Kemana Umat Melangkah?

Umat kini hidup dengan segala fasilitas kenyamanan seribu kali lipat dari yang dimiliki Rasulullah SAW dan para sahabatnya, tetapi entah apakah ada kualitas keislaman mereka mencapai seperseribu dari keimanan Rasulullah dan para sahabat. Cukup nyata bahwa segala fasilitas yang dimiliki umat sekarang tidak makin mendekatkan pada pencapaian yang telah dicontohkan Rasulullah dan para sahabat.

Umat kini disibukkan dengan berbagai obsesi yang mungkin telah membuat mereka lupa bagaimana generasi terbaik umat ini menata kerinduan yang membuncah untuk bertemu Rabb rasul mereka. Inilah umat yang mengaku bangun padahal ia tertidur. Inilah umat yang jikalau para Sahabat hidup di zaman mereka, maka tidak ada yang dikenali lagi dari umat ini kecuali shalat mereka.

Dan inilah umat yang jikalau mereka hidup di masa para Sahabat, maka segala sikap dan perilaku hidup para Sahabat pun menjadi sesuatu yang sangat asing di hadapan mereka, kecuali ketika para Sahabat itu melakukan shalatnya.

Rasulullah SAW dan para sahabat adalah orang-orang yang sangat sederhana dalam perikehidupan mereka. Bukan karena zaman mereka menuntut demikian, bukan. Jangan lupa, bahwa ketika Rasulullah membentuk masyarakat Madinah, mereka telah dan sedang diapit oleh dua peradaban yang mengaku memiliki ‘grand’ civil society, yang pada masanya bisa disebut ruling society of the world, yaitu Romawi dan Persia.

Tetapi bandingkan kedua masyarakat ini. Bandingkan bagaimana kedua masyarakat ini mendefinisikan berbagai perangkat dunia menjadi sarana nyata praktis untuk mendukung kehidupan bermasyarakat mereka. Sungguh jauh berbeda, bagai timur dan barat. Lalu mengapa masyarakat yang dibentuk Rasulullah tidak terbawa dengan cara hidup peradaban gemerlap yang mengapit mereka. Hanya satu jawabannya, Rasulullah dan para sahabat punya definisi berbeda dari kedua peradaban gemerlap itu ketika menafsirkan dunia dan segala perangkatnya sebagai sarana hidup mereka.

Dan bila ditelusuri pangkalnya, maka kesimpulannya tidak lain adalah makna tauhid yang dimiliki oleh Rasulullah dan para sahabat. Jadi bila umat kini punya definisi dan tafsiran atas makna tauhid, namun penerapan dan hasilnya berbeda dari apa yang dicapai oleh Rasulullah dan para sahabat, maka sebenarnya patut dipertanyakan seberapa dekat dan melekat definisi tauhid itu dengan bagaimana generasi terbaik umat ini mendefinisikannya dalam hidup mereka.

Al Quran menggambarkan dunia dengan sifat-sifat berikut : senda gurau dan permainan, berbangga-bangga dalam hal harta dan anak, dan layaknya suatu kebun yang mengagumkan pemiliknya, tetapi tiba-tiba kebun yang menawan itu berubah menjadi kering tak bersisa tanpa mempedulikan sang pemilik yang masih belum lepas kekagumannya atas kebun yang sebelumnya ia miliki.

Bila kita merasa tidak suka dengan gambaran Al Quran ini, atau menurut akal kita tidak sejalan dengan jalan pikiran masa kini, atau menurut kita apa yang ada di Al Quran tidaklah memiliki kebenaran mutlak dan absolut, maka tidaklah perlu kita lanjutkan membaca tulisan ini, hanya membuat kita berpikir atas sesuatu yang menurut kita bukan zamannya lagi dipikirkan ulang.

Bila Al Quran sudah menggambarkan dunia seperti ini dan manusia pun berkecimpung di dalamnya, lalu siapa yang dimaksud Al Quran dengan orang-orang yang selamat ? Tidak lain adalah mereka yang selamat dari ikut bersenda gurau dan bermain-main, selamat dari sibuk beramal hanya untuk berbangga-bangga dalam hal harta dan keturunan, serta selamat dari tertipu oleh kebun dunia yang indah dan gemerlap ini.

Maha Suci ALLAH yang menamai Din ini dengan Islam, karena salah satu maknanya adalah keselamatan, tetapi hendaknya juga tidak dilupakan bahwa keselamatan itu hanya akan diperoleh ketika sang makhluk memelihara makna lain dari Islam itu sendiri, yaitu penyerahan diri sepenuhnya kepada ALLAH atas segala hal yang menyangkut dirinya. Karena memang begitulah selayaknya seorang hamba berbuat terhadap Tuannya, menyerahkan hal atas dirinya kepada Sang Tuan.

Rasulullah dan para sahabat amat paham dan menangkap pasti pesan Al Quran mengenai dunia, dan dengan pemahaman itulah mereka hidup. Dunia bukanlah sekedar emas dan perak. Dunia adalah segala karya keberhasilan dan popularitasnya. Dunia adalah segala pengetahuan dan privelege yang dimilikinya. Dunia adalah segala aspek kehidupan politik dan kekuasaannya. Ketika suatu umat atau masyarakat sudah lebih disibukkan dengan segala perangkat dunia ketimbang hakikat seberapa banyak tujuan hidup mereka dapat dicapai dengan segala perangkat itu, maka yang terjadi adalah umat yang ketika ditanya bagaimana untuk bertahan hidup, maka emas dan perak adalah jawaban pertama mereka.

Yang terjadi adalah umat yang ketika diminta untuk berkarya, maka popularitas adalah ujung karyanya. Yang terjadi adalah umat yang menjawab bahwa privelege begitu penting sebagai konsekuensi pengetahuan yang dimilikinya. Yang terjadi adalah umat yang memandang politik hanya dari begitu signifikannya perubahan yang dapat dilakukan ketika kekuasaan ada di tangannya

Cara paling mudah untuk memulai suatu tatanan sistem adalah dengan meniru tatanan sistem yang sudah ada. Tetapi bukan ini yang dilakukan Rasulullah ketika membentuk tatanan hidup bermasyarakat di Madinah, padahal ketika itu sudah ada kelaziman bahwa tatanan yang sudah mapan adalah apa yang ada di Romawi dan Persia, beserta tatanan lain yang berada di bawah pengaruhnya.

Adalah sederhana untuk menunjukkan jalan yang paling mudah dan cepat menuju suatu tempat tujuan tetapi tidaklah sesederhana itu bila diminta untuk menunjukkan bagaimana sikap yang benar ketika berada di jalan menuju tempat tujuan. Inilah contoh generasi yang keberadaannya amat sangat langka dan senantiasa dirindukan. Inilah generasi yang tatanan hidupnya dibentuk berdasarkan petunjuk wahyu.

Sungguh amat dibutuhkan keimanan yang mengakar kuat untuk lebih memercayai petunjuk wahyu ini bekerja dan mendatangkan hasil yang sebelumnya mungkin tidak dikenali, ketimbang memercayai petunjuk lain yang sudah nyata secara eksplisit bekerja dan mendatangkan hasil dengan segenap sisi positif dan negatifnya. Benarlah Sayyid Quthb ketika menyebut generasi ini dengan istilah Generasi Quran yang unik. Ya, generasi Rasulullah dan para sahabat amat unik.

Mereka menerima Al Quran untuk diamalkan dengan segenap perhatian, konsistensi, dan integritas. Tetapi generasi lain menerima Al Quran untuk dinikmati bahasanya, untuk dipelajari segala aspek keilmuannya, tetapi entah sejauh mana hasrat mereka untuk mengamalkannya dibanding hasrat mereka dalam menikmati dan mempelajarinya.

Sungguh bagi orang yang terpaku pada segala perangkat dunia, tentu akan sangat heran dan tidak habis pikir, bagaimana mungkin seorang pemimpin agung, pemimpin negara, tidak membutuhkan istana untuk mengesahkan status kepemimpinannya. Di belahan dunia mana pemimpin ini berada ketika pemimpin-pemimpin pada masanya mengukur kebesaran kepemimpinannya dengan kebesaran dan kemegahan istana, benteng, serta berbagai atributnya. Orang-orang yang terjebak dengan segala perangkat dunia akan sulit menerima sebuah kriteria, ketika ada pemimpin yang lebih sering lapar ketimbang rakyatnya dan tidak pernah kenyang sebagaimana rakyatnya.

Bagaimana pemimpin ini mendefinisikan keistimewaan ketika pemimpin-pemimpin pada masanya merasa hak istimewa seorang pemimpin adalah ketika kelaparan rakyat tidak menjangkaunya dan kekenyangan rakyat tidak melebihinya ketika makanannya adalah makanan terbaik yang tidak diperuntukkan bagi rakyatnya. Orang-orang yang terpaku pada segala perangkat dunia akan membutuhkan suatu tempat yang khusus, eksklusif, dan terpisah dari lingkungan rakyat agar seorang pemimpin itu bisa dengan jelas dibedakan dari rakyatnya.

Mereka akan sangat asing ketika ada pemimpin yang memilih tinggal di tempat yang tidak lebih besar dari rakyatnya, menyatu dengan masjid, padahal masjid adalah tempat yang ramai dikunjungi umatnya, dan bila masjid ini ternyata dekat dengan pasar, lalu bagaimana lagi tempat ini tidak dikatakan berada di tengah-tengah denyut nadi aktivitas umat ? Pantas bila rakyat kemudian sangat mengenal dan cinta dengan sosok pemimpin seperti ini.

Dunia memang terus berputar. Dan saat ini, bagi setiap muslim, dunia sedang berada pada sisi yang berisi pola terbalik, serba berkebalikan dari pola generasi panutan mereka, Rasulullah SAW dan para sahabat. Mereka yang gemar dan sudah merasa nyaman dengan pola ini akan lebih memilih menetap pada sisi terbalik ini ketika dunia akan kembali berputar mengarah ke sisi origin, sisi ketika pola yang dilalui adalah pola yang persis dan melekat secara sempurna dengan pola generasi panutan mereka. Mereka tahu bahwa Islam bermula dalam keadaan asing dan akan kembali menjadi asing, tetapi mereka tidak mau dicap sebagai orang asing, apalagi disebut gila sebagaimana yang pernah dialami Rasulnya.

Mereka tahu bahwa penentang terbesar atas kemurnian dakwah Rasul mereka adalah kaumnya sendiri, tetapi mereka tidak mau dimusuhi, ditekan, dan mendapat berbagai hambatan sebagaimana yang dialami oleh Rasul mereka. Mereka tahu bahwa justru setelah Rasul mereka hijrah ke Madinah, berbagai peperangan dilalui semata untuk menegakkan kalimat tauhid, bahkan musuh terbesar yang dihadapi adalah dari kaum sendiri. Tetapi mereka merasa enggan mengganti tempat tidur mereka dengan medan jihad.

Bagi mereka kisah revolusi sudah usai. Untuk membalikkan keadaan yang serba terbalik ini, dibutuhkan orang-orang yang ‘berkebalikan’ pula, yaitu yang tetap konsisten pada pola panutan mereka, walaupun saat ini mereka akan diletakkan pada sektor dengan berbagai label yang merupakan kebalikan dari nilai-nilai kelaziman pemakluman putaran zaman.

Sungguh bodoh orang-orang yang melupakan sejarah. Sungguh bebal orang-orang yang mendustakan sejarah. Tetapi sungguh hina orang-orang yang mengkhianati sejarah. Mereka paham seluk beluk sejarah, menikmati karya sejarah para pendahulu, tetapi mereka berkhianat. Mereka ambil bagian yang bisa dinikmati tetapi mereka palingkan segenap badan mereka ketika harus menapaktilasi bagian yang penuh perjuangan. Mereka paham sirah tetapi enggan hijrah.

Mereka sibuk menghitung umur kemerdekaan yang sebanding dengan jumlah harta mereka yang terkumpul di saat para penjajah meyakinkan bahwa umur kemerdekaan mereka memang terus bertambah, walau sebenarnya berbagai syarat definisi kemerdekaan makin terampas. Entah di mana mereka menaruh lembaran kisah Sukarno yang bersama istrinya harus melalui hutan Sumatera dengan perbekalan menipis justru untuk berhadapan dengan penjajah.

Demi tegas bersikap mengatakan yang haq di depan pemimpin, Natsir pun lebih memilih berjuang dari hutan Sumatera bersama keluarganya dengan kondisi selayaknya orang yang tinggal di hutan, lebih kurang, tidak lebih, dengan label penuh propaganda sebagai pemberontak. Inilah bangsa yang memberi harga jasa para pejuang pendahulu mereka dengan sekedar menegakkan bendera diliputi rasa kantuk dan tergesa-gesa akan mimpi indah dunia, di saat para pendahulu mereka menjadikan darah mereka untuk membasahi tanah agar bendera itu mampu menancap tegak.

Sungguh malang para pemimpi. Mimpi indah hanya membuatnya makin terlelap dan mimpi buruk hanya membuatnya bangun untuk tidur lagi. Sungguh malang para penumpang kapal yang penuh kegamangan. Mereka sibuk menambal fisik kapal agar tidak tenggelam sembari meneruskan arah kompas yang mendekatkan ke tepi jurang. Ah, dunia ini hambar tanpa permainan bagi mereka. Bagi mereka kesenangan dunia adalah ketika mampu dengan lihai dan gesit untuk menjadi pemenang dalam berbagai senda gurau dan permainan.

Umat pertengahan yang seharusnya menjadi saksi kebenaran dan pembeda di tengah-tengah kebatilan diajak untuk bertukar posisi menjadi umat yang benar-benar berada di tengah, tidak benar, tidak salah. Ambigu, mendahulukan yang syubhat ketimbang yang qath’i, bertoleransi untuk mengaburkan identitas, dan menghasilkan kebingungan bahwa tidak ada lagi petunjuk mutlak berdasarkan wahyu dan sunnah.

Perkara besar di masa generasi awal menjadi perkara kecil di masa ‘umat pertengahan’ kini. Realistis telah tertukar dengan pragmatis. Realita keadaan yang seharusnya menuntut untuk berjuang dengan semakin berpegang kokoh pada segenap keaslian dan kemurnian telah tertukar dengan pragmatis untuk menghindar dari segala konsekuensi zaman yang tidak sesuai dugaan.

Pantaslah Rasulullah berpesan untuk keselamatan umatnya dengan menyandingkan keselamatan itu pada Al Quran dan As Sunnah. Memang akan (sudah) datang suatu masa, di mana umat ini lebih banyak membaca kitab-kitab lain ketimbang warisan Rasul mereka. Akan (sudah) datang suatu masa di mana umat ini begitu kagum dan bisa berulang-ulang mengkhatamkan berbagai kitab selain apa yang ditinggalkan Rasul mereka. Akan (sudah) datang suatu masa ketika umat ini tahu ucapan ulama-ulama mereka tanpa terlebih dahulu tahu ucapan Rasul mereka.

Akan (sudah) datang suatu masa ketika umat ini terpisah-pisah, berkelompok, dan masing-masing merasa bangga dengan mengacungkan berbagai handbook yang lebih sering dipegang ketimbang warisan abadi Rasul mereka.

Dahulu para sahabat tidak rela melihat Rasulullah bersedih dan mengalami kepayahan, terlebih karena ulah mereka. Sahabat tidak rela bila siksaan dan kematian yang sudah di depan mata ditukar dengan Rasulullah berada pada posisinya, bahkan tidak rela bila kaki Rasulnya tertusuk duri dan memilih menggantikan posisi kaki Rasul yang tercinta itu. Wahai engkau yang mengaku Umat Muhammad ! Mampukah engkau kini menegakkan kepala untuk melihat bagaimana raut wajah Rasulmu ketika melihat tingkahmu di dunia ?

“Dan bacakanlah apa yang diwahyukan kepadamu, yaitu kitab Tuhanmu. Tidak ada yang dapat mengubah kalimat-kalimat-Nya. Dan kamu tidak akan menemukan tempat berlindung selain Dia. Dan bersabarlah kamu bersama dengan orang-orang yang menyeru Tuhannya di pagi dan senja hari dengan mengharap keridhaan-Nya. Dan janganlah kedua matamu berpaling dari mereka karena mengharapkan perhiasan kehidupan dunia ini. Dan janganlah kamu mengikuti orang yang hatinya telah Kami lalaikan dari mengingat Kami serta menuruti hawa nafsunya, dan adalah keadaannya itu melampaui batas.“ (Q.S. Al Kahfi 27-28)

Profil Penulis:

Ibnu Kahfi Bachtiar, akhir Maret 2009 menyelesaikan S2 bidang energi terbarukan di Universitas Oldenburg (Jerman). Saat ini ikut membantu salah satu organisasi energi terbarukan di tanah air, melanjutkan penelitian, dan sedang belajar berwirausaha.