaja kami tulis tebal kata ‘kita’ dan ‘bersama-sama’ di paragraf pertama pada sub judul kedua di atas. Maksudnya kami ingin memberikan penekanan melalui dua kata itu. ‘Kita’ dan ‘bersama-sama’ adalah representasi dari kata jamak yang lebih kita kenal dengan kata berjama’ah. Ya, kita harus menghadapinya secara bersama-sama.

Meneriakan kata “Tidak!” secara bersama-sama. Hilangkan segala macam pertikaian yang didasari oleh masalah khilafiyah dalam Islam yang detik ini sedang menjangkit sebagian dari kita. Sungguh masalah serupa (pertentangan masalah khliafiayah) juga pernah dialami oleh kaum Muslimin yang lebih dulu menghuni bumi ini dari pada kita. Dampaknya pun nyata waktu itu. Musuh Islam di masa Perang Salib telah berhasil menguasai Palestina selama hampir setengah abad lamanya.

Ketahuilah saudaraku fillah, sesunggunya itu adalah buah nyata dari kerapuhan ukhuwah kaum Muslimin waktu itu (untuk lebih memahami masalah ini, bisa antum baca buku berjudul Misteri Masa Kelam Islam dan Kemenangan Perang Salib: Refleksi 50 Tahun Gerakan Dakwah Para Ulama untuk Membangkitkan Umat dan Merebut Palestina, yang ditulis oleh Dr. Majid ‘Irsan Al Kilani).

Ada masalah besar yang harus kita hadapi bersama-sama ketimbang sibuk dengan urusan khilafiyah. Masalah itu adalah serangan dari musuh-musuh Islam. Tidak hanya serangan fisik yang belakangan digencarkan pada beberapa negara Muslim, tapi juga serangan pemikiran (ghazwul fikri) yang dampaknya tentu lebih berbahaya ketimbang serangan fisik.

Jika musuh-musuh Islam menyerang kita melaui media-media yang mereka kuasai, maka sudah sepatutnya kita juga –minimalnya– mengimbangi serangan mereka dengan hal yang serupa. Mulailah counter isu-isu miring tentang Islam dengan opini yang jujur dan tulus. Mulailah berikan acara-acara televisi yang penuh dengan tanggung jawab (nampaknya hal inilah yang sampai detik ini masih sulit untuk kita jangkau).

Inilah yang harus kita pahami bersama-sama saudaraku fillah. Dan sekali lagi, sungguh semua ini tidak pernah akan bisa terwujud kecuali dengan kerja kolektif (baca: berjama’ah). Semangat Berukhuwah!
Wallahu a’lam.

Penulis: Ibnu Asikin; Anggota FLP Yogyakarta
Email : [email protected]